Kata Asy-Syifa dalam Al-Quran disebut sebanyak 6 kali dengan berbagai bentuk derivasinya. Asy-Syifa (kemudian baca tanpa al-ma’rifah: syifa’) menarik untuk disoal karena ia juga dinobatkan sebagai salah satu laqab dari Al-Quran. Penobatan laqab syifa’ untuk Al-Quran menjadi satu informasi alternatif tentang sifat lain Al-Quran sebagai penyembuh.
Namun, makna kata syifa’ tidak diartikan hanya sependek itu. Menurut mufasir seperti Ibnu Katsir dan Fakhruddin Ar-Razi atau mufasir kontemporer seperti Quraish Shihab memaknai kata syifa’ secara rinci, bahkan Ar-Razi melebarkannya menjadi lebih komprehensif. Adanya diskurus pemaknaan yang lebih kaya dan komprehensif tersebut tentunya akan lebih memudahkan umat Islam dalam mengaplikasikan pesan-pesan Al-Quran.
Baca Juga: Nama-nama Al-Quran dan Tujuannya
Makna syifa’ sebagai laqab Al-Quran
Secara harfiyah kata syifa dalam kamus Alma’any diartikan sebagai kesembuhan, penyembuh, penawar, dan obat. Term As-Syifa’ menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam Muqayyis Al-Lughah selalu disandingkan dengan marad (sakit) sebagai lawan katanya. Syifa’ dengan berbagai bentuk posisi katanya dalam Al-Quran disebut sebanyak 6 kali. Disebut dalam bentuk mashdar syifa’ pada surah Al-Isra’ ayat 82:
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
Atau dalam bentuk fi’il mudhari’ yasyfiin seperti dalam surah Asy-Syu’ara ayat 80:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,”
Lafadz-lafadz syifa dalam Al-Quran jelas menunjukkan bahwa ia laqab dari Al-Quran, karena memiliki sifat dan fungsi yang disandarkan pada Al-Quran. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim bahwa Al-Quran adalah syifa’. Artinya, Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati seperti keraguan, kemunafikan, kemusyrikan, kesesatan, dan ketidak-istiqamahan.
Pendapat Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga seirama dengan Ibnu Katsir mengenai fungsi Al-Quran sebagai syifa’ atau penyembuh penyakit hati. Namun, penjelasan penyakit hati yang diungkapkan oleh Quraish Shihab lebih interdisipliner karena menyelaraskan dengan konteks keilmuan modern.
Secara praktis, Al-Quran memang tidak bisa instan mengobati penyakit jasmani. Namun, Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit rohani yaitu mencakup gangguan mental dan jiwa, dan hal ini akan sangat berdampak pada kesehatan jasmani seseorang.
Baca Juga: Al-Quran Sebagai Obat, Bagaimana Memahaminya?
Selain pendapat diatas, ada beberapa mufasir yang memaknai kata syifa’ secara komprehensif seperti Abu Hayyan al-Andalusy dalam Tafsir al-Bahr al-Muhit, Abd al-hamid Ibn Badis dalam Tafsir Ibn Badis, dan Fakhruddi Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb. Interpretasi mereka yang demikian mengacu pada posisi nakirah yang disandang kata syifa dalam Al-Quran.
Fakhruddin Ar-Razi misalnya, mengatakan bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh baik itu dari penyakit ruhani maupun jasmani sekaligus. Ar-Razi sendiri membagi penyakit ruhani menjadi dua macam, yaitu akidah yang keliru dan akhlaq yang tercela. Sedangkan pendapatnya mengenai Al-Quran sebagai penyembuh jasmani, berbeda dengan Quraish Shihab yang memakai wasilah dari ruhaniyah dulu. Ar-Razi berpendapat bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh penyakit jasmaniyah secara langsung.
Baca Juga: Al-Quran adalah Obat Bagi Penyakit Rohani: Tafsir Surat Al-Isra Ayat 82
Mekanisme dan konsep syifa sebagai penyembuh menurut mufasir
Al-Quran yang berfungsi sebagai syifa’ atau penyembuh, tentu tidak hanya sebatas pada hakikat filosofis lughawi saja. Ia juga memiliki prosedur tersendiri sehingga mekanisme penyembuhan tersebut benar-benar bekerja. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dengan cara menumbuhkan rasa keimanan kepada Al-Quran, kecintaan untuk mewujudkan kebajikan, maka di sanalah Al-Quran menjadi obat atau penawar penyakit hati.
Quraish Shihab dan Fakhruddin Ar-Razi secara subtantif juga menyampaikan pendapat yang senada, bahwa Al-Quran dapat menghidarkan diri dari penyakit jika seseorang bertabarruk, membaca, dan mentadabburinya. Namun, sebagaimana keterangan awal Ar-Razi yang holistik mengenai makna syifa’, ia juga mengorelasikannya dengan beberapa variabel lain dalam Al-Quran. Salah satu variabel yang dimaksud Ar-Razi adalah surah Al-Fatihah yang bisa berfungsi sebagai syifa’ dari penyakit dan digunakan untuk ruqyah.
Variabel lain yang digunakan Ar-Razi terkait fungsi syifa’ Al-Quran adalah madu, yang sifatnya lebih kepada jasmaniyah. Madu dapat menunjang kesembuhan dan kesehatan pada fisik tubuh manusia. Pengaitan Ar-Razi tentang madu sebagai penyembuhan tersebut tidak lain didasarkan pada surah An-Nahl ayat 69, yang jelas tersurat lafadz syifa’ didalamnya.
Karena penafsiran makna syifa’ yang holistik, dalam Mafatih al-Ghayb, Ar-Razi merumuskan konsep syifa’ tersebut menjadi tiga bentuk klasifikasi. Pertama, syifa’ yang bersifat furu’iyyah atau jasmani. Contoh syifa’ jenis ini berkaitan dengan fungsi Al-Fatihah dan minuman madu sebagai penyembuh jasmaniyah.
Kedua, syifa’ ushuliyyah, yaitu berhubungan dengan kerusakan penyakit ruhani atau penyakit hati dan mental sebagaimana yang diungkap di awal. Ketiga, syifa’ ijmali atau bersifat global. Syifa’ jenis terakhir ini berkaitan dengan aktivitas perbaikan spiritualitas dan tindakan manusia demi terwujudnya kesempurnaan lahir batin di hadapan Allah maupun makhluk-Nya.
Adanya definisi makna Syifa dalam Al-Quran yang lebih luas sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir di atas, otomatis akan memudahkan umat Islam dalam mengaplikasikan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran. Wallahu a’lam.