“Fatwa Kecil dari Kudus” merupakan judul artikel dalam Majalah Tempo, 4 Agustus 1984. Majalah ini didapat dari arsip Perpustakaan Medayu, Surabaya. Artikel yang dimuat dalam rubrik “Agama” ini menarik untuk diulas kembali karena memuat hasil musyawarah tokoh ulama Alquran Indonesia pada zaman dahulu.
“Persoalan Alquran dan penghafalannya baru pertama kali dibahas di Kudus, Jateng, di bawah naungan seorang ulama Alquran terkenal, K.H. Arwani. Tiga dari lima masalah dipecahkan,” begitulah headline artikel yang tertulis. Penulis mencoba mengulas hasil musyawarah yang tertulis dalam artikel “Fatwa Kecil dari Kudus” kemudian mengaitkannya dengan keadaan saat ini bahwa ternyata telah banyak sekali perkembangan mengenai penulisan mushaf serta fatwa-fatwa yang menyertainya.
Fakta bahwa musyawarah tersebut baru pertama kali dibahas di Kudus dan melibatkan para ulama besar yang kini pondok pesantrennya telah berkembang pesat, menunjukkan bahwa Kudus merupakan salah satu tonggak perkembangan pesantren tahfiz Al-Qur’an dengan tokoh legendarisnya, yaitu K.H. Arwani Amin.
Pertemuan tersebut berlangsung sekitar 13 jam dan bertempat di Masjid Busyro al-Lathif, Kajeksan. Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 250 hafiz alumni Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, serta 1200 santri dari Kelurahan Kuwanaran, Kudus. Sidang ini dipimpin oleh K.H. Sya’roni Ahmadi dari Kudus.
Tiga Fatwa yang Disepakati
Terdapat lima permasalahan yang dibahas dan tiga di antaranya menghasilkan kesepakatan. Adapun tiga permasalahan yang mencapai kesepakatan adalah sebagai berikut.
- Muculnya kaset rekaman Alquran ulama Mesir, Syeikh Mahmud Al-Khusari, yang memiliki perbedaan bacaan tajwid dengan K.H. Arwani, yaitu mad wajib munfasil yang dibaca dua alif atau empat harakat. Dalam hal ini, K.H. Arwani tetap memutuskan jika mad wajib munfasil dibaca tiga alif/enam harakat. Kemudian, kesepakatan selanjutnya adalah memperbolehkan membaca dua alif apabila telah musyafahah atau mengaji langsung kepada guru atau ulama yang mengajarkan demikian.
Berkaitan dengan panjang bacaan mad, K.H. Arwani Amin saat ini memang masyhur dengan nasihat beliau kepada para pembaca dan penghafal Alquran untuk membiasakan diri membaca Alquran dengan tartil. Hal ini juga diamalkan oleh santri-santri beliau yang kini telah memiliki pesantren sendiri.
- Penulisan Alquran rasm ustmani yang telah dibakukan pemerintah. Dalam hal ini, kesepakatannya adalah menentang penulisan rasm ustmani tersebut karena perbedaan penulisan dan akan membingungkan.
Baca juga: Mushaf Alquran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas
Perlu diketahui bahwa pada kurun waktu tersebut, Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama RI baru saja menetapkan pedoman penerbitan dan pentashihan Alquran dalam Muker (Musyawarah Kerja) Ulama Al-Qur’an ke-10 dan menerbitkan tiga model Mushaf Standar Indonesia, yaitu mushaf standar Ustmani, Bahriyah, dan Braille. Pentashihan ini merupakan hasil ijtihad selama kurun waktu 1974-1983 M.
Sementara itu, K.H. Arwani beserta santrinya telah menggunakan Mushaf Pojok terbitan PT. Menara Kudus sejak 1974. Mushaf ini juga telah mendapatkan tanda tashih dari Lajnah Pentashih pada tanggal 16 Mei 1974 M. Mushaf Pojok Menara Kudus merupakan hasil kopi ulang dari mushaf Bahriyah terbitan percetakan Usman Bik di Turki yang dilihat dari karakter tulisannya, merupakan hasil tangan kaligrafer bernama Mustafa Nazif. Pada awalnya, mushaf tersebut merupakan kepunyaan Mbah Arwani yang dibawa pulang dari ibadah haji pada tahun 1970-an. Kemudian beliau meminta untuk dicetak ulang tanpa merubah apapun (Nahih, 2017).
Mushaf Pojok ini dikenal legendaris karena memudahkan santri dalam menghafal Alquran. Sebagai simbol lokalitas Kota Kudus, Mushaf Pojok masih banyak digunakan para santri di berbagai pesantren dan masih terus diterbitkan. Namun, perlu diketahui bahwa PT. Menara Kudus saat ini telah menerbitkan mushaf rasm ustmani dalam berbagai versi. Bahkan Pondok Pesantren Yanbuul Qur’an Kudus melalui CV. Mubarokatan Thayyibah telah menerbitkan ‘Al-Qur’an Al-Quddus’ dengan rasm ustmani yang dicetak oleh PT. Buya Barokah. Mushaf Pojok rasm ustmani Menara Kudus saat ini juga populer di kalangan santri, karena menurut beberapa santri saat ini, hasil cetakan dinilai lebih jelas dibandingkan dengan hasil cetakan Mushaf Pojok yang merupakan tulisan tangan asli.
- Permasalahan tentang hafiz/ah yang lupa hafalannya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa melupakan hafalan dengan sengaja termasuk dosa besar. Para ulama mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah dalam kitab Fatawa Al-Kubra bahwa lupa yang termasuk dosa besar adalah lupa karena sengaja melalaikannya.
Dua Permasalahan yang Diperselisihkan
Kemudian ada dua permasalahan yang belum mencapai penyelesaian karena terdapat perbedaan pandangan, yaitu:
- Perihal penulisan kalimah “Al-Kitab” dalam Alquran, apakah menggunakan alif pada huruf ta’-nya atau tidak. Hingga saat ini, pada Mushaf Pojok Menara Kudus tertulis الكتاب, sementara dalam mushaf rasm ustmani tertulis الكتب, dengan menambahkan harakat fathah panjang pada huruf ta’ sebagai tanda bacaan panjang.
- Kewajiban setiap desa/kecamatan/kabupaten memiliki setidaknya seorang penghafal Alquran. K. H. Maftuch berpendapat bahwa dengan menganalogikan setiap desa harus ada masjid, maka setiap masjid harus ada seorang hafiz. Sementara kiai lain berpendapat keberadaan hafiz pada setiap desa bukanlah hal yang mudah. Apalagi mengingat pada zaman dulu pesantren belum berkembang pesat seperti saat ini.
Beberapa kiai yang hadir dan disebut dalam artikel “Fatwa Kecil dari Kudus” tersebut adalah K.H. Sya’roni Ahmadi, K.H Muharror Ali-Blora, K.H Maftuch-Kediri, dan K.H. Azhari-Payaman. Beliau-beliau ini merupakan santri Mbah Arwani yang kini telah menjadi kiai atau pimpinan pondok pesantren di berbagai pelosok pulau Jawa. Secara tidak langsung, jaringan santri Mbah Arwani sebagai kader qiraat Nusantara telah memperkuat akar transmisi sanad qiraat K.H. Munawwir Krapyak sebagai pembawa sanad utama Alquran ke Nusantara abad ke-20 (Junaedi, 2023).
Baca juga: Profil Mbah Munawwir: Sang Mahaguru para Qurra’ Nusantara
Sementara itu, K.H. Munawwar Krapyak dan K.H. Arwani Amien dikategorikan sebagai ulama pembawa jalur sanad qiraat Abu Hajar oleh Gus Milal dalam diskusi peluncuran bukunya, Sanad Qur’an dan Tafsir di Nusantara: Jalur, Lajur, dan Titik Temunya (Asrori, 2022).
Artikel “Fatwa Kecil dari Kudus” terbitan Majalah Tempo 1984 ini sangat menarik diulas karena kita dapat menarik benang merah ke tempo dulu kemudian menghubungkannya dengan perkembangan ilmu Alquran saat ini. Kenyataan bahwa apa yang lahir saat ini, hal-hal yang kita pelajari, merupakan hasil ijtihad pada ulama kita terdahulu. Wallahu a’lam.