BerandaUlumul QuranMenilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

Menilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

Penjelasan mengenai ‘amud Al-Quran (tema sentral Al-Quran) yang dikembangkan oleh Hamiduddin Farahi, mufasir kontemporer asal India ini menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pada salah satu karyanya, Dalail al-Nidzam, al-Farahi memberikan ulasan lebih lanjut tentang ‘amud Al-Quran sekalipun secara global.

Sebenarnya konseptualisasi ‘amud Al-Quran ala al-Farahi berasal dari nidzam yang terdapat dalam Al-Quran. Nidzam, dalam pandangan al-Farahi dan Islahi, seperti yang dikutip Mustansir Mir dalam Coherence in the Quran, merupakan prinsip yang sangat diperlukan dalam penafsiran. Sehingga, al-Farahi menyebutkan bahwa nidzam adalah yang pertama dan yang terpenting dari semua prinsip penafsiran. Bahkan, apabila melupakan petunjuk terhadap nidzam, maka terlupakan juga bagian terbesar dari Al-Quran (Al-Farahi, Tafsir Nidzam Al-Quran).

Nidzam Al-Quran mempunyai arti penting dalam penafsiran Al-Quran sebagaimana dipaparkan oleh Farid Ravi dalam al-Imam ‘ Abd al-Hamid al-Farahi wa Juhuduh fi al-Tafsir wa‘ Ulum al-Qur’an, adalah (1) implementasi metodologi nidzam akan mengantarkan pada tujuan Al-Quran itu sendiri; (2) nidzam adalah sebuah bukti dari kebenaran ta’wil; (3) nidzam adalah sebuah kunci untuk mengetahui hikmah di balik Al-Quran, karena ada kerahasian dalam Al-Quran; (4) nidzam membuka wawasan untuk memahami Al-Quran dari aspek balaghah.

Dengan menjaga metodologi nidzam dalam penafsiran maka akan diketahui kronologi ayat itu turun, serta sebagai respon atas kritik riwayat tafsir dengan ini juga bisa membedakan antara riwayat yang lemah dan kuat. Menerapkan nidzam dalam penafsiran akan membawa pembaca pada kemudahan dalam memahami Al-Quran

Baca juga: Mengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

Keberadaan nidzam sangat penting, dikarenakan nidzam merupakan satu-satunya cara untuk memahami Al-Quran denga tepat. Ketika membaca Al-Quran tanpa panduan dari nidzam, maka hanya beberapa pengetahuan yang didapat dari Al-Quran. Tanpa adanya nidzam, Al-Quran tidak lebih dari kumpulan ayat dan surat. Tapi, dengan adanya nidzam bisa berubah menjadi kesatuan yang nyata.

Sekilas ‘Amud Al-Quran

Secara bahasa ‘amud berarti tiang. Seperti yang diungkapkan Mustansir Mir dalam Coherence in the Quran,

“According to al-Farahi, each Qur’anic surah has a distinct controlling theme called ‘amud. The ‘amud (literally, “pillar, column”) is the hub of surah, and all the verses in that surah revolve around it. In attemping to establish the unity of a surah, Farahi central concern is to determine the surah’s ‘amud.”

Al-Farahi sendiri mendefinisikan ‘amud sebagai sesuatu yang menyatukan tema-tema wacana. Namun bukan berarti ‘amud yang mendorong pemersatu secara umum, melainkan ‘amud sebagai prinsip pemersatu yang spesifik dan pasti. Amud merupakan pusat dari surat, maka semua surat akan berada atau berputar di sekitarnya. Sehingga, yang menjadi orientasi al-Farahi adalah menemukan ‘amud surat.

أما العمود فلا يكون لسورة إلا واحد، وهذه الواحد ربما يحتوى واحد أشياء كثيرة

Hanya ada satu ‘amud dalam satu surat, namun bisa jadi satu ‘amud tersebut memang mengandung beberapa perkara di dalamnya. ‘Amud merupakan hal yang paling utama dalam memahami pesan tunggal.

Menurut al-Farahi, setiap surat dalam Al-Quran meki tema sentral yang menggabungkan makna dari surat itu sendiri. Tema sentral tersebut mengubah aspek-aspek yang berbeda menjadi seperti satu unit, meskipun ada arti yang berbeda dari ayat atau surat secara bersamaan.

Lebih dari itu, ‘amud dapat menyatukan seluruh surat menjadi satu kesatuan, yang kemudian ia kembangkan secara logis. Sehingga metodologi yang dilakukan oleh al-Farahi menghasilkan sebuah tafsir yang lengkap. Ini adalah gagasan utama yang kemudian diteruskan oleh al-Islahi, muridnya.

Baca juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

Metodologi ‘Amud Al-Quran

Basis dari kesatuan nidzam dalam Al-Quran adalah surat, yang bertumpu pada ‘amud. ‘Amud merupakan benang pemersatu dalam surat, dan surat harus ditafsirkan dengan mengacu pada ‘amud tersebut. Tidak hanya setiap surat adalah kesatuan, tapi juga ada hubungan yang logis di antara semua surat yang mengikuti satu sama lain. ‘Amud berfungsi sebagai tema pengontrol pada setiap surat.

Beberapa cara al-Farahi dalam mengungkapkan ‘amud Al-Quran pada saat melakukan penafsiran:

  • Dalam beberapa penafsirannya, al-Farahi menjelaskan kandungan ‘amud di awal pembahasan kemudian diikuti dengan ittishal, atau terkadang juga menggunakan kata rabith lalu disambung dengan pembahasan nidzam surat. Seperti halnya pada surat al-Dzariyat, al-Qiyamah, al-Mursalat, ‘Abasa, al-Syams, al-Tin dan al-Kautsar.
  • Terkadang juga al-Farahi mencantumkan terlebih dahulu nidzam surat, kemudian diikuti dengan ‘amud nya, seperti pada surat al-Tahrim.
  • Pada surat al-Fil misalnya, al-Farahi memberikan sebuah keterangan lebih lanjut. Karena memang al-Farahi memiliki argumen yang berbeda dari mufassir lainnya terkait mukhatab pada surat tersebut. Sebelum menguraikan kandungan ‘amud, al-Farahi memberikan sebuah intruksi untuk mengkaji terlebih dahulu terkait penjelasan siapa mukhatab yang dimaksud. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar terkait ta’wil dan makna rabith.
  • Dan dalam 4 surat yang lain, al-Farahi tidak menunjukkan apa ‘amud yang terkandung dalam surat tersebut, yakni pada surat al-Asr, al-Fil, al-Kafirun dan al-Lahab.
  • Menurut al-Farahi, setiap surat dalam Al-Quran meki tema sentral yang menggabungkan makna dari surat itu sendiri. Tema sentral tersebut mengubah aspek-aspek yang berbeda menjadi seperti satu unit, meskipun ada arti yang berbeda dari ayat atau surat secara bersamaan.

Dari metode yang digunakan al-Farahi dalam mengungkap ‘amud Al-Quran terlihat bahwa metode penafsiran ‘amud Al-Quran tidak terlepas dari nidzam Al-Quran. Nuansa nidzam di sini sangat kental. Mustansir Mir sendiri telah mengidentifikasi enam penafsir modern yang mengembangkan gagasan tema sentral (‘amud) dalam Al-Quran, yakni al-Farahi (1930), Ashraf Ali Thanavi (19943), Sayyid Quthb (1966), al-Islahi (1997), Izzat Darwazah (1984) serta Thabathaba’i (1981), selain itu ada juga Muhammad Abdullah Darraz (1958). Metodologi ini berupaya untuk membimbing penafsir pada pemahaman yang holistik. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU