Manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik bentuk (ahsani taqwim) sebagiamana yang tertera pada surah At-Tin ayat 4. Sebaik-baik bentuk tersebut bukan hanya soal fisik saja, namun beberapa aspek yang tak kasat mata seperti anugerah hati nurani dan akal budi. Penyebutan ahsani taqwim dalam Al-Quran ditafsirkan oleh ulama sekaligus cendekiawan muslim Iran, Murtadha Muthahhari, sebagai bentuk multidimensional manusia.
Muthahhari percaya bahwa di dalam di diri manusia terdapat banyak dimensi positif yang bisa dikembangkan. Ia menolak pandangan yang menyebut manusia sebagai makhluk monodimensional dengan merujuk keterangan dari ayat-ayat Al-Quran.
Multidimensional Manusia Menurut Murtadha Muthahhari
Murtadha Muthahhari adalah seorang ulama sekaligus pemikir muslim berpengaruh di Iran. Ia pernah berguru pada mufassir Husein Thabathabai dan filsuf sekaligus pendiri Ravolusi Iran, Ayatollah Khomeini. Tak heran jika pemikiran-pemikiran Muthahhari banyak berfondasi pada keterangan Al-Quran dengan nuansa pembacaan sufistik, termasuk pemaknaan manusia sebagai makhluk multidimensi.
Baca juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Ilmi di Indonesia
Konsep multidimensional manusia banyak diulas Muthahhari pada karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama. Selain dalam buku tersebut, Muthahhari juga menyinggungnya dalam karya Manusia Seutuhnya dan Tafsir Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan Manusia dan Alam. Dalam menjelaskan konsepnya ini, Muthahhari melandaskan pada surah At-Tin ayat 4-6 secara kesinambungan dan kausal. Di awali dari surah At-Tin ayat 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,”
Lafad ahsani taqwim nampaknya menjadi kata kunci Muthahhari dalam memberikan istilah multidimensi pada manusia. Di dalam anugerah ahsani taqwim pada manusia tersimpan banyak dimensi yang bukan hanya persoalan fisik saja, namun menyangkut hal-hal non material seperti iman dan akal. Dimensi-dimensi tersebut pada selanjutnya menjadi potensi bagi manusia agar bisa dikembangkan untuk mencapai manusia paripurna.
Menurut Muthahhari, dalam diri manusia tidak hanya terdapat unsur-unsur positif saja, namun juga unsur negatif secara bersamaan. Al-Quran kerapkali merendahkan derajat manusia sebagaimana tersebut dalam surah At-Tin ayat 5:
ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سَافِلِيْنَۙ
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,”
Baca juga: Rahasia Bentuk Mufrod (Tunggal) dan Jamak (Plural) pada Al-Qur’an
Lalu, manusia juga sering diangkat derajatnya sebagai makhluk aling luhur dan mulia seperti dalam surah At-Tin ayat 6:
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.”
Muthahhari berpendapat bahwa permisalan dua ayat tersebut adalah peringatan dari Allah tentang penggunaan dua unsur potensi yang tersemat pada diri manusia. Jika manusia mengembangkan potensi-potensi positifnya, maka ia akan menjadi manusia dengan derajat yang mulia. Sebaliknya, jika ia menuruti potensi-potensi negatifnya, ia akan menjadi serendah-rendahnya makhluk.
Dimensi-Dimensi Manusia dalam Al-Quran
Mengenai pandangannya tentang potensi diri manussia, Muthahhari banyak menyebutkan ayat-ayat Al-Quran sebagai rujukan, baik pada potensi yang positif maupun negatif. Potensi-potensi manusia itu selanjutnya disederhanakan oleh Muthahhari dalam bentuk 5 bagian dimensi.
Baca juga: Mengenal 8 Huruf HijaiyahTambahan dalam Ilmu Tajwid
Pertama, dimensi intelektual. Manusia dianugerahi dimensi intelektual yang lebih dari mahkluk yang lain sekalipun malaikat. Dalam surah Al-Baqarah ayat 31-33 diceritakan bahwa Allah mengajarkan Nabi Adam nama-nama yang tidak diketahui para Malaikat, sehingga mereka diperintah Allah untuk memuliakan Nabi Adam dengan beersujud. Dimensi ini mengarahkan manusia pada pencarian pengetahuan, hingga akhirnya mendapatkan kebenaran sejati dari Tuhan.
Kedua, dimensi etis. Dimensi ini menuntun manusia untuk bertindak secara etika. Dimensi ini berkaitan dengan fitrah manusia yang cenderung hanif dan suci sebagaimana disebut dalam surah Al-Muthaffifin ayat 14. Bisikan hati nurani akan mendorong manusia agar tetap berada pada jalan yang lurus, sekalipun nantinya manusia sendiri yang akan memilih, apakah mau mengikuti atau mengingkari hati nuraninya tersebut.
Ketiga, dimensi estetis. Dengan dimensi ini manusia senantiasa menyukai keindahan. Sejarah membuktikan bahwa peradaban bumi ini dapat tertata rapi dan indah dengan kota-kota dan tempat yang indah. Penilaian estetika yang dimiliki manusia juga tidak hanya pada masalah fisik saja, tetapi juga pada hal-hal yang menyangkut rasa.
Baca juga: Empat Klasifikasi Ayat-Ayat Humanis dalam Surah Al-Insan Versi M. Abid Al-Jabiri
Keempat dimensi teologis. Dimendi ini juga dinamakan dimensi spiritual, atau kecenderungan manusia untuk beragama dan memuja Tuhan. Landasan hal tersebut bisa ditemukan pada surah Ar-Rum ayat 30. Manusia sepandai apapun jiwanya terdapat kecenderungan mengagungkan satu Dzat Yang Hebat, meskipun bentuk ekspresinya bisa bermacam-macam. Dalam hatinya, manusia sejatinya sadar bahwa ia merupakan makhluk dengan kondisi yang sangat terbatas.
Kelima, dimensi kreativitas. Jika dimensi intelektual merujuk pada daya manusia untuk mencari pengetahuan dan kebenaran, maka dimensi kreativitas adalah daya karsa manusia untuk aktualisasinya. Adanya dimensi ini mendorong manusia untuk merdeka terhadap dirinya, bertahan dalam kondisi yang pelik, serta menciptakan dan merubah sesuatu.
Multidimensional manusia sebagaimana yang dicetuskan Muthahhari, merupakan anugerah yang diberikan Allah sebagaimana hakikat manusia yang disebut ahsani taqwim. Dimensi-dimensi pada manusia dapat diikuti dan dikembangkan. Lebih jauh, kelima dimensi itu jika disembangkan dengan baik dapat mengangkat manusia sebagai makhluk paripurna. Inilah sebabnya Allah begitu memercayakan beban amanah khalifah fil ardh kepada manusia.
Wallahu a’lam.