BerandaKisah Al QuranTafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi...

Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh

Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam Kisah Para Nabi-nya Ibnu Katsir, diceritakan merupakan cicit Nabi Idris dan keturunan kesembilan Nabi Adam. Silsilahnya merentang sedari Nuh bin Lamik bin Matwasyalakh bin Khanukh (Idris) bin Yarad bin Mahlayil bin Qanin bin Anwasy bin Syits bin Adam.

Kisahnya menjadi pelajaran bagi umat manusia yang jamak diceritakan tentang datangnya banjir besar. Sebuah azab yang menenggelamkan daratan hingga melampaui puncak gunung. Nabi Nuh bersama segelintir pengikutnya berada di atas bahtera, sedangkan seluruh kaumnya yang berdusta tenggelam binasa, termasuk istri dan anaknya. Apa penyebab mereka lebih memilih menyembah berhala?

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As

Konteks sosial umat Nabi Nuh

Dalam buku The Greatest Stories of Al-Qur’an, disebutkan bahwa jauh sebelum Nuh mengemban risalah kenabian di kawasan yang dilalui sungai Eufrat dan Tigris itu merupakan daerah dengan kehidupan yang begitu sederhana.

Lambat laun (beriringan dengan dinamika sosial yang menyejarah) kawasan tersebut berubah mencekam, penuh dengan ketegangan sosial. Golongan yang punya posisi kuat (secara ekonomi-politik) menindas golongan yang lemah. Berangkat dari situasi ketimpangan inilah kebobrokan kaum Nabi Nuh bermula.

Orang-orang mulai melupakan ibadah kepada Allah Swt dan lebih memilih menyembah berhala yang mereka buat sendiri yang mereka namai dengan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr (berasal dari nama lima orang saleh ketika itu. Dinamai demikian untuk mengenang mereka). Lalu mereka meletakkannya di lembah sungai Eufrat sebagai sesembahan.

Melihat kaumnya berlaku demikian, Nabi Nuh mencoba memperingatkan mereka agar kembali ke jalan Allah. Lalu bagaimana tanggapan kaumnya? Mari kita telaah surah Hud ayat 27:

فَقَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja. Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang berdusta.” (QS. Hud [11]: 27).

Begitulah jawaban kaumnya, Nabi Nuh beserta pengikutnya malah diejek oleh mereka, terutama oleh pemuka kaum (mala’). Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib, menyebut ada tiga alasan yang membuat pemuka kaum tersebut mencela dakwah Nabi Nuh.

Pertama, karena Nuh ialah manusia biasa. Lalu kedua, pengikutnya terdiri dari orang-orang hina (aradzil), seperti penenun dan tukang kayu rendahan. Jika Nuh memang benar, pikir mereka, maka ia akan diikuti oleh kalangan terpandang dan mulia. Ketiga, mereka menganggap Nuh dan pengikutnya tidak mempunyai keunggulan intelektual, tidak mempunyai pertimbangan yang baik serta argumentasi yang kuat (Mafatih al-Ghaib Juz 17, hal 336).

Baca juga: Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran

Penolakan dakwah Nabi Nuh lebih dari sekadar masalah teologis

Pada waktu itu telah terbentuk semacam kelas sosial dalam sejarah umat manusia. Di antaranya mala’ yang menurut Ibnu ‘Asyur ialah pemuka-pemuka yang memimpin kaum (al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 12, hal 45). Dalam kisahnya, mereka mengejek Nabi Nuh dan pengikutnya seraya membandingkan harta mereka dengan hartanya yang melimpah. Artinya, mala’ ini punya relasi kuasa yang kuat secara politik dan ekonomi.

Kemudian ada golongan orang rendahan, aradzil. Dari segi bahasa, kata aradzil merupakan jamak dari ardhal, atau radhil yang artinya orang yang direndahkan. Sebagaimana tafsiran Ibnu ‘Asyur, mereka adalah golongan kaum yang tak punya kuasa memimpin dan tak berpunya, namun punya jiwa yang bersih, berkat petunjuk Allah Swt.

Dari golongan orang yang lemah, miskin lagi tertindas ini ternyata hanya segelintir dari mereka yang mengikuti ajakan Nabi Nuh. Selebihnya, lebih memilih menjadi pengikut mala’, karena takut dan lebih menggangap benar apa yang dikatakan golongan atas, yang tentu saja punya posisi kuat.

Jadi pendustaan serta ejekan pemuka kaum atas seruan dakwah Nabi Nuh sebetulnya juga berkelindan erat dengan kepentingan mereka untuk terus melanggengkan kuasa yang telah lama mapan. Lebih jelas lagi, seperti yang dikisahkan dalam surah Al-Mukminun ayat 24 berikut:

فَقَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأنزلَ مَلائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الأوَّلِينَ

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud menjadi seorang yang lebih tinggi daripada kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS. Al-Mukminun [23]: 24).

Mengutip penafsiran Abu Hayyan Al-Andalusi, para pemuka yang angkuh menganggap Nabi Nuh tidak lebih dari manusia biasa. Dakwahnya dianggap demi untuk mendapatkan kemuliaan di antara mereka, dan supaya bisa memimpin mereka (al-Bahr al-Muhit fi al-Tafsir Juz 7, hal 557).

Dalih pemuka kaum (mala’) ini menunjukkan bahwa mereka merasa terancam akan seruan Nabi Nuh untuk kembali ke jalan Allah Swt. Sekiranya jika mereka menjadi pengikutnya, maka kuasa politik mereka akan runtuh digantikan oleh Nabi Nuh sendiri yang memimpin kaum. Lebih jauh lagi, kontrol atas kuasa ekonominya yang membuahkan kekayaan melimpah dari penindasan terhadap golongan orang lemah juga ikut terancam lenyap.

Maka dengan angkuhnya mereka mendustakan risalah kenabian. Lagi pula posisi Nabi Nuh begitu lemah dihadapan para pemuka kaum. Mereka seenaknya saja mencaci maki, bahkan memukuli, hingga mencekik Nabi Nuh, tetapi ia masih saja memperingatkan kaumnya saban hari, meski selalu didustakan. Sampai pada suatu hari datanglah terjangan tsunami banjir besar yang membinasakan para pendusta itu. Wallahua’lam.

Baca juga: Tafsir Surat As-Shaffat Ayat 78-81: Terima Kasih Allah kepada Nabi Nuh

Ruri Fahrudin Hasyim
Ruri Fahrudin Hasyim
Alumni UIN Sunan Ampel, Pegiat IPNU dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...