Dalam artikel yang lalu telah diintrodusir biografi Hasan Hanafi, sekarang kita menginjak pada tataran pemikiran hermeneutika Al-Quran-nya. Sebagaimana diketahui bersama, Hasan Hanafi mempunyai pemikiran berupa hermeneutika Al-Quran kritik emansipatoris, yaitu memahami makna Al-Quran dalam konteks kekinian tanpa tercerabut dari konteks historis dan yang terpenting pemahaman tersebut tidak berkutat dalam wacana.
Lebih dari itu, benar-benar mampu membawa pada perubahan sosial masyarakat, inlah yang menjadi fokus kajian atau distingsi dari hermeneutika Hasan Hanafi. Berikut penjelasannya di bawah ini.
Hermeneutika ala Hasan Hanafi pertama kali dikemukakan melalui karyanya Religius Dialogue and Revolution. Di mana ia melihat hermeneutika sebagai aksiomatika, sebagaimana halnya pandangan Al-Quran terhadap kitab suci lainnya, status wanita menurut Al-Quran dan ajaran Yahudi dan sebagainya. Pun dalam Dirasat Islamiyyah bab Ushul Fiqh dan Dirasat Falsafiyyah utamanya dalam bahasan Qira’ah Nash.
Di dalam disertasinya, ia menggunakan pendekatan hermeneutika kritis emansipatoris dalam memahamai fenomenologi keberagamaan, dan mengimplementasikannya dalam ‘La Phenomenologie de L’Exegese, esay d’une hermeneutique existentielle a partir du Nueveau Testament’ (Fenomenologi Penafsiran: Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) tahun 1965-1966.
Dua Agenda dan Piranti Besar
Concern Hasan Hanafi dalam mengembangkan hermeneutika Al-Quran-nya dibangun atas dua agenda, yaitu persoalan metodis atau teori penafsiran dan persoalan filosofis. Secara metodis, hanafi seolah hendak menggariskan beberapa new line (garis baru) dalam memahami Al-Quran dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris Al-Quran.
Sementara agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai kritikus bahkan dekonstruktor tethadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Al-Quran. Maka, dalam konteks ini ia mencoba merekonstruksi hermeneutika ala dirinya dengan menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqih, fenomenologi, Marxis, dan hermeneutika itu sendiri.
Baca juga: Hasan Hanafi, Eksponen Penting Dalam Hermeneutika Al-Quran
Melalui empat komposisi tersebut, Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam. Atau tafsir revolusioner yang menjadi pijakan normatif-ideologis bagi umat Islam – ntuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitas, dan ketidakadilan – yang mengusung hermeneutika lebih bersifat praksis dan mampu menjadi problem solver.
Menurut Hanafi dalam Islam in The Modern world bahwa tanggungjawab tafsir ialah mengungkapkan eksistensi manusia baik secara individu maupun sosial dengan berbagai situasinya sesuai pesan ajaran Islam itu sendiri (shalih likulli zaman wa makan).
Hermeneutika sebagai Aksiomatika
Hermeneutika sebagai aksiomatika menurutnya berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, format, obyektif dan universal, yakni dengan mengkonstruksi sebuah metode yang bersifat rasional, obyektif dan universal dalam memahami teks-teks klasik Islam.
Hermeneutika juga memainkan peranan yang sama seperti teori keseluruhan dan teori penjumlahan dalam matematika, di mana meletakkan semua aksiomanya di muka dan mencoba dahulu merampungkan problem hermeneutika tanpa mengacu pada data relevan khusus sehingga akan menjadi semacam mathesis universal.
Aksiomatisasi hermeneutika menurutnya, mengasosiasi semua masalah yang terdapat dalam kitab suci dan mencoba menyelesaikannya di muka atau in principil dengan meletakkan masalah dengan penyelesaian secara bersama-sama dalam bentuk aksiomatis. Hal ini agar menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang obyektif, rigorus (tepat, akurat dan universal).
Selain itu, dimaksudkan agar tafsir Al-Quran dapat menyentuh masyarakat secara luas dan empiris dengan segala problematika yang dihadapi, tidak hanya sebatas pada aspek teoritis, tapi juga praksis-aplikatif. Hanafi memberikan stressing (penekanan) pada pentingnya ideologi dan “kepentingan” untuk dibawa ke dalam proses penafsiran.
Sebab menurutnya, pembacaan teks yang dilakukan oleh penafsir tidak terlepas dari background sosial budaya serta pengarun intern yang ia miliki. Sederhananya, seorang penafsir dalam menafsirkan harus mengenal siapa dirinya di satu sisi, serta obyektif dan tidak brutal (sewenang-wenang) dalam menafsirkan teks Al-Quran pada sisi yang lain. Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode yang bersifat normatif sehingga diperlukan kelihaian (expertise) dalam kerja-kerja penafsiran.
Baca juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler
Dalam Qadlaya Muashirah, ia berpendapat bahwa kebanyakan tafsir Al-Quran terkungkung dalam tema-tema tautologis (cocokologi) dan repetitif yang sebetulnya tidak relevan. Mentransformasikan penafsiran dari sekadar melegitimasi dogma menuju gerkan revolusi dan dan dari tradisi ke modernisasi, inilah yang kemudian ia sebut dengan sebagai tindakan “regresif-progresif”.
Menurut Hanafi dalam Min al-Nash ila al-Waqi’, apabila teks bertentangan dengan maslahat, maka maslahatlah yang harus didahulukan, sebab teks hanya sekadar wasilah (tools), adapun maslahat adalah ghayah atau maqashid dari teks itu sendiri. Interelasi antara interpretasi dan realitas memang bagi Hanafi demikian signifikan dalam hermeneutika. Bahkan, jika kita amati Hasan Hanafi selalu mengaitkan hermeneutika pada tataran “praksis” hal ini tidak terlepas dari pengaruh Marxisme dalam benaknya. Wallahu A’lam.