BerandaTokoh TafsirMuhammad As'ad Al-Bugisy dan Jaringan Penafsir Keturunan Bugis

Muhammad As’ad Al-Bugisy dan Jaringan Penafsir Keturunan Bugis

Muhammad As’ad Al-Bugisy atau dalam kultur Bugis dipanggil Anregurutta Puang Aji Sade’ adalah ulama terkemuka yang berhasil mendidik santri-santrinya hingga menjadi ulama terkemuka di Indonesia Timur. Posisi keilmuan Muhammad As’ad setara dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang keduanya pernah lama belajar di Makkah. Ia juga merupakan penafsir pertama berdarah Bugis, bahkan banyak ulama hasil didikannya yang mengikuti jejaknya untuk menulis tafsir Al-Qur’an dalam aksara Lontara dan bahasa Bugis.

Ulama-ulama penafsir Al-Qur’an yang berasal dari satu guru tersebut berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda, sekaligus akan tersebar ke berbagai daerah yang berbeda-beda. Tempat asal dan penyebaran tersebut di sini akan saya sebut sebagai konteks penafsir. Dalam berbagai konteks tersebut, ada kesamaan yang mengitari dan menghubungkannya yang akan memperlihatkan jaringan antarpenafsir Al-Qur’an. Tulisan ini akan menjelaskan secara sederhana hubungan tersebut yang saya akan mulainya dari sosok Muhammad As’ad sebagai guru besar para ulama sekaligus penafsir pertama di tanah Bugis.

Baca Juga: Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Perjalanan Muhammad As’ad yang Membawa Berkah: dari Arab ke Bugis

Sekalipun aslinya berdarah Bugis, Muhammad As’ad Al-Bugisy dilahirkan di Makkah pada tahun 1902 yang juga menjadi tempat ia tumbuh dan mengeyam pendidikan. Di Makkah, Muhammad As’ad aktif mengikuti pengajian halaqah-halaqah di berbagai Masjid. Di antara guru-gurunya adalah Syaikh ‘Umar ibn Hamdan, Syaikh Muhammad Sa’id Al-Yamani, Jamal Al-Maliki, Syaikh Hasyim Nazirin, Syaikh Hasan Al-Yamani, Syaikh ‘Abbas ‘Abd Al-Jabbar (Wahyuddin Halim, 2015).

Setelah cukup dewasa, ia diminta ke Indonesia untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam, tepatnya di daerah Wajo dan sekitarnya. Berbagai catatan sejarah memperlihatkan bahwa sistem halaqah yang biasa ia lakukan di masjid-masjid Makkah kemudian diterapkan dalam pengajian yang diadakan di rumahnya. Pengajian ini kemudian tersebar di berbagai wilayah Sulawesi. Perlahan tapi pasti, semakin banyak orang berguru kepada Muhammad As’ad, sehingga rumahnya yang biasa dijadikan tempat pengajian halaqah tak lagi cukup menampung kegiatan tersebut. Akhirnya, pengajian tersebut dialihkan ke Masjid Jami’ Sengkang-Wajo.

Pengajian tersebut kemudian berkembang menjadi Madrasah Aliyah Islamiyah (MAI) yang kelak diganti menjadi Pondok Pesantren As’adiyah, dengan maksud mengabadikan nama Muhammad As’ad pada pesantren tersebut. Di dalam perjalanan halaqah di masjid Makkah, ke halaqah di rumahnya, ke halaqah di masjid Jami’, terus menjadi MAI, hingga menjadi pondok pesantren, banyak ulama yang bermunculan. Termasuk di sini adalah para ulama yang aktif menafsirkan Al-Qur’an. Muhammad As’ad Al-Bugisy sendiri menulis tafsir yang berjudul Tafsir Surah ‘Amma bi Al-Lughah Al-Bughisiyyah: Tafsere Bicara Ogina Surah ‘Ammah.

Adapun ulama-ulama murid Muhammad As’ad yang berhasil menulis tafsir Al-Qur’an di antaranya adalah Hamzah Manguluang menulis Tarjumah Al-Quran al-Karim: Tarjumanna Akorang Malebbi’e Mabbicara Ogi, Daud Ismail menulis Tafsir Al-Munir, Muhammad Yunus Maratan menulis Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lughah Al-Buqisiyyah, Tafsere Akorang Bettuwang Bicara Ogi; Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz Amma, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Muin Yusuf menulis Tafsere Akorang Mabbasa Ogi, Abdurrahman Ambo Dalle menulis Tafsir Surah Al-Naba, dan Abduh Pabbajah menulis Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lugah Al-Bugisiyyah dan Tafsir surah Al-Waqiah.

Baca Juga: Mengenal AG.H. Daud Ismail: Mufasir Bugis dengan Kitab Tafsir Pertama Lengkap 30 Juz

Khazanah Tafsir Bugis sebagai Jaringan Penafsir

Banyaknya murid Muhammad As’ad sekaligus dia sendiri yang menulis tafsir Al-Qur’an menunjukkan khazanah tafsir yang luar biasa di Indonesia Timur. Menariknya, tradisi penafsiran tersebut dilakukan dengan menggunakan aksara dan bahasa lokal, yakni Lontara-Bugis. Ini menjadi fakta tersendiri bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak melulu dilakukan dalam bentuk bahasa Arab atau bahasa Indonesia. Selain itu, fakta ini menambah khazanah tafsir lokal yang banyak dilakukan oleh ulama Indonesia, seperti tafsir Faidh Al-Rahman karya Shalih Darat (Pegon-Jawi), Raudhat Al-Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an Ahmad Sanusi (Pegon-Sunda).

Penggunaan aksara dan bahasa lokal tersebut menunjukkan adanya tujuan tertentu yang dilakukan oleh penafsirnya. Di sini, penggunaan Lontara-Bugis oleh para penafsir dari suku Bugis di atas dapat dilihat dari dua tujuan, yaitu sebagai identitas dan dakwah. Ini terlihat pada posisi para penafsir tersebut sebagai asli orang Bugis dan menjadi ulama besar di daerah Bugis tersebut. Sebagai orang yang berdarah Bugis, maka bahasa keseharian yang digunakan adalah bahasa Bugis. Saat yang sama, sebagai ulama yang berdarah Bugis, maka bahasa dakwah yang paling tepat digunakan agar dakwahnya mudah tersampaikan dan dipahami masyarakatnya adalah bahasa Bugis.

Sebagai penjagaan identitas bahasa Bugis, Daud Ismail, misalnya, dalam kitab tafsir Al-Munir-nya pernah mengatakan bahwa “… diharapkan juga jangan sampai bahasa Bugis itu hilang”. Sebagai upaya dakwah, Muin Yusuf, misalnya, mengatakan bahwa “… merupakan perintah Allah SWT kepada Nabi untuk menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu, sementara masyarakat muslim Bugis tidak dapat memahaminya jika tidak ditafsirkan dalam bahasa Bugis”. Upaya kedua penafsir tersebut minimal memperlihatkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an bukan hanya memberi pemahaman pada ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga membumikan penafsirannya kepada konteks dan umat Islam di mana ia hidup.

Baca Juga:  Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

Lebih jauh, para penafsir di atas masing-masing memiliki konteks dan masyarakat yang berbeda-beda. Konteks yang dimaksud di sini ketika para penafsir tersebut menuliskan kitab tafsirnya, sekaligus pengabdiannya sebagai ulama setempat. Di sini, sebagian besar ulama berada dalam konteks kabupaten Wajo seperti Muhammad As’ad Al-Bugisy, Daud Ismail, Muhammad Yunus Maratan, dan Hamzah Manguluang. Kesamaan konteks ini disebabkan para penafsir tersebut mengabdikan dirinya di pesantren As’adiyah yang yang berada di daerah Wajo. Bahkan, konteks kabupaten Wajo ini menjadi titik berangkat para penafsir tersebut dalam menyebarkan penafsirannya ke konteks lainnya.

Konteks lainnya yang dimaksud di sini adalah konteks yang mengitari pengabdian dan dakwah para ulama tersebut. Selain konteks Wajo, Daud Ismail berada di konteks Soppeng, Muhammad Yunus Maratan berada di konteks Bellawa, Abdurrahman Ambo Dalle berada di konteks Barru, Pare-pare, dan Pinrang, Hamzah Manguluang berada di konteks Sulawesi Selatan, Muin Yusuf berada di konteks Sidrap dan Sulawesi Selatan, dan Muhammad Abduh Pabbaja berada di konteks Pare-pare. Dilihat dari konteks, para penafsir tersebut terhubung dalam satu konteks bahasa yang sama, yakni bahasa Bugis. Demikian kurang lebih ulasan Moein MG.

Sampai di sini, tradisi penafsiran Al-Qur’an yang dimulai oleh Muhammad As’ad dan diteruskan serta dikembangkan oleh para murid-muridnya memperlihatkan tradisi penafsiran yang khas bahasa Bugis dengan konteks yang beragam. Di saat yang sama, tradisi tafsir berbahasa Bugis ini menjadi jaringan sekaligus sanad penafsir berdarah Bugis. Dengan demikian, para penafsir tersebut telah mengajarkan kepada kita tentang menjadi penafsir yang berdasarkan jati diri sendiri, serta menjadi penafsir yang membumikan penafsiran Al-Qur’an sesuai konteks masing-masing. Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU