BerandaTafsir TematikMerawat Nilai-nilai Kebangsaan dalam Tafsir Lisan M. Quraish Shihab

Merawat Nilai-nilai Kebangsaan dalam Tafsir Lisan M. Quraish Shihab

Penafsiran Al-Qur’an terkait isu-isu kebangsaan bukan hanya menarik dibahas, tetapi juga sangat penting dilakukan, terutama dalam menunjukkan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Di sini, M. Quraish Shihab menjadi ahli tafsir sekaligus ulama terkemuka Indonesia yang melakukan tafsir kebangsaan tersebut.

Penafsiran M. Quraish Shihab saya peroleh dari diskusi “Tafsir Kebangsaan Quraish Shihab” oleh Abdul Qahar dan M. Quraish Shihab dalam kanal youtube @medcomid yang dipublikasikan pada 06 Juni 2019. Bentuk penafsirannya adalah tafsir lisan, yang mengindikasikan adanya kekhasan tersendiri dalam penafsiran M. Quraish Shihab.

Di sini, saya akan menggunakan unsur-unsur tafsir lisan berupa penafsir, pendengar tafsir, teks tafsir, dan konteks tafsir, dalam memahami nilai-nilai kebangsaan melalui penafsiran M. Quraish Shihab. Sehingga, tulisan ini akan menunjukkan sejauhmana penafsiran M. Quraish Shihab dapat dirasakan dan diambil dalam rangka membangun dan merawat semangat kebangsaan di Indonesia.

Sekilas tentang M. Quraish Shihab dan Tafsir Lisan

Quraish Shihab adalah ulama tafsir terkemuka kelahiran Bugis, ia lahir pada 16 Februari 1944, di Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Keberadaannya di Indonesia menjadi kebangaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, sebab ia banyak memberi sumbangsih besar pada Islam di Indonesia. Bahkan termasuk 500 muslim yang paling berpengaruh di dunia. Tidak heran jika ia ditempatkan sebagai muslim moderat yang banyak dirujuk oleh berbagai kalangan Islam dan non-Islam.

Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Ada sangat banyak karya M. Quraish Shihab, baik yang tertulis maupun dalam bentuk lisan. Tidak jarang karya tulisnya disampaikan kembali dalam bentuk lisan, atau sebaliknya. Kitab Tafsir Al-Misbah misalnya, karya fenomenal M. Quraish Shihab, awalnya ditulis sejak tahun 2002 yang kemudian disampaikan dalam bentuk lisan sejak tahun 2004 pada “Kajian Tafsir Al-Misbah”. Selain “Kajian Tafsir Al-Misbah”, tafsir lisan M. Quraish Shihab juga dapat dilihat dalam acara “Lentera Hati”.

Masih sangat banyak fakta yang menunjukkan M. Quraish Shihab aktif menyampaikan tafsir Al-Qur’an dalam bentuk lisan, baik yang terekam di televisi, media sosial maupun yang tidak. Ini menunjukkan bahwa tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak hanya bermuara pada tulisan semata, tetapi juga lisan. Bahkan, tradisi tafsir lisan muncul lebih dahulu daripada tafsir tulis, sebagaimana pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa ada beberapa komponen dalam tafsir lisan. Dalam konteks ini, dapat dipetakan bahwa M. Quraish Shihab sebagai penafsir, masyarakat Indonesia sebagai pendengar tafsir, isu kebangsaan sebagai teks tafsir, dan maraknya ketimpangan sosial dalam berbangsa dan beragama di Indonesia, terutama setalah 2019, sebagai konteks tafsir.

Isu Kebangsaan dalam Penafsiran M. Quraish Shihab

Dalam tafsir lisannya, yang berlangsung kurang lebih 40 menit, ada beberapa isu kebangsaan yang menjadi perhatian M. Quraish Shihab yang penting diangkat di sini. Pertama, persatuan Indonesia. Kedua, moderasi beragama. Ketiga, pengorbanan jiwa raga untuk bangsa. Keempat, optimis dalam kebaikan. Kelima, silaturrahmi. Keenam, mendahulukan kemanusiaan daripada keberagamaan. Dan ketuju, bijak dalam perbedaan.

Mengenai persatuan Indonesia, M. Quraish Shihab menekankan tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga, sekecil apapun jika ada pihak yang berupaya melakukan sesuatu yang mengarah pada perpecahan, harus segera dicegah. Karena itu, setiap pandangan warga Negara Indonesia, siapapun itu, harus tertuju kepada persatuan Indonesia.

Mengenai moderasi beragama, adanya wacana moderasi beragama yang tersebar di Indonesia dinilai belum cukup oleh M. Quraish Shihab. Hal ini disebabkan beberapa faktor: (1) penggunaan media sosial yang kerapkali kurang mendukung, (2) masyarakat yang tidak memahami agama dengan baik, (3) adanya orang-orang yang menggunakan agama untuk tujuan tidak baik dan tidak dibenarkan oleh agama.

Padahal, semua ini bertentangan dengan agama. Misalnya, larangan agama (Al-Qur’an) untuk memanggil kepada orang lain dengan panggilan yang buruk seperti ‘kampret’, ‘cebong’ dan lainnya (Quraish Shihab, 2019). Larangan ini juga dipegang oleh penafsir lainnya seperti Ibn Katsir dalam Tafsîr Al-Qur’an Al-’Azhim (1999) dan lainnya. Pemahaman larangan tersebut ia rujuk kepada QS. Al-Hujurat [49]: 11.

Mengenai pengorbanan jiwa raga untuk bangsa, M. Quraish Shihab menilai perlu meneladani para pahlawan Indonesia dahulu. Ia mengatakan bahwa saat ini pengorbanan jiwa dan raga tersebut, minimal, dilakukan dengan mengorbakan perasaan. Dalam artian, menepis perasaan menganggap diri sendiri yang benar, ini demi menjaga kesatuan bangsa. Hal seperti ini merupakan upaya berlomba-lomba dalam kebaikan, sebagaimana dipahami M. Quraish Shihab terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 148.

Mengenai optimis dalam kebaikan, M. Quraish Shihab mengajak untuk meneladani para Nabi yang optimis dan bersabar dalam dakwahnya. Saat yang sama, M. Quraish Shihab menggaris bawahi perlunya mendahulukan upaya menghindari keburukan daripada melakukan kebaikan. Hal ini sebagaimana yang ditentukan oleh para ulama agama.

Mengenai silaturrahmi, M. Quraish Shihab memaknainya secara luas, yaitu sambung rasa dan sambung kasih. Untuk mencapai kesempurnaan silaturrahmi tersebut, ia mengatakan bahwa bukan dengan mencari yang tersambung, tetapi mencari yang putus lalu disambungkan. Sehingga yang dimaksud bersilaturrahmi adalah mencari orang-orang yang hubungannya pernah terputus atau renggang, lalu memperbaikinya.

Mengenai mendahulukan kemanusiaan daripada keberagamaan, M. Quraish Shihab menilai bahwa untuk menjaga hubungan, Islam senantiasa mendahulukan kemanusiaan daripada keberagamaan. Hal ini sebagaimana sejarah Nabi Muhammad SAW yang rela tidak melaksanakan umrah demi mencapai kedamaian bersama musuh-musuhnya. Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersedia menghapus bacaan Basmalah demi mencapai kedamaian dalam perjanjian Hudaibiyah.

Mengenai bijak dalam perbedaan, M. Quraish Shihab merujuk QS. Saba’ [34]: 50 yang dipahaminya dengan “boleh jadi Saya yang benar, Anda yang salah. Boleh jadi Anda yang benar, Saya yang salah”. Karena itu, perbedaan tidak untuk dipermasalahkan. Dalam rangka membangun bangsa, umat manusia dari agama manapun mesti berlomba-lomba dalam kebaikan tanpa mempersoalan perbedaan cara yang ditempuinya.

Baca Juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Berbagai paparan di atas memberi pemahaman bahwa tafsir atas isu-isu kebangsaan oleh M. Quraish Shihab bermuara pada upaya membangun bangsa menjadi lebih baik. Ada kegelisahan M. Quraish Shihab menyaksikan keadaan berbangsa dan beragama, yang kemudian ia dialogkan dengan ajaran Islam, baik disarikan dari Al-Qur’an maupun kisah para Nabi. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh konteks Indonesia yang tengah dialaminya terhadap penafsirannya.

Dengan demikian, adanya tafsir lisan tentang kebangsaan M. Quraish Shihab mengajarkan pada kita tentang kesadaran atas persoalan-persoalan dalam kehidupan ini, terutama ketika hendak menafsirkan ajaran agama (termasuk Al-Qur’an) yang terkait dengan isu kebangsaan. Hal ini bertujuan membangun dan mengembangkan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, terutama sebagai penafsir Al-Qur’an. []Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU