BerandaKhazanah Al-QuranMisteri Kata “Dzalika” dalam Surah Al-Baqarah Ayat 2

Misteri Kata “Dzalika” dalam Surah Al-Baqarah Ayat 2

Sebagai Isim Isyarah alias kata tunjuk, kata “Dzalika” dan “Hadza” (termasuk dalam format feminimnya, “Tilka” dan “Hadzihi”) sangat sering kita jumpai dalam Al-Quran. Musthafa Al-Ghalayini dalam karyanya Jami’ Ad-Durus Al-‘Arabiyah menyatakan bahwa pada dasarnya, Isim Isyarah adalah Dza-nya saja

وَأَسْمَاءُ الإِشَارَةِ هَيَ “ذَا” لِلْمُفْرَدِ المُذَكَّرِ، وَ”ذَانِ وَتْينِ” َللْمُثَنَّى، المُذَكَّرِ، و”ذِهْ وتِهْ” لِلْمُفْرَدِ الْمُؤَنَّثَةِ، و”تانِ وتَيْنِ” للمثنى المؤنث و”أُولاءِ واولى” (بالمدِّ والقَصر، والمدُّ أفصحُ) للجمع المذكر والمؤنث

“Isim–isim Isyarah adalah (Dza) untuk bentuk tunggal maskulin. Dan (Dzaani & _Tyni) untuk bentuk ganda maskulin. Serta (Dzih dan Tih) untuk bentuk tunggal feminim. Serta (Taani dan Tayni) untuk bentuk ganda feminim. Serta (Ulaa’ dan Ulii) –dengan dibaca panjang maupun pendek, lebih fasih dipanjangkan- untuk bentuk plural, baik Maskulin maupun feminim”

Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran

Isim Isyarah sendiri dalam standar kaidah bahasa Arab dibedakan menjadi 3 format berdasarkan jarak tunjuk. Ada yang khusus digunakan untuk jarak tunjuk dekat, jarak tunjuk menengah, hingga jarak tunjuk jauh. Jarak tunjuk dekat ditandai dengan penambahan Ha’ Tanbih sebelum Dza, sehingga menjadi Hadza. Jarak tunjuk menengah mengharuskan penambahan Kaf Mukhatab setelah Dza, menjadi Dzaka. Sedangkan jarak tunjuk jauh mengharuskan penambahan Lam li At-Tab’id setelah Kaf Mukhatab, menjadi Dzalikaa. Aturan ini sudah dimuat Musthafa Al-Ghalayini dalam kitabnya :

لِلْمُشَارِ إليه ثلاثُ مَراتِبَ قريبةٌ وبعيدةٌ ومتوسطةٌ. فيُشار لذي القُربى بما ليس فيه كافٌ ولا لامٌ كأكرمْ هذا الرجلَ أو هذه المرأةَ ولِذي الوسطى بما فيه الكافُ وحدها كاركبْ ذاك الحصانَ، أو تِيكَ الناقةَ، ولِذي البُعدى بما فيه الكافُ واللام معاً، كخُذْ ذلكَ القلمَ، أو تلك الدَّواةَ

“Musyar Ilaih memiliki tiga jarak tunjuk, yakni jarak tunjuk dekat, jarak tunjuk menengah, dan jarak tunjuk jauh. Menunjuk sesuatu yang dekat tidak perlu menggunakan Kaf maupun Lam seperti lafadz : Akrim Hadza Ar-Rajul (hormatilah orang ini !) atau Hadzihi Al-Mar’ah (Wanita ini). Sedangkan untuk menunjuk sesuatu dalam jangka menengah, perlu menambahkan Kaf saja, seperti lafadz : Irkab Dzaka Al-Hishan (Tunggangilah kuda itu), atau Tiika An-Naqah (Unta itu). Sedangkan untuk menunjuk sesuatu dalam jarak jauh, maka perlu menggunakan Kaf dan Lam. Seperti lafadz : Khudz Dzalika Al-Qalam (Ambilkan pena itu), atau Tilka Ad-Dawah (tinta itu !).

Baca juga: Kitab Al-Mutawakkili Karya As-Suyuthi: Mengenal Kosakata Serapan dalam Al-Quran

Yang ganjil adalah, dalam Surah Al-Baqarah ayat kedua, Allah menggunakan kata tunjuk jarak jauh untuk sesuatu yang sifatnya dekat, Yakni Al-Quran

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Bahkan Kementerian Agama RI menerjemahkan kata Dzalika pada ayat tersebut dengan kata “ini” :

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”

Lalu bagaimanakah eksistensi kata dzalika tersebut yang sebenarnya. Mengapa Allah memilih diksi Dzalika untuk sesuatu yang dekat?. Abu Zakariya Yahya Al-Farra’ dalam Tafsirnya Ma’aniya Al-Quran menjelaskan sebagai berikut :

يَصْلُحُ فِيْهِ “ذلِكَ” مِنْ جِهَتَيْنِ، وَتَصْلُحُ فِيْهِ “هَذَا” مِنْ جِهَةٍ فَأَمَّا أَحَدُ الْوَجْهَيْنِ مِنْ “ذَلِكَ” فَعَلَى مَعْنَى: هَذِهَ الْحُرُوْفُ يَا أَحمد، ذَلِكَ اْلْكِتَابُ اَّلذِيْ وَعَدْتُكَ أَنْ أُوْحِيْه إليك. والآخَرُ أنْ يكونَ “ذلِكَ” على معنًى يَصلُح فِيهِ “هَذَا” لِأَنَّ قولَه “هَذَا” و “ذلِكَ” يَصلُحَانِ في كلِّ كلامٍ إذا ذُكِرَ ثُمَّ أَتْبَعَتْهُ بِأحدِهما بِالأَخبارِ عنْه

“dalam kasus tersebut, kata “Dzalika” sudah relevan digunakan dalam 2 sudut pandang, sedangkan kata “Hadza” relevan dalam 1 sudut pandangnya. Adapun salah satu sudut pandang terhadap “Dzalika” adalah kata tersebut mengandung makna : Hadzihi Al-Huruf Ya Ahmad, Dzalika Al-Kitab Al-Ladzi Wa’adtuka An Uhihi Ilaik ( Wahai Ahmad Rasulullah, huruf – huruf ini adalah kitab yang pernah aku janjikan akan kuturunkan padamu). Sedangkan dari sudut pandang lain, kata “Dzalika”punya makna yang relevan dengan “Hadza”. Karena keduanya sesuai digunakan dalam setiap pola kalam, jika seletah penuturan 2 kata tersebut diikuti dengan informasi tentangnya (salah satu keduanya”

Dari keterangan Al-Farra’ tadi, dapat disimpulkan bahwa ada dua potensi penafsiran dalam kata Dzalika pada ayat tersebut. potensi pertama mengungkapkan bahwa yang dimaksud Dzalika bukanlah huruf – huruf yang tertulis dalam ayat tersebut, namun proses pewahyuan Al-Quran yang saat itu sedang terjadi. Sangat bisa dimaklumi bila ada potensi pemahaman seperti itu, karena pada saat itu Al-Quran belum turun secara sempurna, tentu proses turunnya Al-Quran dapat digolongkan sesuatu yang masih jauh sehingga wajar menggunakan kata tunjuk Dzalika.

Baca juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

Sedangkan potensi penafsiran kedua, adalah bahwa lafadz Dzalika maupun Hadza bisa dipakai dalam semua kondisi kata. Asalkan, diikuti oleh informasi (Akhbar) yang menggambarkan Musyar ilaih (sesuatu yang ditunjuk). Hal ini tentu juga saat masuk akal, karena penunjukannya menjadi lebih konkrit. Tujuan dari pembagian Isim Isyarah menjadi 3 level jarak tunjuk adalah upaya untuk menghindari ambiguitas makna. Misalkan, seorang menunjuk sesuatu tanpa menyebutkan informasi bendanya dengan kata : Maa Hadza ?, tentu pembicara harus setidaknaya memberi clue tentang benda terebut, minimal dari jarak tunjuknya. Atau yang disebut bukan informasi, tapi sekedar sifat. Seperti ucapan : hadzihi Jamilah.Tentu, ambiguitas tersebut akan hilang dengan sendirinya jika benda yang ditunjuk sudah jelas.

Dari keterangan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Allah selalu tepat dalam memilih kosa kata. Al-Quran adalah mukjizat literasi dan penantang sastra terbesar sepanjang zaman. Peletakan kata, pemilihan diksi, dan segala detail kebahasaan dalam Al-Quran selalu dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu. Jika melihat dari potensi penafsiran pertama menurut Al-Farra’, tentu pilihan diksi tersebut sangat tepat. Karena, Ayat tersebut turun pada zaman Rasul. Kita menganggapnya ganjil karena kita mendapati Al-Quran sudah dalam kondisi turun dengan sempurna. Wallahu a’lam.

Muhammad Bachrul Ulum
Muhammad Bachrul Ulum
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, peminat kajian linguistik Al-Quran
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...