BerandaTafsir TematikMenilik Isyarat Pahala Puasa dari Beberapa Ayat Alquran

Menilik Isyarat Pahala Puasa dari Beberapa Ayat Alquran

Puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa di mata Allah swt. Mungkin ini konsekuensi paling sederhana yang dapat dipahami dari beberapa riwayat yang berkaitan tentang puasa, terlebih tentang pahala puasa. Sebut saja, riwayat Imam Malik (93-197 H./712-795 M.). Dalam Al-Muwaththa’-nya meriwayatkan,

كُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، إِلاَّ الصِّيَامَ، فَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap kebaikan akan dilipatgandakan 10 sampai 700 kali lipat, kecuali puasa. Ia milik-Ku dan aku sendiri yang akan membalasnya.”

Dengan redaksi yang hampir sama, riwayat serupa juga dapat dijumpai dalam Shahih Bukhari (194-256 H./810-870 M.), Shahih Muslim (204-261 H./820-875 M.), Musnad Ahmad bin Hanbal (163-241 H./780-855 M.), Sunan Ibn Majah (207-273 H.) dan Sunan An-Nasa’i (215-303 H.).

Secara ringkas dapat dipahami bahwa riwayat ini menjadi istitsna’ atau pengecualian atas pahala setiap amal kebaikan. Jika umumnya kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya sepuluh sampai 700 kali lipat maka tidak demikian dengan puasa. Allah Swt. sendiri yang ‘memilikinya’ dan Dia sendiri yang akan memberikan pahala.

Dari penjelasan ini, setidaknya dua pertanyaan yang bisa diajukan: pertama, mengapa ibadah puasa begitu istimewa di hadapan Allah Swt.? kedua, seberapa besar pahala yang diberikan Allah kepada mereka yang berpuasa?

Baca Juga: Empat Aspek Penting dalam Tadabur Ayat tentang Puasa Ramadan

al-Ghazali (450-505 H./1057-1111 M.) dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din menjelaskan bahwa ada dua alasan yang menyebabkan puasa begitu istimewa. Pertama, puasa pada hakikatnya adalah menahan (al-kaff) dan meninggalkan (al-tark). Ia tidak memiliki amaliah lahir yang terlihat sebagaimana ibadah lainnya: salat, zakat, dan haji. Oleh karenanya, hanya Allah swt. sendiri yang menyaksikannya.

Kedua, puasa memiliki peranan penting dalam melemahkan nafsu (asy-syahwah) yang pada gilirannya turut melemahkan tipu muslihat setan. Berdasar alasan ini pula, Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِي مِن ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالْجُوْعِ

“Sesungguhnya setan ‘mengalir’ dalam tubuh anah Adam mengikuti aliran darah, maka buatlah sempit alirannya dengan lapar (puasa).”

Alasan kedua ini pula yang agaknya dapat menjadi penjelasan logis atas sabda Rasulullah saw. lainnya,

إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةَ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِدَتْ الشَّيَاطِيْنُ

“Ketika telah masuk bulan Ramadhan pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Ahmad)

Baca Juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

Isyarat pahala puasa dalam beberapa ayat Alquran

Sementara untuk pahala puasa, setidaknya tiga ayat yang memuat isyarat hal ini menurut al-Ghazali. Pertama, surah al-Haqqah [69] ayat 24,

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ

(Dikatakan kepada mereka,) “Makan dan minumlah dengan nikmat sebagai balasan amal yang kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.”

Imam Waki‘ menyebut bahwa maksud dari al-ayyam al-khaliyah (hari-hari yang telah lalu) adalah hari-hari yang digunakan untuk berpuasa. Senada dengan Imam Al-Kalbi, sebagaimana dinukil ar-Razi (w. 606 H.) dalam Mafatih al-Gaib, yang mendasarkan tafsirnya ini dengan keberadaan dua perintah di awal ayat. Perintah makan dan minum ditujukan bagi mereka yang selama di dunia tercegah dari keduanya karena berpuasa.

Kedua, surah az-Zumar [39] ayat 10,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.”

Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Gaib, menjelaskan bahwa frasa bi gair hisab dapat digambarkan paling tidak dari dua sisi, kuantitas dan kualitas. Sisi kuantitas meniscayakan adanya kontinuitas pahala yang tiada henti (gair nihayah), sebagai konsekuensi logis dari sesuatu yang memiliki hisab (bilangan) akan selalu berhenti (mutanahi).

Sedangkan dari sisi kualitas, frasa bi gair hisab digambarkan sebagai sesuatu yang tidak dapat didefinisikan. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai,

مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

“kenikmatan yang mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar, dan belum pernah terbersit di hati manusia.”

Sabda Rasulullah saw. ini juga menjadi tafsiran atas ayat ketiga yang disebutkan oleh al-Ghazali sebagai isyarat pahala puasa, surah as-Sajdah [32] ayat 17,

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa (macam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka kerjakan.”

Oleh karena keistimewaan dan kebesaran pahala yang dimiliki ini, sudah semestinya kita menunaikan ibadah puasa dengan spirit imanan wa ihtisaban yang sesungguhnya. Semoga memperoleh hal yang telah Allah dan rasul-Nya janjikan dalam setiap firman dan sabdanya. Amiin. Wallahu a‘lam bi ash-shawab

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...