BerandaTafsir TematikMenstruasi dan Cara Menjaga Kesehatan Reproduksi dalam Al-Quran

Menstruasi dan Cara Menjaga Kesehatan Reproduksi dalam Al-Quran

Allah melalui firmanNya memperhatikan betul kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan. Salah satu ayat yang menunjukkan edukasi menjaga kesehatan reproduksi ialah Surat Al-Baqarah ayat 222. Tulisan ini akan menampilkan penafsiran para ulama tentang cara menjaga kesehatan reproduksi yang terkandung dalam ayat tersebut.

Perempuan yang Menstruasi tidak kotor, melainkan terkena gangguan

Menstruasi ialah suatu keadaan biologis perempuan dalam masa reproduksi yang ditandai dengan keluarnya darah dari dahim sebagai akibat pelepasan selaput lender rahim. Keadaan ini umumnya terjadi sebulan sekali.

Dalam mayoritas literatur tafsir klasik tentu kita akrab menjumpai makna menstruasi sebagai kotoran (qadzarun). Saya sependapat bila yang dimaksud menstruasi di sini adalah darah yang keluar dari rahim karena tidak terjadi fertilisasi. Karena, mengikut pada mayoritas ulama bahwa darah itu kotor.

Akan tetapi, saya lebih memilih tidak setuju bila makna kotor itu dinisbatkan pada perempuan yang mengalami menstruasi, sehingga menggiring anggapan sinis bahwa perempuan yang menstruasi itu harus dijauhi karena ia kotor. Anggapan seperti ini sama saja bertindak diskriminatif terhadap perempuan.

Pemaknaan haid bersumber dari Surat Al-Baqarah ayat 222:

وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ

“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu gangguan” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri”

Ayat ini berisi larangan untuk berhubungan seksual di kala menstruasi. Dalam ayat tersebut, menstruasi dimaknai dengan “al-adza”, yang multitafsir dan problematik. Ada yang memaknainya dengan qadzarun (kotoran), seperti As-Suyuti dalam Tafsir Jalalain dan Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi. Penafsiran demikian ini yang kemudian menyebabkan bias diskriminasi terhadap perempuan karena adanya stigmatisasi perempuan haid itu kotor.

Maka, akan lebih adil bila kita mendudukkan pengertian “al-adza” pada penafsiran yang ramah perempuan, seperti Ibnu ‘Asyur dan Quraish Shihab. Dalam at-Tahrir wat-Tanwir Ibnu ‘Asyur mengartikan “al-adza” pada ayat di atas dengan:

الأذى: الضر الذي ليس بفاحش

Al-Adza ialah bahaya yang bukan suatu cela

Ibnu ‘Asyur mengartikan demikian berdasarkan “adza” dalam surat Ali ‘Imran ayat 111, yang dimaknai juga dengan bahaya.


Baca juga: Surat Yusuf Ayat 28 vs Surat An-Nisa Ayat 76, Benarkah Perempuan Lebih Berbahaya Daripada Setan?

Sementara itu, Quraish Shihab memaknai “al-adza” sebagai gangguan, baik fisik maupun psikis yang didera perempuan. Dengan pengertian “al-adza” sebagai gangguan atau bahaya, pemahaman menstruasi terdengar lebih manusiawi dan ramah terhadap perempuan. Perempuan tak lagi dianggap kotor, melainkan sedang terkena gangguan.

Edukasi menjaga kesehatan reproduksi

Surat Al-Baqarah ayat 222 di atas berisi edukasi untuk menjaga kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki. Cara menjaganya ialah dengan tidak melakukan hubungan seksual saat istri menstruasi. Hal ini karena, kondisi psikis dan fisik perempuan yang menstruasi sedang dalam gangguan.

Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menyebutkan dampak hubungan seks ketika menstruasi bisa menimpa laki-laki maupun perempuan. Dampak itu bisa berupa fisik dan psikis. Secara fisik, dengan keluarnya darah, mengakibatkan gangguan pada jasmani perempuan dan laki-laki. Rasa sakit sering kali melilit perut perempuan akibat rahim berkontraksi. Laki laki pun juga akan terserang infeksi melalui alat kelaminnya, dan akan merasakan sakit pada waktu buang air seni.

Sedangkan secara psikis, perempuan yang menstruasi, emosinya sering tidak terkontrol, sehingga hasrat seksualnya juga tidak menentu. Begitu juga, darah yang keluar terus menerus, akan mengganggu kenyamanan hubungan intim antar pasangan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.


Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah


Dampak yang lebih fatal dari hubungan seks saat menstruasi bisa menimpa keturunannya. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu ‘Asyur, janin yang hidup dari pembuahan saat menstruasi berpotensi akan mengalami kecacatan. Karena, fertilisasi terjadi ketika sel ovum tidak pada bentuknya yang sempurna.

Pada penggalan ayat selanjutnya –yakni, hatta yathurn-, Allah memperbolehkan untuk melakukan hubungan seks ketika istri sudah suci. Ada perbedaan pendapat mengenai makna suci. Bila mengacu pada qira’at ‘yathurna’ yang bermakna bersih atau suci, makna suci di situ ketika darah haid berhenti. Sedangkan pendapat kedua –sebagaimana pendapat Quraish Shihab-, mengacu pada qira’at ‘yatatahharna’, yang berarti amat suci. Sehingga suci berarti ketika perempuan sudah mandi besar.

Memahami larangan berhubungan seks selama istri menstruasi sebagai suatu cara menjaga kesehatan reproduksi, baik bagi perempuan maupun laki-laki, akan lebih mashlahat, daripada mendudukkan ayat di atas sebagai larangan mendekati perempuan haid karena menganggapnya kotor.


Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya


Selain itu juga lebih mengena bila kita mengerti konteks turunnya ayat itu. Yang menurut riwayat ‘Abbas dalam Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul karya as-Suyuthi, turun sebagai respons terhadap perilaku tidak manusiawi Kaum Yahudi terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Di antaranya, mengeluarkannya dari rumah; tidak makan dan minum bersama; dan tidak melakukan interaksi dalam bentuk apa pun. Lalu, ayat ini turun untuk menunjukkan makna menstruasi sebenarnya, dan membatasi larangan hanya pada berhubungan seksual.  

Jadi, jangan lagi mendudukkan perempuan sebagai objek yang harus dijauhi dikala haid, ya! pahami saja bahwa kesehatan reproduksi harus dijaga dan mengertilah bahwa perempuan yang haid itu sedang mengalami kondisi tidak enak, sehingga kita bisa memilih sikap yang tepat. Sekian. Wallahu a’lam[] 

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...