BerandaTafsir TematikTafsir IsyariMisykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali

Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali

Cahaya bagi al-Ghazali mempunyai makna tersendiri yang lebih esoterik. Istilah yang ada dalam Q.S. al-Nur [24]: 35 dipahami sebagai daya-daya jiwa yang dimiliki manusia seperti indera (hissi), akal (‘aql), imajinasi, daya berfikir (burhan), dan intuisi (‘irfan). Menurut al-Ghazali, melalui daya-daya ini Allah swt membimbing manusia menuju “Cahaya Yang Hakiki”.

Lantas, bagaimana pemaknaan al-Ghazali terhadap term cahaya dalam Q.S. al-Nur [24]: 35 dan mengapa al-Ghazali mempunyai pemaknaan tersendiri yang esoterik ketimbang mufassir lainnya. Simak pembahasannya di bawah ini.

Misykat Al-Anwar

اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌۗ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْۤءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Nur [24]: 35)

Baca Juga: Inilah Tiga Istilah Cahaya dalam Al-Quran

Sebelum masuk lebih dalam penafsiran al-Ghazali, ada baiknya kita mengulas sedikit Misykat al-Anwar fi Tauhid al-Jabbar yang menjadi rujukan dalam penafsiran ayat di atas. Karya ini merupakan karya paling metafisis di mana al-Ghazali menuangkan penafsirannya yang paling esoterik, filosofis dan bahkan radikal sebagaimana disampaikan Salahuddin dalam Tafsir Ayat Cahaya.

Al-Ghazali, melalui Misykat-nya, telah merintis teori filosofis iluminasionis (nadhariyyah al-falsafiyyah al-‘isyraqiyyah) sebelum al-Suhrawardi. Meski al-Suhrawardi, Syekh al-Isyraqi ini mengembangkan mazhab ini dalam bentuk yang lebih sempurna, namun tidak dapat dipungkiri al-Ghazali telah menginspirasinya.

Tak kalah menterengnya dengan maha karyanya, Ihya, Misykat al-Anwar dipakai sebagai entry point oleh mayoritas sufi untuk mengembangkan aliran teosofi dalam Islam, terutama Suhrawardi al-Maqtul dalam mengorkestrasikan teori-teori cahayanya melalui hikmah al-isyraq-nya. Hal ini dituturkan Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam.

Cahaya Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali melalui Misykat al-Anwarnya membagi penafsiran ayat di atas dalam lima klaster term, yaitu misykat, misbah, zujajah, syajarah mubarakah, zaitun, dan nur ‘ala nur. Cahaya, demikian kata al-Ghazali, memiliki beberapa gradasi dan istilah yang di mana tingkatan cahaya tersebut menggambarkan daya-daya potensi yang dimiliki manusia untuk sampai kepada “Cahaya Yang Hakiki”. Berikut ulasan lebih lengkap keenam term cahaya tersebut di bawah ini.

Nur

Jika merujuk pada pembahasan yang lalu, nur bermakna cahaya yang indah (light of beauty) seperti yang dibahasakan Abdullah Yusuf Ali dalam Holy Quran: Text, Translation, and Commentary. Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar menuturkan bahwa ungkapan Allahu nur al-samawat wal ardhi ialah,

مثيله ذلك بالمشكاة والزجاجة والمصباح والزيت والشجرة، مع قوله عليه السلام إن لله سبعين حجابا من نور وظلمة وأنه لو كشفها لأحرقت سبحات وجهه كل من أدركه بصره

“Adalah perumpamaan dengan misykat, al-zujajah, al-mishbah, al-zait dan al-syajarah, sebagaimana disabdakan ‘alaihi al-salam, “Sesungguhnya Allah swt memiliki tujuh puluh hijab baik yang terang maupun yang gelap, andaikan Dia membuka hijab itu tentu siapapun yang melihatnya akan terbakar”.

Artinya bahwa Allah lah satu-satunya yang bisa disebut cahaya (nur) dalam arti yang hakikatnya, Allah adalah unik dan tidak ada yang serupa dengan-Nya (mukhalafah lil hawadits). Adapun cahaya-cahay yang lain dapat disebut secara majazi (kiasan). Cahaya selain Alllah adalah pinjama (ista’ara), dan karena itu bukan wujud pada diri-Nya, melainkan wujud karena yang lain.

Misykat

Istilah kedua, yaitu misykat. Para ulama ahli takwil berbeda pendapat mendefinisikan misykat. Ada yang berkata misykat adalah al-zujajah, dan ada pula yang mengatakan suatu lubang yang tidak tembus (kullu kuwwatin la munfidzu laha) seperti yang disampaikan al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan. Al-Ghazali menafsirkan misykat dengan daya-daya inderawi (al-ruhh al-hissi), karena jika ditilik lebih jauh maka akan didapati cahaya yang keluar dari berbagai lubang, seperti dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, dan lain-lain.

Menurutnya, tamsil (perumpamaan) yang relevan dengan daya spiritual di dunia ini adalah misykat. Sebab daya ini mampu menangkap apa yang dipancarkan oleh panca indera (hissi) dan karena inilah manusia mampu mengetahui sesuatu.

Misbah

Istilah ketiga, yaitu misbah. Al-Tabari memaknai misbah dengan cahaya iman dan Al-Quran yang bersemayam dalam dada manusia (al-quran wal iman al-ladzi ja’ala fi shadrihi). Namun, al-Ghazali dalam Misykat-nya mengumpamakannya dengan al-ruh al-‘aqli (daya rasional). Melalui daya ini, ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilahi dapat terjangkau.

Perumpamaan daya al-misbah dengan ‘aqliah menemukan relevansinya karena dapat menyemaikan cahayanya yang terang ke seantero dunia, sebagaimana cahaya matahari menyinari seluruh dunia sehingga ia disebut al-siraj al-munir (lampu-lampu yang memberi cahaya).

Zujajah

Zujajah bermakna kaca, artinya memiliki daya yang oleh al-Ghazali disebut al-ruh al-khayali (daya imaginasi). Daya imajinasi bak seperti kaca. Karena daya ini masih mempunyai keterkaitan dengan atau yang berasal dari, misalnya materi dunia yang memiliki ruang, waktu, ukuran dan jaraknya sendiri.

Daya ini juga perlu dipoles, dimurnikan, ditempa sehingga setara degan makna-makna atau titik-titik rasional yang mengarah pada cahaya mereka. Imajinasi yang sampai pada tataran ini tidak akan menghalangi cahaya al-misbah (daya rasional), justru semakin mempertajam daya ini sampai kepada-Nya.

Syajarah Mubarakah (Pohon yang diberkati)

Dalam Misykat al-Anwar, al-Ghazali menyamakannya dengan jiwa reflektif (al-ruh al-fikri), seperti pohon. Jiwa ini diawali dari sebatang akar, lalu muncul batang, kemudian cabang, dan ranting-ranting lalu bercabang seterusnya sehingga cabang-cabang ilmu rasional menjadi tumpah ruah seakan tak habisnya dikaji.

Namun ada satu cabang yang disebut syajarah mubarakah, yaitu zaitun. Bagi al-Ghazali, pohon zaitun memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu buahnya mampu diolah menjadi minyak zaitun yang dapat dijadikan minyak bagi lampu. Adapun mubarakah (yang diberkati) adalah sebab masyarakat Arab kerapkali menambatkan hewan peliharaannya di bawah pohon yang lebat akan buahnya maka mereka menyebutnya mubarakah (yang diberkati)).

Adapun redaksi la syarqiyyatan wa la gharbiyyatan (tidak di Timur dan juga Barat), al-Ghazali memaknainya dengan pemikiran-pemikiran murni rasional tidak bisa dijustifikasi benar tepat salahnya hanya dengan satu aspek atau satu sudut pandang, karena ia tidak memiliki “arah” yang tepat. Karena itu tidak pantas jika disebut Timur atau Barat, itu sungguh tidak tepat.

Zaitun

Terakhir, al-Ghazali menyebut cahaya dengan zaitun. Zaitun ini sangat istimewa ia akan menyala meskipun tidak disentuh api (yakadu zaituha yudhi’u walau lam tamsashu nar).  Zaitun juga merujuk, kata al-Ghazali, pada daya nubuwwah (kenabian), artinya meskipun nabi dibenci, dicekal ketika berdakwah bahkan mendapat siksaaan, ia tetap berperan sebagai lentera di tengah kegelapan sekalipun tidak ada yang menjunjungnya. Karena Allah telah menakdirkannya sebagai penerang (lampu).

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 35: Allah Sang Maha Cahaya

Begitu kokohnya keimanan mereka sehingga di antara para wali, menurut al-Ghazali ada yang cahayanya bersinar sedemikian terang sehingga bisa terlepas dari bantuan materi. Namun, jika “minyak” zaitun itu disulut api, maka inilah yang disebut dalam ayat di atas “nur ‘ala nur” (cahaya di atas cahaya).

Penutup

Dari penafsiran al-Ghazali di atas tampak jelas bahwa Allah akan membimbing manusia dengan cahaya-Nya siapapun yang dikehendaki-Nya. Bimbingan itu tidak hanya berupa agama saja, melainkan daya-daya yang dimiliki manusia seperti indera, akal, imajinasi, daya berfikir, daya reflektif dan intuisi. Kesemuanya itu adalah wasilah (perantara) untuk sampai kepada “Cahaya Yang Hakiki” yaitu Allah swt.

Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam mengatakan bahwa daya-daya yang disampaikan al-Ghazali sejatinya merupakan tool atau sumber-sumber pengetahuan (epistemologi) dalam Islam. Karenanya, jika ingin sampai kepada Allah (wushul ilallah), maka kita sebagai manusia harus mampu mengoptimalkan daya-daya tersebut dengan sebaik-baiknya. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...