Pada artikel sebelumnya, saya telah mencoba mengulas beberapa kisah teladan cinta kasih Nabi Muhammad dari perspektif tokoh Muslim (insider). Maka, pada kesempatan kali ini, saya ingin melihat sosok Nabi Muhammad dari perspektif outsider atau orang di luar Islam. Hal ini penting, untuk melihat secara seimbang dan objektif tentang sosok Nabi Muhammad, yaitu Muhammad Nabi Cinta.
Untuk membawa pada tujuan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai buku yang ditulis oleh Craig Considine dengan judul terjemahan Muhammad Nabi Cinta. Craig adalah seorang sosiolog berkebangsaan Amerika, yang merupakan penganut Katolik. Hal ini menjadi cukup menarik, mengingat gencarnya isu Islamophobia di Barat dan tidak sedikitnya orientalis yang membuat tuduhan negatif terhadap Nabi Muhammad. Dan benar saja, Ia bahkan pernah termakan isu tersebut, dan berpikiran bahwa Islam itu identik dengan kekerasan seperti yang digambarkan media.
Namun, setelah melakukan interaksi secara langsung dengan berbagai literatur Islam dan beberapa tokoh Muslim yang ditemuinya, khususnya Profesor Akbar Ahmed yang merupakan dosennya sendiri, Craig Considine lantas secara utuh menyatakan kekagumannya terhadap Nabi Muhammad, berkat ucapan, sikap, dan tindakan-tindakannya, yang disebut sangat menjunjung cinta kasih dan sisi kemanusiaan.
Baca Juga: Tafsir Al Quran dan Keteladanan Nabi
Tentang Isi Buku
Buku ini berisi 25 tulisan yang lumayan ringkas namun padat, yang dikelompokkan dalam tiga bab, yaitu Islam dan Toleransi, Islam dan Peradaban, serta Islam dan Politik.
Sekalipun judul buku tersebut merujuk secara spesifik pada sosok Nabi Muhammad, namun ternyata di dalamnya juga terdapat tulisan yang membincangkan kisah-kisah beberapa tokoh yang dianggap memiliki misi yang sama dengan Nabi Muhammad. Selain itu, juga terdapat pula kisah-kisah pengalaman Craig Considine dalam perjalanannya mempelajari Islam dan berinteraksi dengan ajaran agama Islam.
Kisah-kisah tersebut diikut sertakan karena pada dasarnya, pengalaman yang dialaminya, serta kisah tokoh-tokoh tersebut masih memiliki benang merah yang sama dengan tujuan awalnya menulis buku ini, yaitu untuk membangun jembatan perdamaian antara umat Islam dan Kristen. (Craig Considine, Muhammad Nabi Cinta)
Hanya saja, untuk dapat fokus pada judul yang telah tertera di atas, tulisan ini dibatasi hanya membahas terkait bagaimana Craig Considine, sebagai penganut Katolik, memandang Nabi Muhammad.
Interaksi Nabi Muhammad dan Kalangan Kristen
Craig Considine, berdasarkan beberapa kisah Nabi yang dipelajarinya, ia melihat sosok Nabi sebagai seorang yang toleran. Bahkan kepada orang yang berbeda keyakinan dengannya.
Sebut saja tatkala adanya kunjungan kelompok Kristen Najran ke kota Madinah. Pertemuan ini disebut oleh Craig sebagai interaksi antar-Iman. Karena pada saat itu, terjadi sebuah diskusi yang menarik yang tidak saja menyangkut terkait hal-hal sosial, seperti pemerintahan dan politik, namun juga persoalan agama dan keyakinan. Dalam banyak hal, mereka bersepakat, namun pada persoalan teologis mereka memutuskan untuk tidak bersepakat, dan berhenti pada frasa ‘saling menghormati’.
Sehingga, dapat dipahami bahwa interaksi antar-iman yang dimaksud di sana adalah hanya sebatas upaya melakukan dialog dan diskusi untuk saling memahami keyakinan dan praktik keagamaan masing masing. Bukannya saling menukar keyakinan, ataupun mencampur adukkan ajaran.
Hal yang menarik lainnya dari peristiwa itu adalah, tatkala perbincangan selesai, dan kalangan Kristen Najran ingin melakukan Ibadah. Karena tidak ada gereja terdekat, mereka memutuskan berjalan keluar masjid untuk bersembahyang di jalanan Madinah. Alih-alih membiarkan mereka beribadah di jalanan yang padat dan berdebu, Nabi Muhammad berpaling dan berkata: “Kalian adalah para pengikut Tuhan. Silakan berdoa dalam masjidku. Kita semua saudara sesama manusia.”
Peristiwa lain yang menggambarkan interaksi Nabi Muhammad dengan Kristen tercatat dalam Piagam Madinah dan perjanjian antara Muhammad dengan para biarawati di Gunung Sinai, Mesir.
Dalam Piagam Madinah, Nabi Muhammad memberikan hak yang sama kepada non-Muslim yang tinggal di negara Islam, dari segi kebebasan beragama, perlindungan dan kesetaraan di mata hukum. Sementara di Sinai, Nabi menawarkan perlindungan terhadap kalangan Kristen, menyeru agar umat Islam menghormati hakim-hakim dan gereja Kristen serta melarang adanya peperangan melawan saudara Kristen mereka.
Baca Juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat
Penganjur sikap Anti-Rasisme
Selain sikap positifnya kepada umat yang berbeda, Nabi Muhammad juga merupakan seorang yang anti-rasisme dan penganjur kesetaraan. Contoh yang paling terkenal adalah persahabatannya dengan Bilal bin Rabah. Pernah suatu ketika Nabi membela Bilal tatkala Abu Dzar Al-Ghifari, salah satu Sahabat Nabi, menyebut Bilal sebagai “bocah seorang wanita kulit hitam”. Mendengarnya, Nabi lantas menyatakan “Engkau orang yang masih memiliki pembawaan jahiliyah dalam dirimu”.
Sikap anti rasisme dan kecenderungannya pada kesetaraan, termanifestasi pada khutbahnya di Gunung Arafah pada tahun 632 M. Ia menyatakan bahwa, “Orang Arab tidak lebih unggul dibanding dengan orang non-Arab, atau orang non-Arab tidak lebih superior dari orang Arab. Orang kulit putih tidak lebih unggul daripada kulit hitam, juga kulit hitam tidak lebih unggul daripada kulit putih, kecuali karena kesalehan dan amal perbuatan”.
Berbelas Kasih Kepada Pembencinya
Nabi Muhammad oleh Craig Considine juga dipandang sebagai seorang yang berbelas kasih dan pengampun, sekalipun kepada Pembencinya. Pandangan tersebut dilihatnya dari beberapa kisah Nabi. Misalnya, kisah yang menceritakan seorang perempuan yang sering melempari sampah kepada Nabi, tatkala Nabi melintasi jalan. Kepadanya, jangankan untuk membalas dendam, marahpun tidak, bahkan Nabi menunjukkan belas kasih dan pengampunan, misalnya dengan tidak pernah menanggapinya dengan cara yang buruk.
Selain itu, kisah lain yang tepat untuk menggambarkan sikap Nabi tersebut adalah ketika Nabi membebaskan musuh-musuh yang ditawannya, sembari mengatakan bahwa mereka boleh pergi tanpa ada yang menyakiti. Pada posisi itu, Nabi bisa saja mengambil langkah sebaliknya, misalnya membunuh atau menyiksa mereka. Namun ia bukanlah pendendam melainkan seorang pemaaf dan berbelas kasih.
Tiga uraian di atas merupakan sedikit kutipan dari kisah-kisah Nabi, yang akhirnya menjadikan Craig Considine, merubah pandangannya terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Yang sekaligus juga menyatakan bahwa, pengkajian yang objektif dan utuh terhadap Nabi Muhammad, akan membawa kita mengarungi cinta-kasihnya luas.