Mengenal Sejarah Ilmu Semantik Al-Quran dari Klasik hingga Kontemporer

Sejarah semantik Al-Quran
Sejarah semantik Al-Quran

Semantik merupakan sebuah keilmuan yang pada mulanya berasal dari Barat, namun lambat laun keilmuan tersebut diadopsi oleh pemikir muslim yang ahli di bidang bahasa. Hal itu memunculkan sebuah keilmuan baru. Keilmuan itu ialah semantik Al-Quran.

Sebenarnya, semantik sudah digunakan sejak zaman Rasulullah untuk menafsirkan Al-Quran. Hanya saja orang-orang pada masa itu tidak membuat keilmuan semantik Al-Quran ini berdiri sendiri. Keilmuan semantik pada masa itu hanya sekedar digunakan saja tanpa dibuatkan sebuah disiplin ilmu.

Di Arab, istilah semantik dikenal dengan istilah dalalah. Para ulama Arab telah lama mengkaji keilmuan ini, akan tetapi para ilmuwan barat terlihat mengabaikan kiprahnya para ulama Arab. Meski begitu, para ulama Arab tetap terus mengkaji keilmuan ini. Para ahli kebahasaan asal Arab memiliki istilahnya masing-masing terhadap dalalah ini, ada yang menyebutnya dengan istilah Ilmu ad-Dalalah, ada juga yang mengatakan Ilmu ad-Dilalah, dan ada yang menyebutnya dengan istilah Ilmu Makna. (Balkis Aminallah, Perkembangan Ilmu Dalalah dan Para Tokoh-tokohnya, hal. 90).

Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

Meski banyak yang mengatakan bahwa Dalalah dan Ilmu Makna itu sama, Muhammad Ali al- Khuli mengatakan bahwa keduanya berbeda. Menurutnya Dalalah adalah ilmu yang mengkaji makna yang berhubungan dengan dunia luar, sedangkan Ilmu Makna adalah ilmu yang mengkaji makna yang berhubungan dengan bahasa itu sendiri. Berangkat dari pernyataan tersebut, bisa kita ambil benang merah bahwa kedua keilmuan tersebut memiliki perbedaan pengertian secara spesifik, namun memiliki kesamaan pengertian secara umum. (Muhammad, Irfan, Perkembangan Semantik Al-Quran, hal. 5-9).

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat menjadi target utama untuk ditanyakan mengenai ayat-ayat yang masih kurang jelas. Diantara seluruh sahabat yang ada, yang paling paham dan paling mengerti mengenai bagaimana cara menafsirkan Al-Quran ialah Khulafaur Rasyidin. Mereka berempat mempunyai kelebihan dalam cara pemaknaan ayat-ayat Al-Quran, karena mereka selalu berada di sisi Rasulullah ketika ayat-ayat Al-Quran turun.

Meski ada empat orang sahabat yang dinilai mampu menafsirkan ayat Al-Quran dan meriwayatkannya dengan sangat baik, hanya satu orang diantara empat orang itu yang memiliki riwayat paling banyak, yakni Ali bin Abi Thalib. Ali bisa meriwayatkan banyak penafsiran disebabkan karena pada masa kekuasaan Ali banyak sekali para generasi baru Islam dan kekuasaan agama Islam telah menyebar luas, sehingga banyak pula yang masuk Islam yang masih belum mengetahui mengenai tafsiran ayat-ayat dalam Al-Quran. (Agung Sasongko, Sahabat Periwayat dan Mufasir Alquran).

Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Itu adalah perkembangan keilmuan semantik di masa pasca wafatnya Rasulullah SAW. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, perkembangan keilmuan semantik ini terus berlanjut di masa para sahabat yang dikenal dengan periode klasik. Di periode ini para sahabat mencoba memahami ayat-ayat Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan terhadap ayat-ayat yang rancu. Salah satu contoh dari hal ini adalah Mujahid Ibn Jabbar yang mencoba mengalihkan makna dasar kepada makna relasional surat Al-Kahfi ayat 34.

Kata tsamar pada ayat 34 surat Al-Kahfi memiliki makna dasar buah-buahan. Namun, oleh Mujahid Ibn Jabbar diartikan sebagai emas dan perak atau harta kekayaan. Perubahan makna tersebut nampaknya bukan terjadi tanpa sebab, melainkan pada masa itu Mujahid Ibn Jabbar melihat kehidupan masyarakat sangat bergantung pada harta kekayaan. Sehingga pemaknaan seperti ini jauh lebih masuk akal, karena konteksnya disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada masa itu. (Fauzan Azima, Semantik Al-Quran (Sebuah Metode Penafsiran) hal. 53-54).

Sedangkan setelah periode klasik adalah periode kontemporer, dimana periode ini adalah periode dimana kita saat ini hidup di dunia dan era yang sudah banyak mengalami kemajuan, terutama dari segi pustaka dan teknologi. Zaman ini tentunya sangat berbeda jauh dengan zaman Aristoteles dimana semantik pertama kali lahir dan zaman para sahabat yakni zaman ketika keilmuan semantik mulai memasuki dunia Islam.

Baca juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler

Di zaman kontemporer ini, semantik bisa dikatakan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai macam pemikiran dan pandangan mengenai semantik banyak dituangkan dalam karya tulis. Tokoh kontemporer yang selain namanya dikenal dalam khazanah keilmuan semantik karyanya pun begitu melanglangbuana, ia adalah Toshihiko Izutsu dengan karyanya yang berjudul “God and Man in The Qur’an”.

Toshihiko dalam bukunya tersebut meletakkan sebuah pondasi keilmuan semantik dalam menganalisis kata Allah secara menyeluruh. Tidak selesai sampai disitu, ia pun melanjutkan metodenya tersebut dalam buku lainnya yang berjudul “Concept of Believe in Islamic Theology”. Dalam karyanya itu ia menjelaskan makna iman dan islam secara lengkap dengan metode semantik historisnya.

Sekarang kita berpindah ke Nusantara. Di Indonesia sendiri ternyata ada beberapa karya yang diketahui sudah menggunakan metode semantik dalam memaknai kata-kata dalam Al-Quran meskipun memang tidak seluruh kata yang ada di dalam Al-Quran diuraikan makna dasar serta makna relasionalnya. M. Dawam Raharjo dalam bukunya yang berjudul “Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci” mengungkapkan makna dan konsep yang terkandung dalam Al-Quran secara tematik.

Secara garis besar, baik kita sadari maupun tidak, keilmuan semantik ini seiring berjalannya waktu selalu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena setiap zaman selalu muncul sebuah kosakata atau tafsiran yang baru. Sehingga, dalam ranah tersebutlah keilmuan semantik sangat diperlukan agar tidak terjadi kasus salah arti/salah tafsir. Oleh karena itu, diperlukan para cendekiawan untuk senantiasa melestarikan keilmuan yang satu ini, agar pemaknaan terhadap bahasa tidak hilang ditelan masa. Wallahu a’lam.