BerandaTafsir TematikMengingat Allah Swt Sebagai Nikmat Terbesar Bagi Muslim

Mengingat Allah Swt Sebagai Nikmat Terbesar Bagi Muslim

Sebagai muslim, nikmat terbesar dalam hidup adalah ketika mengingat sang pencipta, Allah Swt. Ketika itu hati dan pikiran mewujud pada tindakan yang lillah (karena Allah). Dengan mengingat Allah, hati akan tenang meskipun berbagai ujian silih berganti menerpa dan menempa baik itu ujian dalam hal ekonomi, percintaan, ujian ketika menuntut ilmu, ujian dalam pekerjaan dan lain sebagainya. Segala ujian dapat dilewati dengan hati tetap tenang jika jiwa dan raga terpusat kepada Allah. Keterangan mengenai hal ini sangat jelas disebutkan dalam surat Ar-Ra’d ayat 28:

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ  ٢٨ [ الرّعد:28]

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” [Ar Ra’d:28]

Baca Juga: Mushaf Nusantara: Jejak, Ragam dan Para Penjaganya, Karya Intelektual Generasi Milenial

Dewasa ini berbagai tayangan di televisi atau di media lain yang menjadi konsumsi publik seringkali menampilkan kehidupan yang seolah ideal. Sadar atau tidak sadar hal ini memberi pengaruh pada cara berpikir audiensnya. Media menggiring publik berpikir bahwa hidup yang ideal adalah jika seseorang banyak harta, memiliki paras rupawan, menjadi terkenal, memiliki barang-barang mewah dan hal-hal materialis lainnya.

Ketika hal tersebut sudah terbenam jauh dalam alam bawah sadar, orang mulai resah, kurang bersyukur terhadap apa yang telah dimiliki dan tidak tenang jika hidupnya tidak memenuhi standar ideal tersebut yang pada ujungnya orang tidak sabar lantas melakukan segala cara demi mendapatkannya meskipun harus dengan  cara yang salah seperti penipuan, operasi plastik yang berlebihan dan lain-lain. Ini kenyataan termasuk di Indonesia yang sedang digegerkan dengan kasus penipuan investasi bodong.

Terdapat pelajaran besar bagi masyarakat bahwa seringkali salah sangka. Apa yang sempurna menurut penglihatan manusia bisa jadi sesuatu yang sangat buruk. Di sini bukan berarti menjadi kaya, rupawan dan terkenal adalah hal yang salah. Itu merupakan bagian dari nikmat yang diberikan Allah untuk disyukuri dan sah-sah saja selama diraih dengan cara yang benar dan digunakan untuk hal-hal yang maslahat di jalan Allah.  Cara-cara yang keliru tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang hatinya selamat seperti tertera dalam ayat di bawah ini:

إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ  [ الشعراء:89]

“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,” [Ash Shu’ara”:89]

Tidak mengherankan jika para sufi menempuh jalan pembersihan hati agar ia menjadi jernih danr dapat menangkap sesuatu yang hakikat bukan yang hanya “tampaknya”. Hal ini banyak dijelaskan salah satunya oleh sufi besar di dunia Islam yakni Maulana Jalaluddin Rumi melalui karyanya Fihi Ma Fihi. Dalam karya ini beliau mengajak untuk memikirkan sesuatu yang haqiqi dibalik wujud yang materi sebagai kunci ketenangan hati.

Dalam satu paragraf, Rumi berpendapat bahwa para penghuni neraka lebih bahagia di neraka ketimbang di dunia ini karena di neraka mereka akan selalu mengingat Allah Swt.  Tidak ada sesuatu yang lebih nikmat dari mengingat Allah. Adapun keinginan mereka untuk kembali kedunia bukan karena dunia lebih membahagiakan dari neraka melainkan adalah agar mereka bisa beramal baik sehingga mereka dapat menyaksikan perwujudan keagungan Allah (Fihi Ma Fihi, 511). Pendapat ini membri kesadaran bahwa sesuatu yang sangat menakutkan (siksa neraka) pada hakikatnya adalah sebuah cara yang Allah gunakan agar manusia merasakan kenikmatan yang haqiqi yakni mengingat Allah.

Baca Juga: Keutuhan Al-Qur’an: Warisan Paling Berharga Umar bin Khattab bagi Umat Islam

Selain Rumi, sufi besar perempuan Rabiah Al- Adawiyah juga memiliki sebuah ungkapan yang sangat populer. Dalam doanya, beliau meminta dibakar di neraka jika ibadahnya karena takut siksa neraka, diharamkan dari surga jika ibadahnya karena berharap masuk surga. Ia hanya ingin ibadahnya karena semata-mata cinta kepada Allah dan berharap dapat melihat keindahan Allah ‘Azza wa Jalla.

Demikianlah, Allah telah memilih wakil-wakil di dunia ini untuk menyampaikan kepada umat manusia agar senantiasa mengingat Allah dan memusatkan segala perilaku hanya karena Allah diwaktu susah maupun senang. Dengan demikian manusia akan terhindar dari perilaku yang mengikuti nafsu semata namun merugikannya baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam bish-shawab.

Wiji Nurasih
Wiji Nurasih
Minat kajian Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...