Jika kita mendengar kata Islam dan Soeharto, yang pertama kali muncul adalah ingatan-ingatan buram. Saat itu, aktivitas politik dan organisasi Islam selalu diawasi oleh pemerintah. Tentu hal ini mengakibatkan akan mundurnya umat Islam, terlebih pada tahun 1970-1980. Namun, pada tahun 1990-an ada hal yang unik dari pemerintahan Soeharto. Pemerintahan ini justru mendukung pembuatan masterpiece kebudayaan Islam, yakni Mushaf Istiqlal.
Mushaf ini ditulis pada kertas dengan ukuran 123 x 88 cm. Jumlah halamannya 965 halaman yang terdiri dari empat halaman muka, 938 halaman ayat-ayat, tiga halaman doa khatam Al Qur’an, dan 20 halaman terakhir berisi keterangan penulisan. Mushaf ini disebut sebagai karya yang luar biaa karena selain bahan yang disiapkan sangat bagus, illuminasinya pun sangat indah. Ornamen itu terdiri dari 45 tipe, yang menggambarkan corak khas dari 42 wilayah Indonesia yang berbeda dan tiga campuran.
Mushaf ini mulai dikerjakan setelah Presiden Soeharto meresmikan proyek ini. Pada Festival Istiqlal I bertepatan dengan 15 Oktober 1991(7 Muharam 1412 H), dia menuliskan huruf ba’ pada lafadz basmalah. Setelah peresmian, mushaf ini pun dikerjakan selama empat tahun dan diluncurkan pada Festival Istiqlal II, 23 September 1995 (27 Rabi’ul Akhir 1416 H). Mushaf ini juga ditashih terlebih dahulu oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen (sekarang Kementerian) Agama RI, pada 6 Juni 1995 (7 Muharam 1416).
Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno
Membicarakan latar belakang penulisan mushaf ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari usaha para ulama, cendikiawan muslim, seniman, kaligrafer, dan tokoh lainnya. Mereka membentuk tim pengelola yang terdiri dari ulama Al Qur’an, lajnah pentashihan Al Qur’an, kaligrafer yang dipimpin oleh H Faiz Abdul Rozak, desainer yang dipimpin oleh A.D Pirous dengan tim dari seniman ITB, illuminator, dan korektor. Karena penyusunannnya disokong oleh tim yang professional, maka karya seni ini berhasil lahir seperti apa yang diharapkan.
Dalam buku Ketika Mushaf Menjadi Indah karangan Ibnan Syarif, penulisan Mushaf Istiqlal disebut untuk dapat menunjukkan hubungan Indonesia dan Islam. A.D Pirous pun menyebut bahwa mushaf ini untuk menapak kembali seni asasi Islam, agar dilestarikan sebagai manifestasi ekspresi seni Islam. Bahkan, Pirous menyebut bahwa upaya penulisan mushaf Istiqlal ini agar Indonesia menjadi pusat seni mushaf.
“Jika Selama ini seni kaligrafi dan seni kerajinan berpusat di Istambul, seni tilawah berpusat di Mekah dan seni sastra Islam di Islamabad, maka kita ingin seni mushaf ini dipusatkan di Indonesia,” ungkap Pirous yang saat itu menjadi informan.
Baca juga: Macam-Macam Bentuk Nafsu Menurut Al-Quran
Namun, ada beberapa komentar terkait penulisan mushaf ini, terlebih pada posisi pemerintah Soeharto yang mendukung penuh. Ibnan Syarif mendialogkan Analisa dari Kenneth M. George Guru Besar Antropologi Universitas Oregon, yang menulis mushaf Istiqlal dalam perspektif sosiologi dan antropologi. Artikelnya ini berjudul “Design on Indonesia’s Muslim Communities”. George menyebut Soeharto memiliki tujuan politik saat mendukung pembuatan mushaf ini. Guru besar yang akrab dengan AD Pirous itu mengungkapkan, campur tangan pemerintah Soeharto merupakan isyarat dan manuver untuk mencari keuntungan politik. Selain itu, pemerintah Soeharto juga dapat mengontrol aktitas dan hasil seni budaya umat Muslim Indonesia.
Namun dibalik komentar itu, kehadiran Mushaf Istiqlal saat ini telah menjadi seni agung umat Muslim Indonesia. Bahkan, versi cetak mushaf ini sering digunakan untuk cindera mata diplomasi antarnegara. Tentu untuk mengetahui keagungan itu, lebih baik kita juga melihat beberapa karakteristiknya.
Baca juga: Paradigma Al-Qur’an tentang Nilai Perdamaian Sebagai Inti Ajaran Islam
Karakteristik Mushaf Istiqlal
Dari segi jumlah halaman yang begitu banyak, mushaf ini memang memberikan ruang yang lebih untuk illuminasi. Misalnya Surah al-Fatihah, surah ini ditulis di dua halaman bersebelahan (kanan-kiri). Illuminasi dua halaman tersebut mewakili seluruh ragam budaya Indonesia (waktu itu 27 provinsi) yang menghiasi khat Surah al-Fatihah sebagai ummul Qur’an.
Media yang digunakan pun spesial, tintanya adalah Martin’s Black Star India dari Amerika, dan kertasnya bermerek Durex ex dari Jerman. Sementara alat tulisnya bernama handa, tumbuhan sejenis pakis yang banyak tumbuh di negeri topis seperti Indonesia dan Malaysia.
Layout ayatnya pun unik karena menitikberatkan pada ruang tengah, bukan full-text layaknya mushaf biasa. Meski begitu, mushaf ini secara rasm tetap mengikuti aturan mushaf satandar Indonesia, termasuk tanda bacanya juga. Hanya saja desainnya lebih berwarna daripada mushaf Standar.
Baca juga: Michael Sells, Mengenalkan Aspek Aural dan Skriptural Sebagai Pendekatan Terhadap Al-Qur’an
Sebagai salah satu karya seni, kehadiran mushaf ini tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi Muslim Indonesia. Sementara sebagai produk dari kebijakan pemerintah, mushaf ini tetap memiliki dampak terhadap kehidupan sosial politik Muslim saat itu. Tentu ada banyak sudut pandang terkait hal ini, yang jauh lebih penting adalah kebijaksanaan kita dalam membacanya.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bi al-shawab[]