Termasuk perkembangan Al-Quran yang menarik adalah munculnya satu model penafsiran yang mencoba mengurai makna Al-Quran dengan menggunakan tartib nuzulnya, ini berbeda dengan kitab tafsir pada umumnya seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Jalalain, dan Tafsir al-Munir. Salah satu tokoh yang mencoba mengemukakan model tafsir berdasar tartib nuzulnya ini adalah Izzat Darwazah, yang akan coba dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
Mengenal Izzat Darwazah
Mengutip Fadhl Hasan Abbas dalam ‘al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-‘Ashr al-Hadith (III/147), Darwazah memiliki nama lengkap Muhammad Izzat bin Abdul Hadi Darwazah, ia merupakan seorang pemikir, penulis, pejuang sekaligus politisi berkebangsaan Palestina. Ia merupakan seorang sastrawan, sejarawan, jurnalis sekaligus juga pengkaji Al-Quran.
Sekalipun Darwazah adalah orang yang aktif terlibat dalam pergelutan politik, itu tak menghalangi produktivitasnya dalam menulis, tercatat lebih dari 50 karyanya yang telah dibukukan dan diterbitkan.
Berdasarkan penuturannya pada kata pengantar karya tafsir fenomenalnya, At-Tafsir Al-Hadits (I/5), bahwa ide penulisan tafsir Al-Quran secara menyeluruh berdasarkan tartib nuzulnya itu baru timbul sesudah penulisan tiga karyanya yang lain, dua yang berkaitan dengan sejarah yakni ‘Ashr al-Nabi wa Bi’atuhu qabla al-Bi’thah dan Sirah al-Rasul min Al-Qur’an dan satu lagi di bidang tafsir dengan judul al-Dustur al-Qur’aniy fi Syu’un al-Hayat.
Berkonsultasi dengan Dua Ulama
Sebelum menuliskan kitab tafsirnya, muncul kebimbangan dalam diri Darwazah akan keabsahan penulisan tafsir Al-Quran berdasarkan tartib nuzul, mengingat model seperti ini memang ‘tidak lumrah’ digunakan oleh para Ulama. Maka ia pun bertanya kepada dua orang Ulama.
Dua Ulama itu adalah Syaikh Abu al-Yusr Abidin, seorang mufti suriah pada masa itu dan Syaikh Abu Fattah Abu Ghuddah yang merupakan salah satu tokoh ulama di Aleppo. Dua Ulama ini berpendapat bahwa penafsiran Al-Quran berdasarkan tartib nuzul-nya tidaklah mengapa, bahkan bisa saja menjadi cara yang bagus untuk mengungkap makna-makna Al-Quran.
Didukung dengan fakta bahwa adanya mushaf ‘Ali bin Abi Thalib yang ditulis berdasarkan tartib nuzul-nya. Hal ini meyakinkan Darwazah untuk menuliskan karya tafsirnya yang fenomenal itu yakni ‘al-Tafsir al-Hadith Tartib al-Suwar Hasb al-Nuzul’.
Tafsir yang Mengajak ke Masa Lalu
Tafsir nuzuli ala Izzat Darwazah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap sirah Nabi, setidaknya seorang mufassir yang menggunakan tafsir nuzuli ini harus memerhatikan sirah dan bi’ah (lingkungan) hidup rasul. Ini bisa dilihat dari ungkapannya dalam al-Tafsir al-Hadith (I/9),
إِذْ بِذَلِكَ يُمْكِنُ مُتَابعَةِ السِّيْرَةِ النَّبَوِيَّةِ زَمَنًا بَعْدَ زَمَنٍ, كَمَا يُمْكِنُ مُتَابعةِ أَطْوَارِ التَّنْزِيل وَمَرَاحلهِ بِشَكْلٍ أَوْضَح وأدق, وبهذا وذاك يَنْدَمجُ الْقارئُ فِي جَوِّ نُزُول القُرآنِ وجو ظرُوفِهِ ومُنَاسَبَاتِهِ ومداه, ومفهوماته, وتَتَجَلَّى لَهُ حِكْمَة التَّنْزِيل.
Terjemah bebasnya, ‘Jadi dengan cara yang seperti itu (trtib nuzul), memungkinkan pembaca untuk mengikuti perjalanan hidup Rasul dari waktu ke waktu, juga memungkinkan untuk mengungkap perkembangan dan fase-fase pewahyuan dengan labih jelas dan teliti. Dan dengan demikian, pembaca perlu mengintegrasikan antara asbab nuzul, munasabah, konteks turunnya, pemahaman-pemahaman yang muncul, hingga terungkap jelaslah hikmah diturunkannya ayat-ayat Al-Quran.’
Kajian semacam ini akan menghasilkan dua keuntungan, yakni membantu pembaca untuk memahami kandungan makna Al-Quran dengan bantuan sirah Rasulullah dan memahami sirah Rasulullah dalam naungan Al-Quran.
Ayat-ayat Al-Quran sendiri dalam kaitannya dengan sirah, menurut Izzat Darwazah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, 1). Ayat-ayat yang menceritakan masyarakat Arab sebelum era nabi Muhammad, 2). Hubungan antara Al-Quran dengan pribadi nabi Muhammad sendiri, dan 3). Hubungan antara Al-Quran dengan masyarakat pada masa kenabian Muhammad.
Menghayati Tiap Dinamika Dakwah Nabi
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, tafsir nuzuli Darwazah merupakan tafsir yang mengajak pembacanya untuk menelisik lebih dalam mengenai sirah Rasul. Dari sini dapat kita lihat bagaimana dinamika dakwah Nabi di lingkungan yang berbeda, objek dakwah yang berbeda, sehingga tampak jelas kebijaksanaan Nabi dalam berdakwah, hikmah tasyri’ dan hikmah diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur.
Tempat yang berbeda, objek dakwah yang berbeda, dan fase yang berbeda tentu akan mendapatkan perlakuan yang berbeda. Fase dakwah Mekah tentu tidak bisa disamakan dengan fase dakwah Madinah.
Di Makkah banyak diturunkan ayat yang berkenaan dengan akidah dan hal-hal yang bersifat teoritis, sedangkan di Madinah cenderung lebih bersifat praksis. Di Makkah Nabi banyak berhadapan dengan masyarakat pagan dan Nasrani, sedangkan di Madinah Nabi banyak dihadapkan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik, sehingga pendekatan dakwah yang dilakukan pun berbeda.
Terkait perubahan pendekatan dakwah Rasulullah ini, ada tuduhan yang dilayangkan oleh sebagian orientalis dan evangelis bahwa Rasulullah ketika di Mekah dan di Madinah itu berbeda. Jika di Mekah itu Rasul masih berstatus sebagai nabi, sedangkan ketika di Madinah Rasulullah lebih berstatus sebagai pemimpin negara (man of state) sehingga sikap dan kebijakannya cenderung bersifat politis dan kadang menyalahi apa yang telah beliau sampaikan pada fase Mekah.
Hal ini dibantah oleh Darwazah dalam karyanya Al-Qur’an al-Majid (hal. 38-48), Darwazah menegaskan bahwa yang terjadi tidaklah demikian, yang terjadi hanyalah perubahan pendekatan. Dari yang sifatnya pengenalan dan teoritis, menjadi lebih praksis ketika di Madinah dan semua yang Rasulullah lakukan di Madinah pasti memiliki dasar dan syawahid dari apa yang pernah beliau sampaikan di Mekah.
Tulisan ini mengajak kita untuk sedikit berkenalan dengan Izzat Darwazah -pemikir muslim asal Palestina- beserta karya tafsirnya yang ‘unik’ dan ditulis berdasarkan tartib nuzul, namun tulisan ini tidak membahasnya secara terperinci mengingat keterbatasan ilmu penulis dan keterbatasan tempat, maka sangat dianjurkan kepada teman-teman untuk membaca langsung karya-karya Darwazah! Wallahu a’lam.