Kita mengenal Nabi Nuh dan gelar beliau sebagai Ulul Azmi. Salah satu prinsip yang juga ada dalam sosok Nabi Nuh dalam Alquran adalah ‘pribadi yang bersyukur’. Pada surah al-Isra ayat 3 Nabi Nuh disebut oleh Allah sebagai Abdan Syakuran.
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كانَ عَبْداً شَكُوراً
“Keluarga yang kami bawa bersama Nuh. Sungguh dia adalah hamba yang bersyukur.” (Q.S al-Isra [17]: 3)
Terdapat kaitan erat antara ayat 3 ini dan ayat 2 sebelumnya meskipun secara zahir terlihat pembahasan yang berbelok cukup jauh. Apabila didalami secara kontekstual bagaimana ayat lain menerangkan terkait Nabi Nuh maka akan terlihat alur yang jelas tujuan ayat ini diarahkan.
Baca Juga: Isyarat Kreativitas Manusia dalam Kisah Nabi Nuh
Bahtera Nabi Nuh dan Simbol Keimanan
Al-Razi menyebut bahwa kalimat keluarga yang kami bawa bersama Nuh dimaksudkan untuk segenap manusia. Hal ini karena menurutnya seluruh keturunan manusia yang tersisa adalah putera Nuh yang selamat dalam bahtera.
Salah satu penjelasan yang menarik tentang kaitan ayat 3 ini dengan ayat sebelumnya disebutkan oleh Al-Alusi dalam kitab beliau, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-Adzim wa Sab’ al-Matsani. Penyebutan Nabi Nuh a.s. pada ayat 3 ini, menurut al-Alusi untuk mengingatkan nikmat pertolongan dari Allah yang telah menyelamatkan moyang kita dan Bani Israil dari tenggelam akibat banjir bandang dalam bahtera beliau.
Saat ketika tidak ada yang dapat menolong mereka kecuali Allah maka di titik itulah rasa tawakkal hanya tertuju kepada-Nya, karena tidak ada yang lain selain Dia yang mampu menolong kita. Oleh karenanya keterangan tentang bahtera dan lautan juga didapati dalam surat al-Isra ayat 67
وَإِذا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَاّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكانَ الْإِنْسانُ كَفُوراً (67)
Dan ketika bencana menimpa kalian di laut lenyap sudah yang kalian seru kecuali hanya Dia. Ketika kami selamatkan kalian menuju daratan maka kalian berpaling
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa yang menumpangi bahtera Nabi Nuh hanyalah orang-orang yang beriman. Ayat di atas menegaskan bagaimana keimanan dapat utuh kembali karena manusia mengidentifikasi suatu bahaya yang hanya Allah dapat menolong mereka, titik nadir kepasrahan manusia.
Terlihat bagaimana keimanan pengikut Nabi Nuh dan mereka yang diterjang badai lautan hanya memohon kepada Allah semata. Sebenar-benarnya Mukmin adalah mereka yang mengetahui bahwa pembangkangan terhadap Allah merupakan marabahaya sesungguhnya.
Kesadaran akan bahaya jauh dari Allah dan melepaskan diri dari tawakkal kepadanya hanya akan dirasakan setiap Mukmin. Dunia dengan berbagai permasalahnya ibarat lautan dengan berbagai marabahaya sehingga tanpa pertolongan Allah mustahil kita dapat selamat mengarunginya hingga akhir hayat tiba.
Adapun bentuk pertolongan Allah yang nyata adalah kalam-Nya yang sampai kepada kita melalui Rasulullah saw. Oleh karenanya penyebutan keluarga Nabi Nuh dalam ayat 3 ini masih terkait dengan ayat 2 karena kunci dari pertolongan Allah adalah petunjuk darinya.
Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As
Wahyu, Kemalangan, dan Rasa Syukur Nabi Nuh
Petunjuk dari Allah yakni wahyu untuk hamba yang dikehendakiNya salah satunya adalah kitab suci, beberapa merupakan wahyu untuk Nabi, dan beberapa lagi diberikan untuk yang bukan nabi. Seperti ibu Nabi Musa yang mendapatkan wahyu untuk menghanyutkan puteranya ke sungai, meletakkannya di dalam kotak.
Beberapa Nabi menerima wahyu namun tidak ditetapkan sebagai kitab suci seperti Nabi Nuh. Dalam surah an-Nisa ayat 163 disebutkan,
إِنَّا أَوْحَيْنا إِلَيْكَ كَما أَوْحَيْنا إِلى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنا إِلى إِبْراهِيمَ وَإِسْماعِيلَ وَإِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطِ وَعِيسى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهارُونَ وَسُلَيْمانَ وَآتَيْنا داوُدَ زَبُوراً (163)
Sesungguhnya kami memberikan wahyu kepadamu seperti halnya kami mewahyukan kepada Nuh dan para Nabi setelahnya. Dan kami berikan wahyu kepada kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub beserta keturunannya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman, dan kami berikan Zabur kepada Dawud.
Nabi Nuh mendapatkan wahyu seperti disebut pada ayat di atas untuk mengajak kaum beliau kepada tauhid. Bahkan dalam surah Ali Imran ayat 33 disebutkan bahwa Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran di atas segala umat, pada masa masing-masing.
Sederet pencapaian spiritual tersebut ternyata tidak membuat istri Nabi Nuh terlepas dari mengkhianati keyakinan suaminya, tidak beriman kepadanya. Mayoritas mufasir, ketika memaknai surah at-Tahrim ayat 10, menyebut bahwa pengkhianatan istri Nabi Nuh bukanlah mengenai selingkuh ataupun zina, melainkan dia turut menuduh Nabi Nuh gila karena apa yang didakwahkan olehnya.
Bayangkan jika pasangan yang kita cintai termasuk dari golongan para pengingkar yang mengolok-olok kita dengan sebutan gila. Terlebih tidak ada riwayat bahwa Nabi Nuh menceraikan istrinya tersebut. Beliau pun sama sekali tidak mengeluhkan perihal istrinya kepada Allah, justru dalam surah Nuh yang beliau keluhkan hanyalah kaumnya saja.
Nabi Nuh dengan begitu kuatnya tetap menjalankan dakwah yang diwahyukan kepadanya meskipun orang terdekat yang semestinya dapat meringankan bebannya justru turut mengingkarinya. Kondisi yang demikian menyakitkan dijalani oleh beliau dengan rentang waktu yang panjang hingga wahyu untuk membuat kapal diturunkan. Penerimaan Nabi Nuh akan keadaan tersebut jika dikaitkan dengan ayat 3 maka dapat kita pahami mengapa beliau mendapatkan predikat prestisius, disebut Allah sebagai hamba yang bersyukur.
Baca Juga: Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh
Mensyukuri Pemberian Allah
Ayat 3 ini menuntun kita pada hikmah untuk mensyukuri pemberian yang datang dari Allah terlebih jika itu adalah petunjuk darinya. Nabi Nuh tetap melaksanakan perintah wahyu dari Allah meskipun secara zahir banyak kemalangan yang menimpa beliau, namun kesadaran akan keberuntungan bagi siapapun yang berpegang pada janji Allah menjadi kabar gembira yang dapat melipur luka seberapapun dalamnya.
Prinsip yang ada dalam sosok Nabi Nuh dalam ayat 3 tersebut dapat dijadikan sebagai tauladan bagi umat Muslim pun Bani Israil dalam konteks sambungan dengan ayat sebelumnya. Sebagian kaum Bani Israil mengambil keuntungan dunia melalui penyelewangan terhadap wahyu dalam bentuk kuasa dan harta. Titik balik dari yang mereka lakukan adalah gambaran pada ayat ini di mana seorang Nabi berteguh pada wahyu meskipun justru mendapatkan pertentangan, olokan, dan hal yang bagi kita merupakan kemalangan.
Hal yang menurut kita adalah kemalangan dan kesusahan bisa jadi bukanlah menjadi soal besar bagi sosok luar biasa seperti Nabi Nuh a.s. Bagi Nabi Nuh, jika melihat ayat 3 ini, justru kenikmatan yang sebenarnya adalah wahyu atau petunjuk dari Allah yang mengantar pada ridha-Nya. wallahu a’lam.