BerandaUlumul QuranMenelisik Tafsir Falsafi (3): Pro dan Kontra Tafsir Falsafi

Menelisik Tafsir Falsafi (3): Pro dan Kontra Tafsir Falsafi

Setiap penafsiran Al-Quran dengan pendekatan yang mengadopsi dari luar Islam selalu kontroversial. Ada ulama yang pro dan kontra perihal kontroversial tersebut. Hal ini juga terjadi pada tafsir falsafi. Tidak sedikit ulama yang menolak pendekatan falsafi ketika menafsirkan Al-Quran, serta banyak juga ulama yang mengapresiasi dan menerimanya. Berikut penjelasan selengkapnya di bawah ini.

Ulama yang Kontra

Di antara tokoh yang “vokal” menentang tafsir falsafi ialah Al-Ghazali, sehingga ia merasa perlu menulis kitab khusus tentang itu dengan judul “Al-Irsyad” untuk menolak paham mereka karena al-Ghazali melihat telah banyak terjadi penyimpangan dalam berfikir filsafat, sehingga ia pun mengkriktik para filosof dengan kitabnya at-Tahafut al-Falasifah dan al-Munqidz min al-dhalal.

Perlu digarisbawahi bahwa Al-Ghazali bukanlah tokoh yang sepenuhnya menentang filsafat termasuk pula tafsir falsafi, Al-Ghazali tetap menerima pemikiran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, sebab ada beberapa pemikiran filsafat yang dianggapnya berlainan dengan Islam.

Di awal pembahasan artikel terdahulu, telah dijelaskan bahwa tafsir falsafi adalah bagian daripada tafsir bil ra’yi. Jadi cikal bakal perdebatan tafsir ini sudah dimulai sejak era tafsir bil ra’yi. Salah satu argumentasi yang digunakan adalah berdasar hadits Nabi saw, “orang yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapatnya (ra’y) maka ia sedang menyediakan tempatnya di neraka.” Berikut riwayat lengkapnya dari Imam At-Timirdzi,

(Tirmidzi berkata) Suufyān bin Waki’ menceritakan kepada kami, (Sufyan berkata): Suwaid bin `Amr al-Kalbi menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abu `Awānah menceritakan kepada kami dari `Abd al-A`lā dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda; takutlah kalian (hati-hati dalam memegangi) hadis-hadis dariku kecuali yang benarbenar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Quran dengan ra’yunya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka. [HR. al-Tirmidzi]

Berkenaan dengan riwayat Imam Tirmidzi, Abdullah Saeed menambahkan argumentasinya dengan menukil hadits lain yang mengungkapkan pandangan bahwa tafsir bil ra’yi dilarang disebabkan, “orang yang mengatakan sesuatu tentang Al-Quran berdasarkan opininya (meskipun itu) benar, maka ia telah melakukan kesalahan.”

Argumen tersebut dilegitimasi oleh Q.S. Ali Imran [3]: 7,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (Q.S. Ali Imran [3]: 7)

Baca juga: Menelisik Tafsir Falsafi (1): Pengertian dan Sejarah Perkembangannya

Sebagian mufasir menafsirkan ayat di atas bahwa tafsir ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah swt sehingga mayoritas ulama mencela setiap usaha untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Di antara ulama yang menolak menafsirkan ayat tersebut ialah Imam Hanbali, Ibn Taimiyah, dan Ibn Katsir, mereka menolak semua tafsir yang berbasis nalar murni sehingga Ibn Taimiyah sempat berargumen sebagaimana dikutip Abdullah Saeed dalam Interpreting the Qur’an: Toward a Cantemporary Appoach, bahwa, “Orang yang berpaling dari pandangan sahabat, tabi’in dan tafsir mereka, dan menerima apa yang bertentangan dengan pandangan mereka, berada dalam kekeliruan. Dia adalah ahli bid’ah bahkan pun jika ia adalah seorang mujtahid yang notabene apabila salah dalam berjihad akan dima’fu.

Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut mengindikasikan bahwa ia cenderung lebih tertarik untuk mempertahankan pendapat dan pandangan para ulama salaf terkaif penafsiran Al-Quran. Di samping itu Az-Dzahabi dalam Tafsir al Mufassirun mengatakan bahwa apabila kerja penafsiran didekati dengan metode falsafi maka jauh dari pemahaman nash dan ia berkesimpulan itu sama saja dengan menjadikan agama sebagai filsafat.

Ulama Yang Pro

Kendatipun menuai pertentangan, kritik dan apatis terhadap keberadaan tafsir falsafi, namun tidak dapat dipungkiri pemikiran-pemikirna filsafat telah membuka ruang ijtihad seseorang untuk menafsirkan teks suci Al-Quran yang notabene sebagai pedoman primer umat Islam.

Menurut ulama yang pro terhadap tafsir falsafi, mereka berpendapat bahwa sesungguhnya antara filsafat dan agama dapat dikompromikan sehingga menemukan benang merah guna menyingkap makna ayat Al-Quran. Argumentasi berikutnya ialah bahwa antara filsafat dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, pada prinsipnya wahyu Allah swt tidak bertentangan dengan akal, keduanya berjalan beriringan sebab banyak juga ayat yang membincangkan dan menuntut manusia agar berpikir seperti afala tatafakkarun, afala ta’qilun, ulil albab, dan seterusnya.

Baca juga: Menelisik Tafsir Falsafi (2), Karakteristik, Metode dan Sumber Penafsiran

Raghib al-Asfahany dalam Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an menyampakan akal adalah kekuatan untuk menerima ilmu dan ilmu yang bermanfaat itu tak lain juga akibat dari akalnya. Hal ini didasarkan pada Q.S. Al-Ankabut ayat 43,

وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِۚ وَمَا يَعْقِلُهَآ اِلَّا الْعٰلِمُوْنَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (Q.S. Al-Ankabut [29]: 43)

Dalam rangka mengotimalkan fungsi akal, maka tafsir falsafi menawarkan metode konvergensi-sinergis dengan “merekonsiliasikan” agama dengan filsafat seperti digagas oleh Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibn Rusyd dan filosof muslim lainnya yang dimanifestasikan dalam bentuk pentakwil terhadap nash-nash Al-Quran, terutama ayat-ayat mutasyabihat sebagaimana termaktub dalam Q.S. Ali Imran ayat 7 di atas. Pentakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih tersebut sudah barang tentu memberi titik terang sesuai kerja rasio serta kaidah-kaidah berfikir logis lainnya.

Lebih dari itu, Abdullah Saeed dalam Interpreting the Qur’an-nya mengatakan bahwa Ibn Rusyd berargumen bahwa tafsir berbasis nalar (takwil) tujuannya adalah untuk mengkomunikasikan dan mendialogkan pesan-pesan Al-Quran agar relevan dengan perkembangan peradaban manusia baik secara intelektual maupun sosial-budaya. Sebab kata Ibnu Rusyd, Al-Quran diturunkan untuk maslahat manusia. Dalam konteks inilah tafsir falsafi menemukan titik signifikansinya. Di antara ulama yang setuju terhadap tafsir falsafi ialah Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib, At-Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan, dan sebagainya. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...