Mengenal Klasifikasi Madrasah Tafsir dari era Kenabian Hingga era Media Sosial dalam Kajian Ulya Fikriyati

Ulya Fikriyati
Ulya Fikriyati

Madrasah tasir Al-Qur’an merupakan bagian penting dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an, yang telah berlangsung dari era Nabi hingga era media sosial. Istilah Madrasah Tafsir sendiri telah diperkenalkan oleh Muhammad Husayn Al-Zahabi dalam bukunya Al-Tafsir wa Mufassirun. Ini kemudian dilanjut-kembangkan oleh Ulya Fikriyati.

Ulya Fikriyati adalah dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep. Ia memetakan klasifikasi madrasah tafsir dari era Nabi hingga sekarang. Kajiannya ini dapat ditemukan dalam artikelnya, “Evolusi Madrasah Tafsir Al-Qur’an di Mesir: Penelusuran era dan Tipologi Media”, terbit di jurnal Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis, volume 2, nomor 2, tahun 2020.

Selain itu, ini juga ditemukan dalam antologi buku dengan judul “Madrasah Tafsir Virtual di Indonesia Kontemporer: Geneologi dan Kontestasinya di Kanal YouTube”, dalam buku Tafsir Al-Qur’an di Indonesia yang diterbitkan oleh Asosiasi Ilmu Alqur’an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Ladang Kata, tahun 2020.

Juga “Indonesian Virtual School of Qur’anic Exegesis: Emergence and Development” yang dipresentasikan pada kanal YouTube Asosiasi Ilmu Alqur’an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia bekerjasama dengan International Qur’anic Studies Association (IQSA), pada 25 Oktober 2020. Di sini, sekalipun berfokus di Indonesia era media sosial (YouTube), tetapi beliau terlebih dahulu beliau bahas Madrasah Tafsir dari era Nabi.

Madrasah Tafsir dari Era Nabi hingga Pre-digital

Sebelum membahas fenomena madrasah tafsir era media sosial, Ulya Fikriyati mengemukakan klasifikasi madrasah tafsir yang dapat dijumpai dari era Nabi Muhammad SAW, sahabat hingga tabi’in, yang oleh Ulya FIkriyati menyebutnya sebagai Madrasah Tafsir Era Awal. Adapun yang masuk dalam klasifikasi ini terbagi menjadi dua. Pertama, Madrasah Tafsir Era Rasul-Sahabat. Madrasah era ini dibagi dua, yaitu yang dibina langsung oleh Nabi, dan oleh Sahabat.

Baca Juga: Mengenal Hind Shalabi, Pakar Tafsir Sekaligus Aktivis Perempuan Asal Tunisia

Kedua, Madrasah Tafsir Era Sahabat-Tabi’in. Era ini terdapat lima madrasah, yang dikategorikan berdasarkan kawasan, yakni Madrasah Hijaz (meliputi Mekkah dan Madinah), Madrasah Iraq (meliputi Kufah dan Basrah), Madrasah Misr, Madrasah Syam, Madrasah Afrika Barat Laut (meliputi Tunis, Aljazair, Maroko, dan Mauritania). Klasifikasi Ulya Fikriyati tersebut didasarkan pada fakta bahwa era sahabat bersambung dengan era Nabi, sekaligus era tabi’in.

Selanjutnya adalah Madrasah Tafsir Pre-Digital era Lanjutan. Era ini dimulai dari fase kodifikasi ilmu-ilmu keislaman pada abad ke-8 hingga 20. Pada era ini, menurut Ulya Fikriyati, madrasah tafsir cenderung dapat diklasifikasikan berdasarkan aliran atau disiplin keilmuan. Ini beriringan dengan perkembangan ilmu tafsir yang bersinggungan dengan disiplin keilmuan lainnya. Ulya Fikriyati mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan dalam klasifikasi in.

Fadl ‘Abbas mengklasifikasi menjadi madrasah tafsir rasionalis populis atau al-madrasah al-aqliyyah al-ijtima’iyyah, madrasah tafsir saintifik atau al-madrasah al-ilmiyyah, madrasah tafsir edukatif tafsir umum atau al-madrasah al-tarbawiyah al-wijdaniyyah, madrasah tafsir umum atau al-madrasah al-jumhur. Fahd Al-Rumi pada era ini menyinggung adanya madrasah tafsir rasionalis atau madrasah al-aqliyah. Menurut Ulya Fikriyati bahwa penyebutan madrasah al-aqliyah oleh Al-Rumi menunjukkan terjadinya pergeseran tipologi madrasah tafsir.

Madrasah Tafsir di Indonesia pada Dunia Nyata dan Dunia Maya

Pada konteks Indonesia, Ulya Fikriyati mengklasifikasikan madrasah tafsir menjadi empat. Pertama, madrasah tafsir akademis seperti pesantren dan perguruan tinggi. Kedua, madrasah tafsir populis seperti pengajian umum atau kelompok. Ketiga, madrasah tafsir politis, yakni dikoordinasi oleh pemerintah. Dan Keempat, madrasah tafsir virtual yang tersebar di media sosial.

Mengenai madrasah tafsir akademis. Madrasah ini telah berlangsung sejak kehadiran pesantren itu sendiri –sejak abad ke-10, sekitar 200 tahun sebelum kesultanan Lamreh pada tahun 1200. Di sini, menurut Ulya Fikriyati bahwa sekalipun pada awalnya yang materi utama dalam tradisi keilmuan pesantren adalah fiqh, tetapi upaya mempelajarinya menuntut pemahaman Al-Qur’an, sebagai dalil utama fiqh. Karena itu, madrasah tafsir tahap ini masih bersifat tematik, terutama terkait fiqh (hukum).

Selain pesantren, madrasah akademis juga meliputi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Dengan mengutip data dari Kementrian Agama, Ulya Fikriyati mengatakan ada 32 perguruan tinggi swasta yang memiliki program studi ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Sementara itu, di perguruan tinggi negeri belum ia pastikan, namun berdasarkan data yang masuk dalam Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) nasional, tercatat 16 program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Dalam konteks perguruan tinggi ini, madrasah tafsir yang muncul mencapai varian yang sangat beragam, serta (berupaya) menggunakan metode ilmiah. Hal ini disebabkan dua faktor utama, yakni pembelajaran sebagai upaya mendekati Al-Qur’an, dan kerja kesarjanaan yang dilakukan secara ilmiah sebagai bentuk tanggungjawab di hadapan para penguji lembaga pendidikan.

Mengenai madrasah tafsir populis, biasa juga dikenal dengan group mandiri tempat belajar tafsir yang non-formal. Klasifikasi madrasah ini biasanya ditemukan dalam bentuk pengajian kelompok dan atau pengajian di masjid, kantor, serta tempat-tempat publik maupun pribadi. Pelaku madrasah ini lebih kepada kalangan umum, bukan santri ataupun sarjana seperti klasifikasi sebelumnya. Madrasah ini biasanya dipelopori oleh ORMAS Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Wahdah Islamiyah dan lainnya.

Mengenai madrasah tafsir politis, ini merupakan sarana penyampaian pemahaman Al-Qur’an yang diinisiasi dan dikoordinasi oleh pemerintah atau partai-partai politik. Misalnya, Kementrian Agama sebagai instansi pemerintah yang bertugas pada wilayah Al-Qur’an dan Tafsir, di dalamnya ada Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ). Salah satu proyek madrasah tafsirnya adalah menerbitkan Al-Qur’an dan terjemahnya. Proyek ini telah berlanjut hingga dalam bentuk digital dan website yang dapat diakses secara bebas.

Baca Juga: Mengenal Badriyah Fayumi, Mufasir Perempuan Indonesia Pejuang Keadilan Gender

Selain instansi pemerintah, beberapa partai politik juga telah memiliki madrasah tafsir, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kegiatan madrasah tafsir ini biasanya dalam bentuk halaqah oleh para kader partai, yang dilaksanakan rutin tergantung dari masing-masing kebijakan Dewan Pengurus. Pembahasan dalam madrasah tafsir ini lebih mengarah pada penyesuaian terhadap kebutuhan partai.

Mengenai madrasah tafsir virtual, ini merupakan fenomena paling terkini sepanjang sejarah ilmu Al-Qur’an, yang lahir dari persinggungannya dengan perkembangan teknologi dan sains. Menurut Ulya Fikriyah bahwa madrasah tafsir virtual menghilangkan sebagian besar batasan yang sebelumnya ada. Fase ini membuka peluang kepada siapapun dapat mengadakan madrasah tafsir, serta siapapun dapat ikut dalam madrasah tersebut. Media sosial menjadi sarana utama yang digunakan dalam madrasah ini.

Sampai di sini, paparan di atas menunjukkan keunikan tersendiri tentang klasifikasi dan perkembangan madrasah tafsir, seperti terjadinya pergeseran dari lintas kawasan ke linas keilmuan, dari dunia nyata ke dunia maya. Semua klasifikasi madrasah tafsir ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda satu sama lain, sehingga menarik dikaji lebih jauh. [] Wallahu A’lam.