Di era globalisasi, banyak anak bangsa yang merantau ke luar negeri untuk menimba ilmu, mencari pengalaman, atau membangun karir. Namun, tak sedikit dari mereka yang lupa akan tanggung jawab untuk kembali dan berkontribusi bagi kemajuan tanah air.
Fenomena ini mengingatkan kita pada teladan agung nasionalisme Nabi Muhammad saw. Setelah meraih kesuksesan dalam membangun masyarakat Madinah, beliau kembali ke Makkah dengan penuh cinta dan dedikasi untuk mempersatukan umat. Kisah ini menjadi inspirasi abadi tentang makna nasionalisme sejati dalam Islam, mencintai tanah air bukan sekadar ikatan emosional, melainkan komitmen untuk mengabdi dan memajukannya.
Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran
Kepulangan Nabi ke Makkah: Simbol Cinta dan Persatuan
Setelah hijrah ke Madinah dan membangun peradaban Islam yang kuat, Nabi Muhammad saw. tidak pernah melupakan Makkah, tanah kelahirannya. Pada tahun 8 Hijriyah, beliau memimpin pasukan untuk membebaskan Makkah (Fathu Makkah) dari kekufuran dan kesewenang-wenangan.
Kepulangan beliau bukanlah bentuk balas dendam, melainkan manifestasi cinta dan keinginan untuk mempersatukan masyarakat di bawah panji tauhid. Dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, beliau memaafkan penduduk Makkah yang pernah mengusirnya, seraya bersabda:
“Pergilah, kalian semua bebas.” (HR. Baihaqi)
Peristiwa ini menggambarkan bahwa nasionalisme dalam Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. Justru, cinta tanah air menjadi jalan untuk menebar rahmat dan keadilan. Sebagaimana Nabi kembali ke Makkah untuk membersihkannya dari kemusyrikan dan membangun tatanan sosial yang lebih baik, kaum perantau yang sukses pun diajak untuk pulang membawa ilmu, pengalaman, dan semangat membangun negeri.
Hijrah dan Nasionalisme
Allah SWT. berfirman:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat berhijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 100)
Ibnu Katsir dalam (Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm, 2/345–346), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung dorongan bagi kaum Muslim untuk berhijrah, meninggalkan lingkungan yang penuh tekanan demi kehidupan yang lebih baik. Allah menjanjikan bahwa siapa pun yang hijrah di jalan-Nya akan menemukan tempat berlindung dan kelapangan rezeki.
Makna ‘مراغمًا كثيرًا (tempat hijrah yang luas)’ memiliki beberapa penafsiran. Ibnu Abbas menyebutnya sebagai perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, sedangkan Mujahid memahami kata ini sebagai menjauh dari sesuatu yang tidak disukai. Qatadah menambahkan bahwa hijrah membawa seseorang dari kesesatan menuju petunjuk, dari keterbatasan menuju kelapangan hidup. Dengan kata lain, hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik secara spiritual dan material.
Allah juga menegaskan bahwa siapa pun yang meninggalkan rumahnya dengan niat hijrah kepada-Nya dan Rasul-Nya, kemudian meninggal sebelum sampai tujuan, tetap mendapat pahala hijrah yang sempurna. Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa setiap amal bergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Kisah seorang pembunuh yang bertobat dan meninggal dalam perjalanan hijrah juga menjadi bukti bagaimana Allah mengganjar niat yang tulus meskipun seseorang belum sepenuhnya mencapai tujuannya.
Tafsir ini menegaskan bahwa hijrah bukan sekadar meninggalkan tempat, tetapi juga bagian dari perjuangan mendapatkan kebebasan dan keberkahan. Konsep ini sangat relevan dalam konteks kepulangan Nabi Muhammad ke Makkah:
- Hijrah membawa perubahan, dan kembali ke tanah air bukan sekadar nostalgia, tetapi untuk membangun peradaban yang lebih baik.
- Janji Allah bagi para muhajirin, bahwa siapa pun yang berhijrah di jalan-Nya akan mendapatkan perlindungan dan rezeki.
Dengan demikian, hijrah dalam konteks ini bukan hanya berpindah secara fisik, tetapi juga perubahan menuju kebaikan yang lebih luas, termasuk dalam membangun sebuah bangsa yang lebih kuat dan beradab.
Baca Juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran
Keseimbangan antara Merantau dan Kembali: Teladan Nabi dan Ulama
Merantau sering dipahami sebagai perjalanan meninggalkan tanah kelahiran demi mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, bagi Nabi Muhammad dan para ulama terdahulu, merantau bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah misi untuk belajar, bertahan, dan akhirnya kembali dengan membawa perubahan. Hijrah Nabi ke Madinah adalah bukti bahwa meninggalkan tempat asal bukan berarti melupakannya, melainkan untuk menyusun kekuatan dan strategi. Ketika akhirnya kembali ke Makkah, beliau tidak datang sebagai pengungsi yang tersesat, tetapi sebagai pemimpin yang membawa rahmat dan kemuliaan.
Imam Syafi’i, misalnya, menghabiskan waktu bertahun-tahun di berbagai negeri demi menuntut ilmu, sebelum akhirnya kembali dan meletakkan dasar bagi pemikiran fiqih yang berkembang hingga kini. Begitu pula al-Ghazali, yang dalam pencariannya akan kebenaran sempat meninggalkan posisinya sebagai guru besar di Baghdad, hanya untuk kembali dengan wawasan yang lebih mendalam dan pemikiran yang lebih matang.
Merantau bukan sekadar soal pergi, dan pulang bukan sekadar kembali. Ada tanggung jawab besar yang menyertainya. Nabi kembali ke Makkah bukan untuk menuntut balas, tetapi untuk membawa perubahan yang lebih baik. Para ulama kembali ke masyarakat bukan untuk hidup nyaman, tetapi untuk menyebarkan ilmu dan membangun umat. Dalam konteks modern, nasionalisme juga berakar dari semangat ini. Mereka yang menuntut ilmu di negeri orang seharusnya tidak kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya, melainkan kembali dengan membawa sesuatu yang bisa memperbaiki dan memajukan masyarakatnya.
Baca Juga: Menjaga Negara Sama Pentingnya dengan Menjaga Agama
Kontribusi untuk Tanah Air
Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 126).
Fakhruddin ar-Razi dalam (Mafātīḥ al-Ghayb, 4/48), menjelaskan bahwa doa Nabi Ibrahim tentang keamanan dan kesejahteraan suatu negeri memiliki makna yang dalam terkait keseimbangan antara dunia dan agama;
- Dunia bukan tujuan utama, tetapi sarana untuk memperkuat agama. Jika suatu negeri aman dan makmur, penduduknya dapat lebih fokus dalam menaati Allah. Sebaliknya, jika negeri itu dilanda ketidakstabilan dan kemiskinan, masyarakatnya akan sulit beribadah dengan tenang.
- Keamanan dan kesejahteraan memudahkan orang untuk datang dan beribadah. Makkahdijadikan tempat yang didatangi banyak orang, dan itu hanya mungkin jika jalannya aman serta kebutuhan hidup di sana terpenuhi.
- Kondisi yang baik di suatu negeri dapat menarik orang untuk datang dan semakin dekat dengan Allah. Dengan adanya keamanan dan kelimpahan rezeki, orang-orang lebih terdorong untuk mengunjungi tempat suci, menyaksikan kebesaran Allah, dan memperbanyak ketaatan.
Doa Nabi Ibrahim untuk kemakmuran Makkah menjadi pengingat bahwa kontribusi kepada tanah air adalah bentuk ibadah. Ilmu, jaringan, dan pengalaman yang diperoleh di perantauan harus dijadikan modal untuk menjawab tantangan bangsa, seperti ketimpangan moral, ekonomi, pendidikan hingga infrastruktur.
Penutup
Kisah kepulangan Nabi Muhammad saw. ke Makkah mengajarkan bahwa nasionalisme bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan aksi nyata untuk memuliakan tanah air. Bagi perantau yang sukses, pulang bukanlah langkah mundur, melainkan lompatan besar untuk menyalakan cahaya perubahan. Sebagaimana Allah menjanjikan rezeki di setiap langkah hijrah, Dia juga membuka pintu keberkahan bagi mereka yang kembali dengan niat tulus. Wallahu a’lam.