Pada artikel terdahulu sudah diulas tentang Ibnu Mujahid, Peletak Dasar Ilmu Qiraat Sab’ah. Pada artikel ini akan berfokus pada karyanya di bidang qiraat Al-Quran yaitu Kitab as-Sab’ah fi al-Qiraat. Kitab ini memberikan kontribusi besar pada pengembangan ilmu qiraat. Dengan metode yang mudah dipahami, Ibnu Mujahid membuat suatu formulasi yang lengkap sehingga antara kitab as-Sab’ah dengan qiraat sab’ah saling berkorelasi dan koherensi.
Selain itu, apabila ditilik dari ijtihad Ibnu Mujahid dalam mengkodifikasi qiraat, sejatinya ia meneruskan legacy para ulama salafus shalih yang telah merintis dan berusaha menjaga kemurnian Al-Quran, seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Harits, dan sebagainya. Keberhasilannya dalam mengkonseptualisasi qiraat sab’ah berujung pada disepakatinya oleh jumhur ulama sebagai qiraat mutawatir.
Sebab Penulisan Kitab
Ibn Al-Jazary al-Dimasyqi dalam Ghayah al-Nihayah fi Thabaqat al-Kubra menjelaskan, sejatinya Ibnu Mujahid bukanlah orang pertama kali yang mengkodifikasi sejumlah qiraat para imam dalam satu buku, melainkan ada ulama lain yang sudah memulainya, seperti, (1) Abu Ubaid bin Salam (224 H), dia telah mengumpulkan 15 jenis bacaan para imam dalam kitabnya, Qararat. (2) Ismail bin Ishaq al-Qadhi, Abu Ishaq al-Azadi al-Baghdadi (282 H), beliau adalah guru Ibnu Mujahid. Beliau telah mengarang satu kitab yang di dalamnya mencakup 20 bacaan imam qiraat.
Salah satu sebab yang mendorongnya untuk menyusun suatu kitab khusus tentang qiraat adalah lebih kepada usaha untuk menjaga kemurnian bacaan Al-Quran, mempermudah untuk dipelajari oleh umat Islam. Sebab pada umumnya orang-orang yang hendak menuntut ilmu (thalab al-‘ilm) qiraat merasa kesulitan dengan ragamnya cabang-cabang qiraat dan jalan periwayatannya, belum lagi ditambah dengan ‘illat (alasan) yang terdapat di setiap bacaan.
Oleh karena itu, Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala menyampaikan bahwa Ibnu Mujahid ketika dia ditanya perihal sebab penulisan, “Mengapa anda tidak menulis (tentang qiraat) satu huruf saja (bacaan dari satu imam qiraat)”?. Jawabnya, “menjaga seluruh bacaan yang dipakai oleh imam terdahulu lebih dibutuhkan daripada memilih salah satu di antara mereka”. Ungkapan ini menunjukkan kepedulian Ibnu Mujahid atas bacaan qiraat Al-Quran yang pada umumnya sangat sulit untuk dipelajari.
Baca juga: Ibnu Mujahid (1), Peletak Dasar Ilmu Qiraat Sab’ah
Isi Kitab
Secara garis besar, Kitab as-Sab’ah fi al-Qiraat terdiri dari dua bagian, yaitu al-Ushul dan Farasy al-Huruf.
Pertama, Al-Ushul. Pada bagian ini terdapat beberapa kaidah-kaidah dalam ilmu qiraat, yaitu
- Kaidah menyambung huruf mim jamak degan huruf wawu dan dhamir ha
- Kaidah idgham
- Kaidah nun sakinah dan tanwin
- Kaidah ha’ kinayah
- Kaidah hamzah
- Kaidah mad dan qasr
- Kaidah fathah dan imalah
- Kaidah ya idhafah
- Kaidah ha yang bersambung dengan fi’il jazm
- Kaidah kumpulnya dua huruf istifham
Tatkala menjelaskan kaidah-kaidah tersebut, Ia mengungkapkan perbedaan pendapat dan alasan dari para imam qiraat sab’ah beserta perawinya masing-masing. Bahkan beliau mentahqiq nya jika diperlukan. Misalnya, ketika beliau menjelaskan kaidah mim jamak dan dhamir ha. Ibnu Katsir, misalnya, menyambung huruf mim jamak dengan wawu yang sebelumnya terdapat huruf ha berharakat dhammah atau kasrah, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 7,
خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
Imam Nafi’, menurut Isma’il bin Ja’far bin Jammaz, Qalun dan Al-Musayyibi, meng-kasrah-kan ha’ dhamir serta men-dhammah-kan dan men-jazm-kan mim. Akan tetapi Ahmad bin Qalun dari ayahnya menuturkan bahwa Imam Nafi’ sebenarnya men-sukun-kan mim, namun ia tidak melarang men-dhammah-kan mim.
Baca juga: Ibnu Mujahid (2), Konsep Qiraat Sab’ah dan Sanadnya
Menurut Warsy, Imam Nafi’ meng-kasrah-kan mim dan men-sukun-kan mim. Meski demikian, jika bertemu dengan huruf alif yang asli, maka ia membacanya dengan disertai wawu washal, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 6,
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Sedangkan Imam Abū ‘Amr, ‘Ashim, Ibn ‘Amir dan al-Kisa’i meng-kasrah-kan ha’ dan men-sukun-kan mīm. Dengan demikian ayat di atas dibaca,
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Terkait mim bertemu dengan huruf yang disukun, para ulama di atas berbeda pendapat. Misalnya, Imam Ashim, Nafi’, Ibnu Katsir, dan Ibnu ‘Amir mengkasrahkan ha’ dan men-dhammah-kan mim apabila bertemu dengan huruf yang disukun, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 61,
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ
Dan dalam Q.S. Al-Qashash [28]: 23,
وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَاَتَيْنِ تَذُوْدٰنِۚ
Imam Abu ‘Amr meng-kasrah-kan ha’ dan mim, maka ia membaca
وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَاَتَيْنِ تَذُوْدٰنِۚ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
Sedangkan Imam Hamzah dan al-Kisa’i men-dhammah-kan ha’ dan mim, maka dibaca
وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَاَتَيْنِ تَذُوْدٰنِۚ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
Semua perbedaan tersebut dalam masalah ha’ yang dibaca kasrah dan dibaca dhammah, hanya terbatas pada ha’ yang sebelumnya terdapat huruf berharakat kasrah atau ya’ sukun. Adapun pada selain kedua hal tersebut, huruf ha’ harus dibaca dhammah, sukun, atau kasrah atau ya’ sukun. Selain itu juga, huruf mim harus dibaca dhmmah atau sukun saja, seperti dalam lafadz, antum, minkum.
Baca juga: Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal
Argumentasi Ibnu Katsir dan Nafi’ mengk-kasrah-kan ha’ dan menyambung mim dengan wawu adalah karena berat membaca ha’ dengan dhammah setelah huruf ya’, maka lebih mudah dibaca ha’ dengan kasrah, sebab kasrah termasuk jenis ya’ dan bunyi ha’ berdekatan dengan bunyi ya’ sebelumnya. Alasan berikutnya mengapa mim disambung dengan wawu jamak karena merupakan asal kalimat. Sebagaimana halnya dengan bentuk tasniyah yang dibaca dengan alif ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ, maka bentuk jamak dibaca dengan waw ﻋﻠﻴﻬﻤﻮ. Hal ini sepadan dengan lafaz ﻗﺎم
Sedangkan alasan Imam ‘Ashim, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, dan al-Kisa’i membaca ha’ dengan kasrah dan mim dengan sukun adalah alif pada contoh lafal ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ memang digunakan untuk menunjukkah mutsanna. Dengan kata lain, dalam bentuk isim tatsniyah keberadaan alif mutlak diperlukan.
Hal ini berbeda dengan keberadaan wawu yang kurang diperlukan pada contoh lafaz ﻋﻠﻴﻬﻤﻮ, karena huruf mim sendiri sudah menunjukkan jamak. Oleh karena itu, mereka membuang waw dan men-takhfīf-kan mīm dengan sukūn. Sedangkan argumen Imam Hamzah membaca hā’ dengan dhammah pada contoh lafaz ﻋﻠﻴﻬﻢ adalah karena melihat asal kalimat yaitu lafaz.
Pada bagian kedua dari kitab ini akan ditulis pada artikel selanjutnya.