Mengenal Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

waqaf dalam al-quran
waqaf dalam al-quran

Waqaf adalah salah satu pembahasan dalam ilmu tajwid yang harus diketahui oleh qari’ Al-Quran karena mempunyai peranan penting untuk menjaga keselamatan makna ayat. Sebagaimana perkataan al-Anbari : “salah satu kesempuraan dalam mengetahui Al-Quran adalah dengan mengetahui waqaf dan ibtida’, seseorang tidak akan mengerti makna Al-Quran kecuali mengetahui jeda-jeda pembacaannya.

Kata waqaf secara bahasa berarti memberi atau mewakafkan, diam, berdiri, dan berhenti. Sedangkan kata waqaf secara istilah menurut Abdul Qadir Mansur adalah menghentikan suara kalimat Al-Quran secara sementara, biasanya dengan mengambil nafas untuk berniat melanjutkan bacaanya lagi.

Definisi senada juga dikemukakan oleh Muhammad Shadiq Qamhawi. Menurutnya, waqaf adalah memutuskan suara dari kalimat untuk bernafas sementara dengan berniat untuk melanjutkan bacaannya lagi, tidak untuk mengakhirinya. Lain halnya dengan al-Jazari yang mendefinisikan waqaf dalam dua makna yaitu tempat-tempat berhenti dan cara menghentikan bacaan.

Selanjutnya, ketika membahas tentang waqaf maka tidak bisa terlepas dari Ibtida’. Keduanya merupakan ilmu yang saling berkaitan. Mengapa demikian? Karena ketika seseorang berhenti (waqaf) dalam suatu bacaan maka secara otomatis orang tersebut akan memulai (ibtida’) bacaannya kembali.

Kata Ibtida’ secara bahasa berarti memulai sesuatu. Sedangkan kata Ibtida’ secara istilah menurut Husni Syaikh ‘Usman adalah memulai bacaan sesudah memutuskan atau menghentikannya. Pengertian yang senada juga dikemukakan oleh M. Basori Alwi. Menurutnya, Ibtida’ adalah memulai bacaan sesudah waqaf dan hanya boleh dilakukan pada perkataan yang tidak merusak arti susunan kalimat.

Sederhananya, waqaf dan ibtida’ adalah salah satu ilmu yang mempelajari tentang bagaimana caranya berhenti dan memulai yang sesuai ketika sedang membaca Al-Quran.

Baca juga: Hukum Bacaan Tarqiq dan Tafkhim dalam Ilmu Tajwid

Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

Secara umum, menurut Muhammad Ahmad Ma’bad dan Muhammad Isom Muflih waqaf ketika membaca Al-Quran dapat dibagi menjadi empat macam. Berikut penjelasannya:

Pertama, waqaf idtirari (terpaksa) adalah bacaan waqaf yang dilakukan oleh qari karena terpaksa tanpa keinginannya, seperti kehabisan nafas, bersin, batuk, lupa dan lain sebagainya. Qari boleh berhenti pada bacaan manapun namun wajib memulai lagi dari bacaan dimana ia berhenti, jika memulai disitu dibenarkan (tidak merusak makna kalimat).

Misalnya dalam Q.S al-Baqarah [2]: 5

اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 5)

Ketika qari berhenti pada kata “هُدًى” maka memulainya dari kata “عَلَى هُدًى” karena jika memulainya dari kata “هُدًى” atau kata setelahnya maka dapat merusak makna.

Kedua, waqaf intidzari (menunggu) adalah bacaan waqaf yang dilakukan ketika seorang qari mengumpulkan beberapa qiraat yang berbeda riwayat dalam satu kalimat. Hal tersebut bertujuan untuk melancarkan qira’at-qira’at yang lain. Namun, qari harus memilih satu qira’at saja ketika hendak melanjutkan bacaannya.

Misalnya dalam Q.S Ali Imran[3]: 80

وَلَا يَأْمُرَكُمْ اَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ وَالنَّبِيّٖنَ اَرْبَابًا ۗ اَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ اِذْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ࣖ

dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi Muslim? (Q.S. Ali Imran [3]: 80)

Ketika qari berhenti pada kata يَأْمُرَكُمْ kemudian mengulanginya lagi karena selain dengan memfathahkan huruf ra, kata يَأْمُرَكُمْ dapat juga dibaca dengan mendhamahkan huruf ra menjadi يَأْمُرُكُمْ maka waqaf seperti ini diperbolehkan dalam proses belajar bagi orang-orang yang mengkaji qira’at.

Baca juga: Pengertian dan Pembagian Hukum Mad serta Contohnya dalam Al-Quran

Ketiga, waqaf ikhtibari (memberi kabar/keterangan) adalah bacaan waqaf yang dilakukan oleh qari dengan bertujuan untuk menguji, memperbaiki bacaan, dan mengajarkan tentang tata cara waqaf dalam suatu kalimat.

Misalnya dalam Q.S al-Maidah[5]: 27

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 27)

Qari berhenti pada kata ابْنَيْ yang sebenarnya tidak diperbolehkan, kecuali untuk kepentingan pengajaran. Jika terpaksa harus waqaf maka seharusnya dibaca dengan tambahan ن pada ujung lafadznya menjadi ابْنَيْنْ. Namun jika dibaca bersambung dengan kata sesudahnya maka membacanya sebagaimana yang tertulis dalam mushaf.

Keempat, waqaf ikhtiyari (memilih) adalah bacaan waqaf yang dilakukan oleh qari karena pilihan dan kehendaknya sendiri tanpa disebabkan oleh sebab-sebab sebelumnya, seperti karena alasan idtirari (terpaksa), intidzari (menunggu), maupun ikhtibari (member kabar/keterangan).

Menurut Ad-Dani dan M. Basori Alwi, waqaf ikhtiyari dapat dibagi lagi menjadi empat macam, yaitu waqaf tamm, waqaf kafi, waqaf hasan dan waqaf qabih. Berikut penjelasannya :

Pertama, waqaf tamm (sempurna) adalah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan kalimatnya, baik lafadz maupun maknanya tidak berkaitan dengan kalimat sesudahnya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf tamm adalah tanda waqaf lazim (م), tanda waqaf mutlaq (ط), dan tanda waqaf al-waqfu aula (قلى).

Pada umumnya terdapat di akhir ayat, misalnya pada Q.S al-Fatihah [1]: 4, terkadang sebelum akhir ayat, misalnya pada Q.S an-Naml [27]: 34, terkadang di pertengahan ayat, misalnya pada Q.S al-Furqan[25]: 29, dan terkadang di akhir ayat tambah sedikit seperti pada Q.S ash-Shaffat [37]: 137-138.

Kedua, waqaf kafi (cukup) adalah berhenti pada perkataan yang sempurna kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dengan kalimat sesudahnya, tidak berkaitan lafadznya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf kafi adalah tanda waqaf jaiz (ج).

Misalnya pada kata لا يُؤْمِنُونَ dalam Q.S al-Baqarah [2]: 6-7 mempunyai arti mereka tidak akan beriman, kemudian pada kata sesudahnya yaitu خَتَمَ اللَّهُ mempunyai arti Allah telah mengunci. Kedua ayat tersebut masih berkaitan maknanya yaitu penyebab mereka tidak akan beriman adalah karena hati, pendengaran, dan penglihatan mereka sudah dikunci oleh Allah.

Ketiga, waqaf hasan (baik) adalah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dan lafadznya dengan kalimat sesudahnya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf hasan adalah tanda waqaf al-washlu aula (صلى) dan waqaf murakhas (ص).

Misalnya dalam Q.S al-Fatihah[1]: 2-3, qari berhenti pada kata رَبِّ الْعَالَمِينَ kemudian memulai pada kata الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ karena kata sesudahnya masih berkaitan dengan sifatnya Allah.

Keempat, waqaf qabih (buruk) adalah berhenti pada perkataan yang tidak sempurna susunan kalimatnya, karena berkaitan dengan lafadz dan makna perkataan atau kalimat sesudahnya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf qabih adalah tanda waqaf adamul waqf (لا).

Misalnya dalam Q.S al-Fatihah [1]: 2, qari berhenti pada kata الْحَمْدُ dari kata الْحَمْدُ لِلَّهِ. Kedua kata tersebut merupakan susunan mubtada dan khobar. Karenanya, qari tidak boleh berhenti dengan sengaja pada waqaf ini, kecuali karena darurat, seperti kehabisan nafas, bersin dan sebagainya. Demikian juga tidak boleh ibtida’ pada kata sesudah waqaf ini.

Pada akhirnya, pembagian waqaf antara satu dengan yang lainnya dapat dikatakan sama sekaligus berbeda. Persamaannya terletak pada tujuan waqaf yaitu untuk menjaga keselamatan makna suatu ayat, sedangkan perbedaannya terletak pada kesempurnaan waqaf dari segi bahasa dan tafsirnya. Wallahu A’lam.