Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya. Jika Anda belum membaca artikel sebelumnya, silakan meng-klik tautan berikut.
Analisis Historis
Dalam hal ini, analisis historis bisa dilacak dengan riwayat sabab nuzul. Surah Almudatstsir ini turun dalam empat tahap, sehingga ada empat sabab nuzul yang menerangkan terkait historisitas surah Almudatstsir. Dua di antaranya berkaitan dengan Walid ibn al-Mughirah.
Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Walid menyiapkan makan untuk kaum Quraish. Ketika menikmati makanan dengan para sahabatnya itu, ia lantas melemparkan pertanyaan, “Nama apa yang pantas kalian berikan kepada orang yang seperti ini (Muhammad)?” Ada yang menjawabnya, lebih pantas sebagai tukang tenung, penyair, dan yang lainnya.
Kemudian Walid mengatakan, sebutan yang pantas untuk Muhammad adalah tukang sihir. Sebab pengaruh sihirnya sangat membekas pada setiap orang yang mendengarkan ucapannya–ayat Alquran. Kemudian dalam riwayat yang lain, dikisahkan desakan Abu Jahal agar Walid mengucap dan memalingkan dirinya dari kebenaran Alquran (Q. Shaleh, dkk, Azbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Alquran, 610-611).
Terkait dengan Walid juga ada dalam sebuah riwayat dalam surah az-Zukhruf ayat 31-32. Ia mengatakan, bahwa sekiranya apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu adalah sebuah kebenaran, pasti Alquran itu akan diturunkan kepadanya atau kepada Mas’ud ats-Tsaqafi (Shaleh, dkk, Azbabun Nuzul, 484).
Kritik Ideologi
Dengan mengungkap sisi ideologis ini, maka akan menjadikan sebuah teks melahirkan suatu pemahaman yang akan mebuatnya hidup kembali sesuai dengan zaman kehadirannya.
Surah Almudatstsir dalam kajian tartib nuzul al-Jabiri masuk dalam penurunan wahyu pada fase awal dakwah, yakni di Makkah. Masyarakat Arab Makkah waktu itu dikenal dengan karakter ashabiyah (fanatisme)-nya yang kuat, terutama ashabiyah terhadap keluarga dekatnya. Namun, hal itu tidak terjadi pada Nabi Muhammad. Sebab, tidak sedikit dari keluarga Nabi sendiri yang menolak kenabian serta ajaran yang dibawa oleh Nabi.
Respon keluarga Nabi terhadap dakwah Islam dibedakan menjadi tiga golongan, yakni pertama, mereka yang menerima dengan lapang dada serta menyatakan dirinya masuk dalam agama Islam. Seperti halnya Khadijah, Ali, dan Zaid bin Tsabit.
Kedua, mereka yang belum bisa menerima ajaran Islam, tetapi tidak menunjukkan penolakan. Justru mereka memberikan pembelaan. Semisal, Abu Thalib. Yang ketiga, yakni mereka yang menentang ajaran Nabi sekaligus menolak dan memusuhi. Ada dua belas suku yang menentang ajaran Nabi, salah satu di antaranya adalah Walid ibn al-Mughirah dari Bani Makhzum (Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian dalam Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, 346-348).
Baca juga: Menilik Fenomena Hoaks pada Zaman Nabi Muhammad (Bagian 1)
Seperti yang sudah diterangkan di atas, bahwa Walid menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang penyihir. Bisa dikatakan, bahwa ini adalah tuduhan yang paling “efektif”. Alasan yang pertama adalah sebab predikat yang di sandang oleh Nabi, yakni seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis–ummi.
Jika dinalar, bagaimana mungkin bisa seseorang yang ummi bisa mengutarakan kalimat-kalimat indah. Bahkan, sebenarnya, Walid sendiri juga telah mengakui akan hal tersebut. Bahwa, tidak ada orang yang akan sanggup menyamainya. Alasan kedua adalah, pada saat itu ramalan maupun sihir yang terkenal.
Kedua hal tersebut telah menjadi nalar masyarakat Arab sebelum Islam datang, sangat memberikan pengaruh sebab berkaitan dengan spiritual dan kejiwaan masyarakat pada waktu itu. Sehingga, keberadaan dari para peramal itu sangat dihormati.
Tradisi ramal ternyata tidak hanya ada dalam keyakinan masyarakat paganisme. Akan tetapi, juga ada pada mereka yang memeluk keyakinan Yahudi dan Nasrani. Peramal itu seakan-akan menjadi dokter kejiwaan yang bisa mengatsi segala permasalahan psikis serta menjadi tempat untuk mencari ketangan hidup.
Baca juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Alquran
Para peramal tersebut akan memberikan sebuah informasi tentang apa yang akan terjadi sesuai dengan permintaan dari masyarakat yang bertanya. Mereka bisa memberikan ramalan masa depan serta hal-hal lain yang bersifat gaib. Masyarakat menyakini, bahwa informasi yang disampaikan oleh peramal tersebut adalah informasi dari langit, yang dicuri oleh jin lalu diberikan kepadanya.
Ketika masyarakat bertanya, para peramal tersebut akan menjawabnya dengan gaya ungkapan sajak. Gaya ungkapan dan keyakinan inilah yang menghadirkan problem terhadap kenabian Nabi Muhammad saw.
Masyarakat melihat adanya kesamaan, apa yang diucapkan oleh para peramal dan apa yang diucapkan oleh Nabi. Sebab, ayat Alquran yang diturunkan pada saat itu–di fase Makkah-didominasi dengan gaya bahasa yang indah. Sekalipun demikian, segala tuduhan yang dilontarkan kepada Nabi tersebut langsung mendapatkan penegasan dan konfirmasi Alquran. Alquran senantiasa menyanggah segala berita hoaks yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. (Wijaya, Sejarah Kenabian, 242-245).
Kesimpulan
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Walid adalah orang yang memiliki kedudukan saat itu. Ia adalah orang yang paling mengetahui seluk-beluk keindahan sastra, hingga tidak ada yang mampu menyainginya. Bahkan ia mengakui akan keindahan gaya bahasa yang dimiliki oleh Alquran (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw, 389-390).
Ia adalah orang yang terpandang, baik secara finansial maupun strata sosial. Dan, memiliki segala kemewahan dan keistimewaan yang ada. Kemahirannya dalam memahami keindahan gaya bahasa rupanya tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap Walid. Hal ini terbukti, ketika Walid mengetahui akan keindahan Alquran, ia justru memalingkan dirinya. Sebab, ada desakan dari Abu Jahal, yang juga merupakan tokoh besar dari suku Quraish.
Secara historis dan ideologis dari ayat tersebut, bahwa keberadaan peramal dan tukang sihir adalah fenomena yang paling populer saat itu. Ditambah dengan tingginya daya tarik masyarakat terhadap bersyair.
Baca juga: Tabayyun, Tuntunan Alquran dalam Klarifikasi Berita
Fenomena-fenomena ini kemudian dijadikan sebuah alat untuk menolak dan menghalangi orang agar tidak percaya terhadap apa yang diucapkan oleh Nabi. Dari analisis-analisis ini, ada tiga poin penting yang bisa dielaborasi lebih lanjut. Yang pertama, seseorang yang membuat atau pelaku dari penyebar berita hoaks sebenarnya sudah mengetahui kelebihan dari orang yang dianggap lawannya.
Seperti halnya Walid, ia mengetahui akan potensi yang dimiliki oleh Nabi. Bahwa, kemampuan bersyair Nabi, melalui ucapan-ucapannya terkait ayat Alquran, adalah sebuah kemustahilan bisa ditiru oleh oleh banyak orang, termasuk Walid. Ia menyadari akan kebenaran itu, namun ia mengingkarinya. Sehingga ia membuat tuduhan bahwa Nabi adalah penyihir, agar posisinya sebagai seorang yang dikenal mahir bersyair tidak tergeser.
Kedua, para pelaku hoaks yang melempar dengan isu-isu yang sangat popular saat itu. Menuduh Nabi sebagai penyihir, bukan sembarang tuduhan. Walid sudah memperhitungkan ini dengan saksama. Sebab, fenomena sihir dan ramal pada saat sedang menjadi tranding topic.
Baca juga: Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran
Ketiga, para pelaku dari hoaks, bisa jadi sebenarnya sedang mengalami tekanan dari berbagai pihak. Sama seperti halnya Walid yang kala itu dengan mengakami tekanan dari Abu Jahal. Yang notabene adalah orang sangat berpengaruh dari kalangan suku Quraish. Suku yang terhormat.
Jikalau Walid menolak desakan dari Abu Jahal, sangat besar kemungkinan Walid akan kehilangan reputasi dan kewibawaannya di hadapan para pembesar suku-suku pada waktu itu. Sehingga, respons Alquran terhadap fenomena hoaks ini ditujukan kepada mereka yang membenci ajaran Nabi. Padahal, mereka mengetahui akan kebenaran dari ayat-ayat Alquran. Mereka menjadikan hoaks sebagai alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Wallahu a’lam.