Pada artikel sebelumnya sudah dijelaskan tentang beberapa poin yang mengenalkan kita dengan ilmu taujih al-qira’at. Dan berikut adalah lanjutan dari artikel sebelumnya.
7. Posisi (Nisbah) Ilmu Taujih Qira’at
Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât berada pada posisi bagian dari Ulum Al-Quran dan bagian dari ilmu bahasa Arab. Namun porsi posisinya dalam Ulum Al-Quran lebih banyak. Di antara disiplin ilmu yang bertalian erat dengan ilmu taujîh al-qirâ’ât –selain bahasa Arab- adalah: tafsir; akidah; fikih dan; Rasm al-Mashâhif.
Baca juga: Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab
8. Nama Sebutan (Ism) Ilmu Taujih Qira’at
Ditemukan sejumlah padanan nama yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu taujîh al-qirâ’ât yaitu: maʻânî al-qirâ’ât, taʻlîl al-qirâ’ât, hujjah atau ihtijâj al-qirâ’ât,ʻilal atau taʻlîl al-qirâ’ât, iʻrâb al-qirâ’ât, takhrîj al-qirâ’ât, wujûh al-qirâ’ât, al-intishâr li al-qirâ’ât dan nukât al-qirâ’ât.
Dari sekian nama di atas, taujîh al-qirâ’ât merupakan nama yang paling populer. Sejatinya istilah taujîh digunakan untuk disiplin ilmu al-qirâ’ât baru muncul pada awal abad keenam yang diawali oleh Abu al-Hasan Syuraih ar-Ruʻainî (w. 539 H) dengan kitabnya yang berjudul al-jamʻ wa at-taujîh limâ infarada bih al-imâm Yaʻqûb bin Ishâq al-Hadhramî. Penggunaan istilah taujîh sejatinya tidak hanya pada ilmu qiraat namun juga digunakan pada disiplin ilmu lainnya seperti hadis dan ulum Al-Quran.
Hal ini bisa dilihat dari literatur yang berjudul Taujîh Ahâdîts al-Muwaththa’ ditulis oleh Muhammad Abasyun (w. 341 H) dan juga kitab bernama al-Burhân fî Taujîh Mutasyâbih al-Qur’ân limâ fîh min al-Hujjah wa al-Bayân karya al-Kirmani (w. 500 H).
9. Hukum Mempelajari Ilmu Taujih Qira’at
Dari ulasan sebelumnya bisa dipastikan bahwa ilmu taujîh al-qirâ’ât bukan merupakan ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap Muslim. Menurut para ulama mempelajarinya termasuk fardu kifayah. Sehingga cukup beberapa orang saja yang mempelajarinya. Namun bagi para huffâzh Al-Quran mempelajari ilmu ini sangat dianjurkan terlebih lagi yang sedang memperdalam ilmu qirâât sab’ah atau ʻasyrah.
Baca juga: Mengenal Ilmu Taujih Al-Qira’at (1)
10. Permasalahan (Masâil) Ilmu Taujih Qira’at
Salah satu contoh permasalah ilmu taujîh al-qirâ’ât adalah kata –((عَلَيْهِمْ))- bagi yang mengkasrahkan hâ’ berargumen beratnya melafalkan dhammah setelah kasrah atau yâ’ mati. Namun bagi yang men-dhammah-kan hâ’ beralasan cara baca tersebut apa adanya sebagaimana sebelum kemasukan kata ʻalâ.
11. Perbedaan Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât dengan Tarjîh al-Qirâ’ât
Sebagaimana diketahui bahwa dari segi kualitasnya qiraat terbagi menjadi dua yaitu qiraat mutawatir dan qiraat syâdzdzah. Qirâât mutawatir terdiri dari sepuluh ragam qirâât. Sementara qirâât syâdzdzah selain sepuluh ragam tersebut. Diperbolehkan men-tarjîh qirâât mutawatir dibanding qirâât syâdzdzah. Akan tetapi tidak sebaliknya, dilarang men-tarjîh qirâât syâdzdzah dibanding qirâât mutawatir. Sebab qirâât mutawatir tidak bisa dieliminasi begitu saja. Sebab semua qirâât mutawatir transmisinya valid (sanadnya sahih) hingga Nabi saw. Wallâhu A’lam []