BerandaTokoh TafsirMuhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Kontroversi penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan kitab suci  Al-Quran antara lain disebabkan oleh background hermeneutika dari khazanah peradaban Barat. Tetapi, bila melihat kilas balik perkembangan penafsiran di Timur Tengah, kita akan temui beberapa tokoh tafsir asal Timur Tengah yang melegalkan metode ini. Salah satunya, ialah Muhammad Al-Ghazali, mufassir penggerak hermeneutika asal Mesir.

Sketsa Biografi

Ia bernama lengkap Muhammad al-Ghazali as-Saqa. Lahir di Distrik Nakla Inab, Buhayrah, Mesir pada 22 September 1917 dan meninggal di usianya yang ke-78 pada 9 Maret 1996. Hidup di tengah keluarga yang sederhana dan religius membuat al-Ghazali tertarik pada ilmu agama sedari kecil. Maka, tak heran, anak sulung dari tujuh bersaudara ini berhasil mengkhatamkan hafalan Al-Quran pada usia 10 tahun. Meski hidup sederhana, orang tua al-Ghazali menaruh harapan agar kelak anaknya ini bisa menjadi tokoh agamawan yang memberi sumbangsih besar untuk kehidupan manusia. Harapan ini muncul ditengarai dengan penyandaran al-Ghazali pada nama anak sulungnya.


Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi


Jejak akademiknya di perguruan tinggi ia mulai di Al-Azhar. Ia berhasil meraih gelar sarjana jebolan fakultas Ushuluddin pada tahun 1941. Tak lama kemudian, di tahun 1943, ia menamatkan studi S2 di universitas yang sama dan menjadi Master di bahasa Arab. Di tahun ini pula, ia memulai karirnya sebagai khatib dan imam di Masjid al-‘Uthbahul Khadra, Mesir.

Mengutip Berdialog dengan Al-Quran, Muhammad al-Ghazali juga menemukan interest-nya di bidang pendidikan. Ia bergabung dalam civitas akademika di al-Azhar dan menjadi dosen di Fakultas Hukum Islam, Pendidikan, Studi Arab dan Keislaman, dan Ushuluddin. Muhammad al-Ghazali juga mendedikasikan ilmunya sebagai dosen tamu di berbagai penjuru negeri Timur Tengah. Antara lain, Universitas Ummul Qura, di Mekah, Universitas Qatar, dan Universitas Abdul Qadir di Aljazair.

Berkat dedikasinya yang tinggi dalam mengabdikan ilmu, Muhammad al-Ghazali berhasil mendapat gelar penghormatan tertinggi dalam bidang pengabdian Islam di Mesir, pada tahun 1988. Bahkan, ia dinobatkan sebagai orang Mesir pertama yang meraih penghargaan Internasional dari Raja Faishal, Saudi Arabia.  Dan tak kalah dari Saudi, pemerintah Aljazair turut mengapresiasi kiprah Muhammad al-Ghazali di bidang dakwah.


Baca juga: Masih Relevankah Metode Tafsir Ijmali Era Rasulullah SAW? Berikut Penjelasannya


Muhammad al-Ghazali juga produktif menulis. Tak kurang dari 64 buku telah tuntas ia garap. Di antara karyanya itu, menunjukkan keseriusan Muhammad al-Ghazali di bidang tafsir. Semisal; Nadzarat fil Quran (1986), Kayfa Nata’ammalu ma’al Qur’anil Karim (1992), al-Mahawirul Khamsah lil Quranil Karim (1989),  dan Nahwa Tafsiril Mawdu’i li Suwaril Quranil Karim (1996).

Menyitir Hermeneutika Al-Quran Muhammad al-Ghazali karya Wardatun Nadhiroh, Al-Ghazali masuk dalam kelompok Ikhwanul Muslimin, tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan sikap fanatik pada kelompok itu. Ia selalu mementingkan Islam dan ini terbukti dari tulisan-tulisannya yang tajam jika dihadapkan dengan isu menyimpang. Juga, identitasnya sebagai seorang sunni madzhab Hanafi dan Asy’ariyah turut menjadi lantaran ia bersikap moderat.

Penggerak Hermeneutika di Timur Tengah

Sebagai tokoh intelektual Islam yang melanglang buana ke berbagai negeri Timur Tengah, ia mempengaruhi muslim saat itu dengan pemikiran pembaruannya yang anti taklid buta serta hermeneutika di bidang tafsir. Dari buku Nahwa Tafsiril Mawdu’i li Suwaril Quranil Karim kita temukan corak hermeneutika ala Gadamer yang mewarnai penafsiran tematik al-Ghazali.


Baca juga: ‘Nabiyyil Ummiyyi’, Benarkah Benarti Nabi Tidak Bisa Baca Tulis?


Pada tafsirnya itu, al-Ghazali menafsir Al-Quran secara tematik surat, bukan persoalan tertentu yang menjadi asas sebagaimana yang disorot al-Farmawi dalam al-Bidayah fi Tafsiril Mawdu’i. Al-Ghazali berusaha menggali ide pokok tiap surat yang ia tafsirkan. Hal ini tampak dari caranya merangkai penafsiran satu ayat dengan lainnya secara naratif, mengkoneksikan satu masalah dengan masalah pokok lainnya, sehingga menemukan grand tema di setiap surat sebagai hasil akhirnya.

Hermeneutika yang dipakai oleh Muhammad al-Ghazali masuk dalam kategori hermeneutika cum-objectivis atau dalam terminologi hermeneutika Gadamer disebut dengan Filosophy-Contextual.

Di satu sisi, ia mengelaborasi ayat dengan memerhatikan unsur yang ada dalam Al-Quran –ma fil Qur’an, dalam terminologi Amin al-Khulli- dan unsur di luar Al-Quran –ma hawlal Quran-. Di sisi lain, ia menggunakan nalarnya untuk menelusuri tema kecil di tiap ayat sampai menyimpulkan grand tema di tiap surat. Pada bagian kedua ini terlihat pengaruh teori Fusion of Horizon (peleburan cakrawala) Gadamer pada penafsiran Muhammad al-Ghazali. Meski demikan, penafsiran Al-Ghazali tidak murni subjektif, karena didukung oleh langkah kedua yang juga mempertimbangkan aspek historis.


Baca juga: Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten


Munculnya tokoh penafsir dengan metode hermeneutika dari jagad Timur Tengah memberi angin segar yang layak untuk dipertimbangkan bagi kejumudan diskursus pemikiran Al-Quran dan tafsir khususnya yang masih terpengaruh stigma soal hermeneutika tafsir. Setidaknya, dapat kita tahu bahwa tidak seluruh hermeneutika mengabaikan sumber utama penafsiran Al-Quran, dan itu telah dibuktikan oleh para tokoh tafsir dari Timur Tengah sendiri. Bahkan yang beraliran ahlussunnah. Wallahu a’lam

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...