Hermeneutika bagi Hanafi tidak hanya membicarakan teknis penafsiran secara metodis dan filosofis semata, akan tetapi juga mengulik dimensi kesejarahan teks dan kepentingan praksis dalam kehidupan. Menurutnya ada tiga langkah operasional hermeneutika atau tiga fase yang menjadi pisau analisis Hanafi, yaitu kesadaran historis atau kritik historis, kesadaran eidetik, dan kesadaran praktis yang akan dibahas dalam artikel ini.
Kritik Historis
Kritik historis adalah sebuah kritik untuk memastikan keorsinilan teks yang disampaikan Nabi saw dalam konteks sejarah. Artinya berdimensi horizontal-historis dan bukan pada tataran vertikal-metafisis. Karenanya, keaslian teks Al-Quran hanya bisa digaransi oleh kritik historis, maka kritik historis harus ditempatkan secara objektif yang bebas dari intervensi bahkan dominasi atau hegemoni teologis, filosofis, mistis, atau bahkan fenomenologis.
Adapun prinsip-prinsip kritik historis menurut Hanafi ialah 1) teks ditulis secara in verbatim (persis dengan redaksi yang difirmankan pertama kali); 2) teks utuh, tanpa ada reduksi; 3) Nabi atau malaikat harus bersikap netral, hanya sekadar sebagai “penyambung lidah” atau alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia.
Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia
Hermeneutika kritis emansipatoris tidak berurusan dengan revelation (wahyu) in verbatim tatkala masih dalam pemikiran Tuhan atau belum di-landing-kan kepada Nabi-Nya dan umatnya. Teks akan in verbatim apabila tidak melewati masa pengalihan lisan, di mana Nabi saw hanya sekadar merupakan penyampai (muballigh). Teks tidak lagi in verbatim karena banyak kata yang terdistorsi meski makna dan siyaqul kalam-nya tetap dipertahankan. Inilah oleh Hanafi disebut teks asli atau sempurna, sebab tidak ada teks suci lain yang ditulis in verbatim dan utuh melebihi teks Al-Quran.
Kritik Eidetis
Hasan Hanafi dalam Dirasat Islamiyah menandaskan bahwa kritik eidetik sebagai proses pemahaman terhadap teks, berfungsi untuk memahami dan menginterpretasi teks setelah validitasnya dita’kidi oleh kesadaran historis. Serta menjadikan ilmu ushul fiqih menjadi lebih sempurna dan komprehensif dalam proses istinbath hukum.
Dalam proses kritik eidetik, Hanafi mempersyaratkan; 1) penafsir harus melepaskan diri dari dogma ayau pemahaman-pemahaman yang ada, kecuali alat untuk analisa linguistik; 2) setiap fase dalam teks mengingatkan bahwa teks Al-Quran turun secara gradual serta mengalami “perkembangan” yang harus dipahami sebagai suatu struktur yang berdiri sendiri.
Selain itu, masih terkait analisis pemahaman, Hanafi juga memberikan prasyarat, di antaranya 1) analisa bahasa, dengan analisis linguistik-sintaksis, sebagai pisau analisis untuk membawa kepada pemahaman terhadap makna teks kitab suci (Al-Quran); 2) analisis konteks historis, yang memusatkan diri pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks itu sendiri;
3) generalisasi, mengangkat makna dari situasi “saat” dan situasi sejarahnya sehingga relevan untuk konteks kekinian dan bahkan masa depan sekalipun. Bagi Hanafi, asbabun nuzul bukan penentu tunggal realitas, namun justru diundang oleh realitas aktual itu sendiri.
Kritik Praktis
Bagi Hanafi, kritik praktis merupakan penyempurnaan kalam Tuhan di dunia. Dogma tidak lebih hanya sebagai motivasi yang diitujukan untuk praksis. Karena menurutnya wahyu Al-Quran sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan manusia di samping obyek pengetahuan.
Sebagai dogma, ia hanya dapat direkognisi eksistensinya apabila didasari sifat keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun juga dapat termanifestasikan dalam perilaku manusia. Karena satu-satunya sumber legitimasi dogma adalah aplikasinya pada dunia praktis. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (ilmu ushul fiqih) dianggap ‘”ilmu tanzil”, yang dibedakan dari “ilmu ta’wil” dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini menghendaki gerak dari manusia kepada Tuhan (dari horizontal menuju vertikal/ bottom up), sementara yurisprudensi menghendaki transformasi Tuhan membumi kepada kehidupan manusia (top-down) sebagaimana dijelaskan Hanafi dalam Humum al-Fikr wa al Wathan.
Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno
Generalisasi pada tahap eidetis ini selanjutnya membuka jalan bagi kritik praksis sebagaimana penjelasan di muka. Hermeneutika kritik emansipatoris merupakan pembacaan Al-Quran dengan maksud-maksud praksis yang menaruh perhatian besar pada transformasi masyarakat. Karena itu, kebenaran teoritis tidak diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya menjadi sebuah motivasi bagi tindakan.
Maka, finalisasi dari proses hermeneutika ini, core-nya adalah bagaiamana output penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, dapat memberi motivasi atau melandasi kemajuan dan kesempurnaan kehidupan manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi ia tetap tidak dapat dikatakan sempurna dan berhasil tanpa membumi kepada kehidupan manusia. Sebab di sinilah memang maqashid atau tujuan akhir di-landing-kannya teks suci (Al-Quran).
Dari sini terlihat bahwa fungsi hermeneutika kritis emanispatoris sebagai sarana jihad untuk melawan berbagai macam sekat-sekat dan eksploitasi dalam masyarakat, yang kemudian bermuara pada kesadaran manusia (self or citizen’s awareness).
Kesimpulan
Dari tiga fase analisis di atas, Hasan Hanafi mengharapkan hermeneutika kritis emansipatoris dapat bersifat teoritik sekaligus praksis-aplikatif yang berfungsi sebagai analisis filologi murni terhadap teks yang tidak akan memperbincangkan masalah prinsipil dalam penafsiran (ekstrovert).
Dan secara filosofis digunakan untuk menunjukkan problematika yang concern pada problem pembacaan, yang menyerap teks ke dalam perbincangannya sendiri (introvert). Serta pada akhirnya, semua hasil penafsiran itu mampu menyempurnakan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Bukankah itu yang dikehendaki dari maksud teks Al-Quran? J Wallahu A’lam.