BerandaUlumul QuranMengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

Hukum Islam secara terminologi disebut sebagai syariat atau hukum syar’i yang memuat  ketentuan Allah Ta’ala bagi hambanya. Sedangkan syariat sendiri bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah serta apa saja perbuatan yang diamalakan oleh generasi salaf. Dalam pandangan para ulama hukum syar’i terbagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i, tulisan ini bermaksud menjelaskan tentang hukum wadh’i dan contohnya dalam Al-Qur’an. Hukum wadh’i bermakna khitob dari Allah Ta’ala yang berhubungan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan pengahalang atas sesuatu yang lain.

Dari pengertian di atas maka hukum wadh’i terbagi atas tiga kategori:

  1. Sebab, maksudnya keberadaannya mengharuskan adanya suatu hukum, dan sebaliknya jika keberadaannya tidak dijumpai maka tidak ada hukum karena ketidakadaannya. (Ahamd Idris al-Qarafi, syarh tanqihul fushul)

Contohnya adalah tentang  pergerakan matahari yang digunakan sebagai acuan masuk waktu dalam melaksanakan kewajiban ibadah  sholat yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al- Isra ayat 78:

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut: Dirikanlah shalat (shalat zhuhur) sesudah tergelincirnya matahari dan sesudah condong dari tengah-tengah langit menuju arah barat. Lalu dirikanlah dua shalat, yaitu maghrib dan isya’ ketika telah datang kegelapaan malam. Lalu dirikanlah shalat fajar (subuh). Sesungguhnya shalat fajar dan membaca Al-Qur’an di dalamnya merupakan ibadah yang disaksikan oleh para malaikat malam dan malaikat siang (Tafsir Al-Wajiz 291).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

2. Syarat, artinya ketiadaannya mengharuskan tidak adanya hukum, akan tetapi keberadaannya tidak mengharuskan ada atau tidaknya sebuah hukum, dan ia berasal dari luar substansi yang disyaratkan itu. ( Mahmud Muhammad al Thanthawi, Ushul Fiqh al Islami 91)

Dalam hal ini dicontohkan seperti melakukan wudlu sebelum sholat. hakikatnya wudlu merupakan salah satu syarat sah sholat, tetapi adanya wudlu belum tentu adanya sholat, bisa jadi wudlu digunakan untuk mensucikan diri sebelum membaca Al-Qur’an, thawaf, atau ibadah lain yang mensyaratkan wudlu.

Mengenai wudlu sebagai syarat sholat sebagaimana firman Allah Ta’ala  dalam Al Qur’an Surah Al Maidah ayat 6:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

3. Mani’ berarti sesuatu yang keberadaannya menyebabkan pula ketiadaan hukum atau sebab dalam artian menjadikan hukum atau sebab itu menjadi batal. (Abdul Karim Zaidan al-wajiz fi ushul fiqh 63). Dalam hal ini mani’ diartikan sebagai  segala sesuatu yang menjadi pencegah suatu hukum seperti orang mabuk tercegah untuk melakukan sholat, orang junub tercegah untuk i’tikaf di masjid dan wanita haid yang tercegah melakukan sholat. Contoh ayat yang menerangkan tentang mani’ seperti terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 43:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Baca juga: Tanggapan Fred Donner atas Kajian Otentisitas Al-Quran Para Revisionis

Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa Mani’ adalah sesuatu yang ketika adanya sesuatu itu berakibat meniadakan hukum. Demikian penjelasan singkat mengenai  tiga macam hukum wadh’i dan beberapa contoh ayat Al-Quran yang mengandung hukum tersebut. (Wallahu A’lam).

Kholid Irfani
Kholid Irfani
Alumni jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...