Pada masa konptemporer, perhatian ulama terhadap tafsir ahkam masih cukup besar. Hal ini terlihat dari beberapa karya tafsir ayat ahkam yang muncul pada paruh pertama abad ke-20, serta menjadi referensi para sarjana Islam dewasa ini. Di antara tafsir ahkam kontemporer adalah Tafsir Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Quran karya Muhammad Ali Ash-Shabuny (1347 H/ 1928 M).
Tafsir Rawai’ al-Bayan atau Tafsir Ash-Shabuny mendapat penerimaan yang luas dalam dunia Islam termasuk Indonesia, baik kalangan akademisi maupun praktisi. Bahkan, tafsir ini menjadi referensi utama atau buku wajib (kutub al-daras) di Indonesia, terutama di PTAI, khususnya Fakultas Syariah dan Ushuluddin.
Profil Tafsir
Tafsir Rawai’ al-Bayan merupakan magnum opus terbesar Ash-Shabuny dalam kajian tafsir, khususnya tafsir ayat ahkam. Tafsir ini terdiri atas dua jilid besar (699 hal jilid 1 dan 701 hal jilid II) yang merangkum dan merincikan ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Dibandingkan tafsir ayat ahkam sebelumnya, misalnya Ahkam Al-Quran karya al-Jassas, Ahkam Al-Quran karya Ibnu ‘Arabi, Ahkam Al-Quran karya al-Baihaqi.
Tafsir ayat ahkam di atas menghimpun riwayat-riwayat tafsir ahkam dari Imam Syafii, Muhammad Ali al-Sayis dengan Tafsir Ayat Al-Ahkam-nya, maka buah karya Ash-Shabuny ini merupakan tafsir ahkam yang komprehensif dari segi pembahasannya. Di samping mengulas ayat dari segi penafsiran dan kandungan hukum, Ash-Shabuny juga mengkaji aspek fungsional dari hukum Islam yaitu hikmah al-tasyri’, di mana hal ini tidak begitu mendalam di era tafsir ahkam sebelum Tafsir Rawai’ al-Bayan.
Spesifikasi Tafsir
Tafsir Rawai’ al-Bayan mengkaji kurang lebih 70 pokok tema tentaang ayat ahkam, dengan rincian 40 bahasan diuraiman pada juz pertama, dan 30 bahasan diulas pada juz kedua. Pada setiap pokok bahasan, Ash-Shabuny mengklasifikasikan dengan menggunakan term al-muhadharah, misalnya tatkala mengkaji surah al-Fatihah yang menjadi awal pembahasan dengan al-muhadharah al-ula, kemudian ia menyebutkan tema yang menjadi pokok bahasan ayat.
Baca juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah
Secara teknis, penulisan Tafsir Rawai’ al-Bayan menggunakan sistematika maudhu’i (tematik) sebagaimana yang telah dipetakan di muka. Adapun jumlah ayat hukum yang dikaji sebanyak 248 ayat yang tersebar dalam 21 surat. Dengan rincian, surat al-Baqarah 20 tema, Ali Imran 2 tema, An-Nisa 7 tema, Al-Maidah 4 tema, At-Taubah 2 tema, Al-Anfal 3 tema, Al-Hajj 1 tema, An-Nur 9 tema, Luqman 1 tema, Al-Ahzab 7 tema, Saba’ 1 tema, Shad 1 tema, Muhammad 2 tema, Al-Hujurat 1 tema, Al-Waqiah 1 tema, Al-Mujadalah 2 tema, Al-Mumtahanah 1 tema, Al-Jum’ah 1 tema, At-Thalaq 2 tema, dan Al-Muzammil 1 tema.
Berdasar jumlah tema yang dibahas, model penyajian Tafsir Rawai’ al-Bayan disebut tematik plural, yaitu model penyajian di mana dalam satu karya terdapat banyak tema yang menjadi objek kajian. Walau demikian, tidak semua tema ayat hukum diulas oleh Ash-Shabuny dalam Tafsir Rawai’ al-Bayan.
Persoalan hutang piutang dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, misalnya, merupakan ayat hukum terpanjang dalam Al-Quran, persoalan ini tidak menjadi objek kajian Ash-Shabuny. Demikian pula, masalah harta warisan dalam Surat An-Nisa ayat 11-12 juga tidak dibahasnya. Hal ini boleh jadi dikarenakan tema ayat ahkam yang terhidang dalam Tafsir Rawai’ al-Bayan adalah materi-materi perkuliahan yang disesuaikan dengan kebutuhan kala itu.
Metode Penafsiran dan Aplikasinya
Tafsir Rawai’ al-Bayan menggunakan metode tafsir bil ra’yi. Berikut aplikasi penafsirannya, Dalam Surat Al-Ahzab ayat 39 tentang aurat perempuan. Menurut Ash-Shabuny, setiap perempuan muslim berkewajiban memakai jilbab. Jilbab di sini diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh anggota perempuan yang menyerupai mala’ah (semacam baju kurung wanita).
Menurutnya wajah wanita adalah bagian pokok dari perhiasan wanita, sentral kencantikan. Karenanya dalam persoalan ini, Ash-Shabuny mewajibkan seorang muslimah menampakkan wajahnya sesuai firman Allah swt Q.S. An-Nur Ayat 31.
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka (Q.S. An-Nur [24]: 31)
Dari aplikasi contoh penafsiran di atas, tampak jelas bahwa pendapat Ash-Shabuny keras dan tegas. Meskipun dalam penafsirannya ia juga mengemukakan pendapat dari empat imam mazhab.
Selain itu, Ash-Shabuny menaruh perhatian lebih kepada aspek kebahasaan, dapat diamati bahwa ketiga unsur tata bahasa Arab, yakni morfologis (sharaf), sintaksis (nahwu), dan semantik (balaghah) digunakannya sebagai basic framework (kerangka dasar) sekaligus basis analisis linguistiknya.
Namun jika dibandikan dengan analisis kebahasaan Bin al-Syathi’ dalam Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, maupun Quraish Shihab dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, analisis Ash-Shabuny masih bersifat konvensional, yaitu makna tekstual suatu ayat hanya dilihat dari ketiga unsur tata bahasa Arab saja, tidak lebih dari itu.
Baca juga: Mengenal Shafwah At-Tafasir Karya Ali Ash-Shabuni
Keunikan Tafsir
Di antara keistimewaan dan keunikan Tafsir Rawai’ al-Bayan adalah Ash-Shabuny menjelaskan hikmah at-tasyri’ (kandungan hukum atau maqashid) yang menjadi khatimah (penutup) bahasannya. Secara aksiologis, hikmah at-tasyri’ memuat hikmah dibalik penetapan suatu hukum yang bertujuan menyingkap makna filososi suatu hukum secara rasional dan logis.
Dalam konteks ini, Abdullah al-Khayyat mengapresiasi apa yang dikemukakan Ali Ash-Shabuny dalam Tafsir Rawai’ al-Bayan ini. Misalnya dalam masalah poligami, Ash-Shabuny menjelaskan bahwa alasan dibalik poligami yang dilakukan Rasulullah saw adalah tidak hanya menyangkut syahwat birahi saja, melainkan ada aspek sosial-budaya dan sebagainya, yang meliputi aspek pendidikan, penetapan hukum, sosial-kemasyarakatan, sosial-politik. Oleh karena itu, kata Ash-Shabuny, poligami Rasulullah saw tidak lepas dari visi kenabian yang diembannya yang mencakup keempat poin di atas. Wallahu A’lam.