Kalau kita mendengar kata “mushaf” mungkin bayangan kita akan langsung merujuk pada mushaf Al-Qur’an yang saat ini banyak dibaca dan dijual-belikan oleh umat Islam. Mushaf tersebut merupakan hasil kodifikasi pada masa pemerintahan Utsman, sehingga dikenal dengan nama mushaf utsmani. Perlu diketahui, bahwa sebelum adanya proses unifikasi mushaf, sebagian besar para sahabat Nabi telah memiliki salinan Al-Qur’an masing-masing. Kumpulan salinan Al-Qur’an tersebut dikenal dengan nama mushaf pra-utsmani, karena dikumpulkan sebelum masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan.
Kajian tentang mushaf pra-utsmani ini penting dilakukan, guna mengetahui bagaimana dinamika proses penulisan wahyu di masa Nabi, sekaligus membandingkan perbedaan antara struktur mushaf pra-utsmani dengan mushaf yang berkembang saat ini. Oleh karena itu, dalam artikel berseri ini, penulis ingin membahas sedikit tentang sejarah awal mula penulisan mushaf pra-utsmani, beserta klasifikasinya.
Baca Juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran
Sejarah Penulisan Mushaf Pra-Utsmani
Dalam banyak literatur Islam klasik dijelaskan bahwa tatkala wahyu Al-Qur’an turun, para sahabat Nabi merekam wahyu tersebut melalui dua cara, yaitu: (1) menjaga wahyu tersebut dengan cara dihafalkan; dan (2) melalui bentuk penulisan wahyu di beberapa media tulisan berupa riqa’ (lembaran lontar atau perkamen), likhaf (batu tulis berwarna putih), ‘asib (pelepah kurma), aktaf (tulang belikat unta), adlla’ (tulang rusuk unta), dan adim (lembaran kulit binatang).
Isyarat tentang adanya kegiatan penulisan wahyu tersebut dapat dilacak dalam hadis Nabi no. 579 yang tertulis dalam kitab Jami’ al-Masanid wa al-Sunan, karya Ibnu Katsir, sebagaimana berikut:
حدثنا إسماعيل أخبرنا همام بن يحي عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَاتَكْتُبُوْا عَنِّيْ شَيْئاً سِوَى القُرْآنِ مَنْ كَتَبَ شَيْئًا سِوَى القُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
“Diceritakan oleh Ismail, dikabarkan oleh Hammam ibn Yahya dari Zaid ibn Aslam dari ‘Atha’ ibn Yasar dari Abi Sa’id berkata: Rasulullah SAW bersabda: (Jangan tulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah tulisan tersebut)”
Baca Juga: Sejarah Penomoran Ayat Mushaf Al-Quran dari Jerman hingga Turki
Bukti lain terkait adanya penulisan Al-Qur’an pada masa awal Islam juga dapat ditemukan dalam kisah masuk islamnya Umar ibn al-Khaththab. Karena pada saat itu Umar melihat adik perempuanya sedang membaca surah Thaha dari sebuah shahifah (lembaran). Semenjak Nabi hijrah ke Madinah, Proses penulisan Al-Qur’an ini terus mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan pada saat itu Nabi mulai mengutus beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu (kuttab al-wahy).
Dalam data az-Zanjani, kurang lebih terdapat 34 nama sahabat Nabi yang bertugas menulis wahyu. Nama-nama sahabat tersebut antara lain adalah Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asya’ari, dan banyak lainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya proses transmisi dari lisan menuju tulisan inilah yang kemudian melahirkan adanya berbagai mushaf atau kumpulan salinan Al-Qur’an dari para sahabat.
Baca Juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam
Klasifikasi Mushaf Pra-Utsmani
Dalam buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal, dijelaskan bahwa Arthur Jeffery mengklasifikasikan mushaf-mushaf pra-utsmani menjadi dua kategori utama, yaitu mushaf primer dan sekunder. Maksud dari istilah “mushaf primer” adalah kumpulan mushaf independen yang ditulis dan dikumpulkan secara individual oleh beberapa sahabat Nabi. Kumpulan mushaf pra-utsmani yang masuk dalam kategori primer antara lain adalah:
- Mushaf Salim ibn Ma’qil (w. 12 H)
- Mushaf Umar ibn al-Khaththab (w. 23 H)
- Mushaf Ubay ibn Ka’b (w. 29 H)
- Mushaf Abdullah ibn Mas’ud (w. 32 H)
- Mushaf Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H)
- Mushaf Abu Musa al-Asy’ari (w. 52 H)
- Mushaf Hafshah bint Umar (w. 45 H)
- Mushaf Zaid ibn Tsabit (w. 45 H)
- Mushaf Aisyah bint Abu Bakr (w. 58 H)
- Mushaf Ummu Salamah (w. 59 H)
- Mushaf Abdullah ibn Amr (w. 74 H)
- Mushaf Abdullah ibn Abbas (w. 68 H)
- Mushaf Abdullah ibn Zubair (w. 73 H)
- Mushaf Ubaid ibn ‘Umair (w. 74 H)
- Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H)
Sedangkan “mushaf sekunder” merupakan produk mushaf yang muncul pada generasi selanjutnya, dimana mushaf tersebut sangat bergantung pada mushaf generasi awal yaitu mushaf primer. Beberapa mushaf yang masuk dalam kategori sekunder yaitu:
- Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H)
- Mushaf al-Rabi’ ibn Khutsaim (w. 64 H)
- Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H)
- Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H)
- Mushaf Hiththan (w. 73 H)
- Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H)
- Mushaf al-A’masy (w. 148 H)
- Mushaf Sa’id ibn Jubair (w. 94 H)
- Mushaf Mujahid (w. 101 H)
- Mushaf Ikrimah (w. 105 H)
- Mushaf Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H)
- Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H)
- Mushaf Ja’far al-Shadiq (w. 148 H)
Namun sayangnya, hanya sedikit dari kumpulan mushaf hasil salinan para sahabat tersebut yang dapat memberikan pengaruh luas di dalam masyarakat Islam saat itu. Dalam kurun waktu sekitar 20-an tahun, semenjak wafatnya Nabi hingga kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman ibn ‘Affan, hanya terdapat sekitar empat mushaf sahabat yang masih digunakan oleh masyarakat Arab saat itu.
Keempat mushaf tersebut adalah (1) mushaf Ubay ibn Ka’ab, yang tersebar di sebagian besar daerah Syiria; (2) mushaf Ibnu Mas’ud, yang banyak digunakan oleh penduduk Kufah; (3) mushaf Abu Musa al-Asy’ari, yang memperoleh pengakuan dari masyarakat Bashrah; dan (4) mushaf Miqdad ibn Aswad, yang banyak dibaca oleh penduduk kota Hims. Alasan Arthur Jeffery tidak memasukkan mushaf Miqdad ibn Aswad dalam skema tersebut dimungkinkan karena mushaf tersebut sulit ditelusuri dalam berbagai sumber literatur Islam awal. Wallahu A’lam