Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil atau yang lebih dikenal dengan kitab Tafsir Baidhawi merupakan salah satu dari khazanah tafsir yang marak dikaji khususnya di Indonesia. Nama Baidhawi sendiri diambil dari nama panggilang pengarangnya, al-Baidhawi, seorang hakim ternama di Syairaz, sebuah kota di Persia.
Al-Baidhawi memiliki nama lengkap Nashiruddin Abu Said/ Abul Khair Abdullah ibn Abul Qasim Umar ibn Muhammad ibn Abi Hasan Ali al-Baidhawi al-Syairazi al-Syafi’i. Ia lahir sekitar awal abad ke-7 H di kota Baidha’, sebuah kota yang berdekatan dengan Syairaz di Persia. Nama kota kelahirannya inilah yang dinisbatkan menjadi nama panggilannya.
Nashiruddin pertama kali mendapati ilmu keagamaan melalui ayahnya, Abul Qasim Umar ibn Muhammad ibn Abi Hasan Ali al-Baidhawi. Ayahnya memang terkenal sebagai salah seorang ulama dan hakim di Syairaz. Darinya, al-Baidhawi mempelajari banyak keilmuan, salah satunya ialah fiqh dalam madzhab al-Syafi’i. Pandangan ayahnya banyak mempengaruhi pemikiran al-Baidhawi dan hal ini bisa didapati dalam karya-karya yang ia hasilkan.
Kemudian Nashiruddin melanjutkan pengembaraan ilmunya dan berguru pada Syaikh Muhammad ibn Muhammad al-Kahta’i al-Shufi. Seorang sufi yang darinya, al-Baidhawi mempelajari serta meneladani arti ibadah dan zuhud. Lalu ia juga belajar kepada Syaikh Syarfuddin Umar al-Busykani al-Zaki, seorang ulama besar dunia pada saat itu yang menguasai beragam fan keilmuan Islam. Sebagai murid kesayangan, al-Baidhawi pun menggubah sebuah qashidah yang panjang untuk mengenang gurunya selepas wafat.
Baca Juga: Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb
Selain sebagai cendekiawan yang penuh akan ilmu, al-Baidhawi juga mengemban amanah sebagai seorang hakim di Syairaz sebagaimana ayahnya dahulu. Ia dikenal sebagai hakim yang adil sebab ia menggunakan kaidah ushul fiqh dan fiqh dalam memutuskan sebuah perkara yang dihadapinya. Sebelum akhir hidupnya, al-Baidhawi memilih melepas jabatannya sebagai hakim di Syairaz dan merantau ke Tabriz serta menghabiskan sisa umurnya di sana.
Al-Subki dalam Thabaqat–nya menuturkan kisah saat kali pertama al-Baidhawi menginjakkan kakinya di Tabriz. Kala itu al-Baidhawi mendapati sebuah majelis ilmu dan ia pun langsung duduk di dalamnya. Orang-orang pun merasa heran sebab tidak ada satupun yang mengenal dirinya. Lalu di tengah pengajaran, sang guru yang memimpin majelis tersebut membuat sebuah guyonan bahwa tidak ada seorang pun dalam majelisnya yang sanggup untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang ia berikan.
Al-Baidhawi yang hanya sekedar iseng mengikuti majelis itupun terpancing untuk menjawab. Ia pun memberikan jawaban yang sangat luar biasa dan bahkan tidak bisa ditiru oleh guru yang memberikan pertanyaan tersebut.
Di kota Tibriz inilah, Nashiruddin al-Baidhawi mengarang dan menyelesaikan magnum opusnya dan di kota ini juga ia menutup usinya. Dikatakan bahwa ia wafat pada tahun 685 M dan ada juga yang mengatakan pada tahun 691 M.
Ulasan Ringkas Atas Kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil
Kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil tergolong kitab tafsir menengah jika ditinjau dari volumenya. Dalam menyusun kitabnya ini, al-Baidhawi menggunakan metode bil ma’tsur dan bil ra’yi sekaligus. Artinya ia menyisipkan sejumlah riwayat salaf dan memberikan narasi ijtihadnya dalam menjelaskan suatu makna.
Dikatakan bahwa Tafsir al-Baidhawi berisi ringkasan dari al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, sehingga tidak heran bahwa penjelasan linguistik menjadi bagian yang menonjol. Namun dalam beberapa hal mengenai persoalan akidah, al-Baidhawi tidak mengikutinya dan memberikan penjelasan berdasarkan akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf
Ia juga mengutip dari Mafatih al-Ghaib serta Tafsir al-Raghib al-Ashfahani sebagai salah satu sumber referensinya. Sebelumnya bahwa dalam muqaddimah kitab tafsirnya, al-Baidhawi memang menuliskan bahwa sumber referensi penafsirannya ialah dari riwayat salaf serta kitab-kitab tafsir pendahulunya. Maka tidak heran jika dalam penafsirannya terdapat riwayat salaf sekaligus pendapat para mufassir pendahulunya.
Menurut Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun ada beberapa hal penting yang menjadi ciri khas Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Pertama, dalam ayat-ayat yang memuat masalah fiqh, al-Baidhawi cenderung tidak menjelaskan secara panjang lebar dan memilih untuk menguatkan madzhab fiqh yang ia pegang.
Kedua, dalam ayat-ayat yang memuat persoalan akidah, al-Baidhawi menyebutkan beberapa pandangan aliran teologi seperti pada Q.S. al-Baqarah [2]: 2-3, ia menyebutkan pandangan Ahli Sunnah, Mu’tazilah dan Khawarij dan mengakhirinya dengan meneguhkan bahwa madzhab Ahli Sunnahlah yang paling tepat. Ketiga, memberikan perhatian dan penjelasan jika mendapati ayat-ayat kauniah (kealaman). Hal ini sebenarnya sangat dipengaruhi dari pembacaannya atas Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi.
Begitulah ulasan ringkas atas biografi Nashiruddin al-Baidhawi, seorang hakim ternama di Syiraz serta magnum opusnya Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, yang hingga saat ini masih dinikmati oleh banyak kalangan mulai dari pesantren hingga akademisi di perguruan tinggi. Wallahu a’lam.