Di era digital ini, jari-jari bisa lebih tajam dari lidah. Komentar, story, retweet, atau balasan DM kadang lebih menyakitkan daripada ucapan langsung. Dulu orang bertengkar hanya sebatas lewat mulut, tapi sekarang cukup lewat kolom komentar. Ironisnya, semua itu sering dibungkus dengan dalih “kan cuma ngasih pendapat”, “jujur aja”, “ga usah baper” atau “biar dia sadar”.
Padahal, Islam telah memberi panduan tentang bagaimana cara berbicara. Bukan hanya dalam bentuk suara, tapi juga tulisan. Dalam Alquran, Allah mengingatkan bahwa setiap kata, setiap huruf, bahkan niat di baliknya tidak pernah luput dari catatan.
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (QS. Qaf [50]: 18)
Baca Juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11: Bentuk Penjagaan Lisan
Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ada dua malaikat yang mencatat setiap ucapan dan perbuatan manusia. Sehingga tidak ada suatu perkataan dan perbuatan yang dilakukannya melainkan pasti dicatat, tanpa ada yang terlewatkan sedikitpun. (tafsir al-Munir, jilid 13, hal 520).
Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa tidak hanya ucapan saja yang dicatat melainkan perbuatan juga, maka komentar pun juga demikian. Jari yang asal ketik bisa menyeret seseorang pada dosa yang tanpa disadari. Kadang, hanya karena emosi sesaat atau ikut-ikutan tren menyindir, kita membiarkan adab lepas dari genggaman.
Dalam Alquran pun tidak melarang seseorang untuk menyampaikan kritik atau pun pendapat, akan tetapi harus menggunakan etika dalam melakukan hal itu. Berikut adalah etika komentar dan kritik yang diajarkan Alquran.
Pertama, Tabayyun
Tabayyun berarti memverifikasi, mengklarifikasi, atau meneliti suatu informasi sebelum menyebarkannya atau mengambil tindakan berdasarkan informasi tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Alquran surah al-Hujurat [49]: 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Alquran mengingatkan manusia untuk tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan informasi. Jangan hanya karena viral, lalu ikut menyebarkan tanpa klarifikasi. Apalagi jika informasi itu bisa menjatuhkan orang lain.
Di era digital, tabayyun bukan sekadar pilihan tapi sebuah keharusan. Tidak semua yang tampak salah benar-benar salah, bisa jadi itu hanya potongan dari sebuah video atau cerita yang utuh. Maka berhati-hatilah, karena jejak media tidak bisa hilang begitu saja.
Baca Juga: Tafaqquh fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran
Kedua, Tidak Mencela atau Menghina
Sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Hujurat [49]: 11
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok itu) lebih baik dari pada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik dari pada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.
Ayat ini mengajarkan larangan keras untuk mencela, merendahkan, dan menghina orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini body shaming menjadi gambaran. Tak jarang ketika menemukan postingan di media sosial mengenai postur tubuh yang kurang baik itu dibanding-bandingkan dengan standar fisik tertentu, mendapatkan sindiran, atau komentar merendahkan yang seringkali dikemas dalam bentuk candaan.
Tanpa sadar, candaan yang dilontarkan dalam komentar itu ternyata menyakiti orang lain. Tak jarang pula orang mengalami tekanan psikologis karena membaca komentar yang menyakitkan. Islam mengajarkan untuk menjaga kehormatan sesama, bukan menjatuhkannya meskipun dalam bentuk candaan.
Ketiga, Menjaga Prasangka
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain… . QS. Al-Hujurat [49]: 12.
Terkadang, komentar yang menyakitkan lahir dari prasangka yang terlalu cepat. Manusia terlalu percaya pada isi kepala sendiri, terlalu cepat menyimpulkan, dan terlalu yakin bahwa dirinya yang paling tahu. Padahal, Allah menyuruh manusia menjauhi prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa dan juga jangan suka mencari kesalahan-kesalahan orang lain.
Baca Juga: Al-Qur’an di Era Digital dan Kemunculan Generasi Muslim Melek Digital
Keempat, Kritik yang Membangun
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan Hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk. QS. An-Nahl [16]: 125
Kritik boleh, tapi dengan cara yang baik. Dalam Tafsir al-Munir, kata Hikmah disini diartikan dengan perkataan yang kuat, tepat, menyentuh dan berkesan. Sedangkan mauizah hasanah, yaitu dengan nasihat-nasihat yang baik dan berkesan dalam hati mereka. (Tafsir al-Munir, jilid 7, hal 511).
Maka, saat melihat postingan yang kurang pantas, sampaikan kritik secara membangun. Jangan menjatuhkan, merendahkan, ataupun mempermalukan. Kritik bukan sekadar menyampaikan kebenaran, tapi juga bagaimana menyampaikannya dengan cara yang baik dan benar. Kritik yang menyakiti hati, merendahkan atau mempermalukan bisa menjadi ladang dosa, meskipun isi yang disampaikan benar.
Di era digital seperti saat ini, menjaga lisan bukan lagi sekadar menjaga ucapan. Tapi, juga menjaga tulisan dan ketikan. Jangan sampai karena ketikan dari jari, bisa membuat celaka di akhirat. Dan jangan karena ingin terlihat tegas atau lucu, kita malah menyakiti tanpa sadar.