Seiring dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui isi kandungan di dalam Al-Quran, tafsir terus berkembang baik dari ulama klasik maupun ulama khalaf. Berbagai karya tafsir memiliki ragam bentuk, corak dan metode disesuaikan oleh pengarang dan perkembangan zamannya. Salah satu metode tafsir Al-Quran ialah metode tarjih.
Tarjih penafsiran Al-Quran
Berbagai metode penafsiran terus berkembang, melahirkan konsep tarjih karena adanya perbedaan penafsiran yang saling kontradiktif. Maka di dalam menguatkan penafsiran yang sangat shahih dari banyaknya fatwa para ulama atau mufassir, perlulah diadakannya langkah tarjih dalam menyikapinya.
Kata tarjih secara etimologi berasal dari lafadz bahasa Arab rajjaha-yurajjihu-tarjihan yang berarti mengunggulkan. Sementara asy-Syaukani menuturkan, tarjih mempunyai arti menetapkan sesuatu lebih menang pada sesuatu yang lain yang saling berhadapan, atau menjadikan sesuatu menjadi menang karena mempunyai keunggulan di banding lainnya. (Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiqi al-Haqq min ‘Ilm al-Usul, hlm.350)
Baca juga: Menelisik Tafsir Falsafi (2), Karakteristik, Metode dan Sumber Penafsiran
Dapat disimpulkan bahwa tarjih secara etimologi berarti kecondongan atau pengunggulan, dan secara terminologi berarti menguatkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat dalam penafsiran ayat, karena ada dalil atau kaidah yang dapat menguatkannya atau karena penolakan atau pelemahan terhadap selainnya.
Jika ditilik dari akar kata tarjih berdekatan dengan kata ikhtilaf sebagaimana berarti dua perkara yang berselisih atau berbeda, (Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, hlm.90) karena setiap sesuatu yang berlawanan adalah berselisih, namun tidak setiap sesuatu yang berselisih adalah berlawanan.
Perbedaan penafsiran suatu ayat tidak terlepas dari empat hal, pertama, semua pendapat penafsiran kemungkinan terkandung dalam ayat, dan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa salah satu pendapat lebih rajih dibanding dengan yang lainnya.
Baca juga: Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia
Kedua, pendapat-pendapat yang saling kontradiktif tidak memugkinkan untuk menafsirkan secara bersamaan. Ketiga, pendapat-pendapat tidak saling kontradiktif, akan tetapi sebagaian kontradiktif dengan makna ayat-ayat Al-Quran atau kontradiktif dengan nas-nas shahih dari sunnah maupun ijma’.
Keempat, pendapat-pendapat yang berbeda tentang suatu ayat tidak ada kontradiksi di dalamnya, baik kontradiksi dengan sebagian lainnya atau dengan ayat-ayat, hadis dan ijma’, tetapi sebagian pendapat lebih utama dari sebagian lainnya.
Oleh karena itu, perlu adanya aspek yang diperhatikan. Aspek pentarjihan yang perlu difokuskan di antaranya, yaitu tarjih dengan nazair Al-Quran, dengan sunnah, dengan asbab an-nuzul, dengan qiraat, dengan zahir Al-Quran, dengan siyaq ayat, dengan naskh mansukh, maupun tata Bahasa. (As-Syaukani, Fath al-Qadir, Vol.2)
Dalam kesempatan ini pada metode penafsirannya pun beragam dapat menggunakan metode tahlili, sebagaimana sesuai aspek yang dipaparkan. Bahwa, aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan bisa mengunakan pengertian kosa kata, konotasi, dan asbab an-nuzul.
Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul
Selain mengunkan tahlili, dapat menggunakan metode muqaran. Mengkomparasikan berbagai macam penafsiran dengan memuat penapat-penadapat para mufassir secara detail. Tak luput dari itu dengan memperhatikan aspek-aspek tarjih tersebut, sehingga mendapatkan penafsiran yang komperhensif.
Macam-macam tarjih dalam Ilmu Tafsir
Dalam menyuguhkan berbagai penafsirannya, para mufassir memiliki gaya yang berbeda-beda, dan perbedaan tersebut memberikan warna dalam berrbagai macam warna karya tafsir terlebih dalam menggunakan metode tarjih, diantaranya:
- Menyuguhkan pendapat dan memilih pendapat yang paling unggul.
- Menyuguhkan beberapa pendapat dengan memaparkan pendapat tetapi tidak memberikan alasan mengapa pendapat tersebut digunakan.
- Menyuguhkan beberapa pendapat dengan memaparkan pendapat dan memberikan alasan mengapa pendapat tersebut digunakan.
Contoh metode tarjih dalam penafsiran
Metode tarjih yang digunakan dalam aspek Qiraah seperti halnya Qiraah يشهد الله terdapat dalam QS. al-Baqarah: 204
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ
Pada penggalan ayat tersebut, seperti yang dipaparkan oleh seorang mufassir asy-Syaukani, terdapat bacaan-bacaan menurut berbagai pendapat ulama. Berikut ini pemaparannya:
1) ويَشْهَدِاللهُ (Fathah huruf mudara’ah dan dammah pada lafadz Allah sebagai fa’il), merupakan bacaan Ibnu Muhaisin, mempunyai arti: Allah mengetahui darinya kebalikan dari apa yang dikatakannya.
2) Ibnu Abbas membacanya يَشْهَدُاللهُ mempunyai arti, Allah menyaksikan atas apa yang ada di dalam hatinya.
3) Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud membaca ويَسْتشْهِدُ. Kemudian dari bacaan-bacaan tersebut mentarjih dengan mengatakan, bacaan mayoritas ahli qiraah dengan .وَيُشْهِدُ اللهَ (As-Syaukani, Fath al-Qadir, Vol.1)
Baca juga: Macam-Macam Khawatimus Suwar dalam Ulumul Qur’an
Sebagai bentuk ikhtiar para mufassir dengan perkembangan zaman, maka berbagai tuntutan ikut mewarnai perkembangan penafsiran dan suatu metode tarjih ini merupakan bentuk ikhtiar baru di dalam kancah penafsiran dengan menghadirkan tafsir yang paling unggul dalam artian bukan perspektif sebagai kepribadian semata.
Wallahu’alam.