Sudah menjadi ciri khas tersendiri bila santri selain memiliki kompetensi dalam keilmuan, mereka juga memiliki nilai lebih yakni pada bidang moral-etis. Hal ini tampaknya terbangun dari satu ‘maqalah’ al-adabu fawqal ‘ilmi (adab/etika di atas ilmu) di kalangan santri. Dalam Al-Quran nilai moral etis ini sudah ditunjukan melalui kisah Nabi Musa As dengan Nabi Khidir As. Kisah tersebut termuat dalam Surat Al-Kahfi.
Bersungguh-sungguh dalam belajar
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir ada pada permulaan surat Al-Kahfi ayat 66 yang berbunyi:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Musa berkata kepada Khidhir “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”
Al-Maraghi dalam tafsirnya mengkutip hadis riwayat al-Bukhari yang mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi Musa berpidato di hadapan kaumnya kemudian ia ditanyai tentang siapa orang yang paling berilmu. Lantas Nabi Musa menjawab “saya”.
Jawaban tersebut yang kemudian membuat Allah menegur Nabi Musa dan menerangkan bahwa ada orang yang lebih alim dibandingnya. Allah juga memperintahkannya untuk berguru kepada orang alim tersebut.
Baca juga: Santri dan Prioritas Kewajiban Menjaga Nyawa
Pada ayat di atas, dalam Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir menerangkan bahwa pertanyaan itu bukan pemaksaan, melainkan sebagai permintaan belas kasihan. Ini menunjukan adab seorang pencari ilmu terhadap gurunya. Bahkan, Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menyatakan jika ini merupakan pertanyaan yang penuh etika dan kelembuatan
Pada lafad أَتَّبِعُكَ , Quraish Shihab dalam al-Misbah menerangkan adanya penambahan huruf ta yang mengindikasikan kesungguhan dalam upaya mengikuti gurunya itu. Bahkan setelah mendengar jawaban Nabi Khidir pada ayat berikutnya yakni:
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
“Dia menjawab:”Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu”
Bersikap Tawadhu’
kembali pada ayat ke 66, Quraish Shihab menambahkan bahwa pada kata “bolehkah aku mengikutimu?”, selain nampak kesantunan, Nabi Musa juga menjadikan dirinya sebagai pengikut (santri). Inilah yang Quraish Shihab maksud dengan sikap tawadhu’. Meskipun Musa merupakan seorang nabi yang senantiasa diberi petunjuk bahkan bergelar Ulul Azmi dan Kalimullah, ia tetap merasa belum pandai.
Sikap tawadhu’ umumnya diartikan sebagai sikap merendahkan diri. Maksudnya ialah sikap yang membebaskan seseorang dari ikatan kedudukan tinggi sehingga ia merasa masih di bawah. Ia merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang lain. kebalikan dari sifat ini ialah sombong.
Baca juga: Ketahui Ayat-Ayat Favorit Santri Bekal Rohani dari Para Kyai
Patuh terhadap Guru
Kesungguhan Nabi Musa untuk belajar juga dikuatkan kembali dalam ayat ke 69 yang berbunyi:
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا
“Musa berkata:”Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”
Quraish Shihab memfokuskan pada lafad Insya Allah yang menurutnya memiliki kesan bahwa kesabaran nabi Musa dikaitkan dengan kehendak Allah. Dengan begitu, ia tidak bisa dikatakan berbohong karena ketidaksabarannya, karena ia telah berusaha.
Kemudian pada ayat ke 70, maka disebutkan prasyarat yang diajukan Nabi Khidir yakni
قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
“Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”
Saat Nabi Musa diperbolehkan untuk mengikuti Nabi Khidir, Nabi Khidir memberikan syarat kepadanya agar tidak melemparkan pertanyaan tentang peristiwa yang akan terjadi selama bersamanya hingga Nabi Khidir sendiri yang menjelaskan. Ibnu Katsir juga menerangkan bahwa sebelum Nabi Khidir menjelaskan tindakannya, maka Nabi Musa dilarang untuk bertanya kepadanya.
Namun Quraish Shihab dalam al-Misbah memiliki keterangan yang sedikit berbeda. Menuruntnya Nabi Khidir tidak bermaksud melarangnya secara tegas, tetapi lebih mengaitkan larangan tersebut pada kehendak Musa. Artinya larangan tersebut bukan keinginan Nabi Khidir melainkan sebagai konsekuensi Nabi Musa dalam mengikuti Nabi Khidir.
Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul
Modal utama santri dalam menuntut ilmu
Di kalangan pesantren, kitab Ta’lim al-Muta’allim hampir sudah menjadi kewajiban bagi santri untuk mengkajinya. Salah satu hal yang menarik dari kitab karangan syaikh az-Zarnujy ialah saat ia mengutip syair dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib yang berisi tentang 6 syarat yang harus dimiliki oleh pencari ilmu yakni, cerdas, semangat, sabar, ada biaya, ada bimbingan guru dan waktu yang lama.
Belajar dari kisah Nabi Musa, maka bisa terlihat pula nilai-nilai santri yang terdapat padanya. Kesungguhan, kesabaran, ketawadhu’an dan sebagainya menjadi modal utama seorang santri dalam mencari ilmu. Meskipun dikisahkan bahwa Nabi Musa tidak cukup sabar dalam melihat perilaku Nabi Khidir yang menurutnya di luar kewajaran, namun hikmah yang terkandung dari kisah tersebut ialah bahwa ketidak sabaran itu muncul dari kurangnya pengetahuan.
Baca juga: Riyadhah KH. M. Munawwir Krapyak, dari Wirid Al Qur’an hingga Bertemu Nabi Khidir
Pada akhirnya mematuhi perintah guru (selama dalam kebaikan) merupakan kewajiban bagi para pencari ilmu (santri) dan kesabaran termasuk syarat utama mencari ilmu. Imam Syafi’i pernah mengatakan dalam syairnya:
فَمَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَعَلُّمِ سَاعَةً ** تَجَرَّعَ ذُلَّ الجَهلِ طُولَ حَيَاتِهِ
“barangsiapa belum pernah merasakan mecari ilmu walau sesaat, maka ia akan menelan kebodohan sepanjang hidupnya”.
Wallahu a’lam[]