Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Politik islam dalam Al-Quran
Politik islam dalam Al-Quran

Pada dasarnya Islam tidak pernah mendoktrinkan sebuah sistem politik tertentu secara utuh dan baku. Politik dalam Islam sangatlah lentur dan dinamis, terlihat dari bagaimana rekam jejak Nabi dan para penggantinya yang disebut Khulafaurrasyidin mengelola kehidupan politik umat Islam di awal sejarah.

Karena itu istilah negara Islam (darul/daulah islam) atau pun khilafah tidak pernah disebut dalam Al-Quran dan tidak diajarkan dalam hadis. Al-Quran hanya pernah menyebut kata khalifah merujuk pada peran manusia di bumi dan khalaif merujuk pada sebuah generasi. Keduanya tidak mempunyai konotasi politik dan apalagi, tidak bisa disebut sebagai sistem politik.

Relasi Islam dan politik memang telah diperbincangkan sejak sangat lama. Beberapa ulama yang pernah mengkaji politik Islam di antaranya adalah al-Farabi (w. 339 H), al-Mawardi (w. 450 H), al-Ghazali (w. 505 H), Ibn Taymiyah (728 H) dan Ibn Khaldun (w. 784 H). Dan di era kontemporer di antaranya adalah Jamaludin al-Afghani (w. 1897 M), Hasan al-Banna (w. 1949 M), Abdul Wahab Khalaf (w. 1956 M), Ali Abd al-Raziq (w. 1966 M), Sayyid Quthb (w. 1966), al-Maududi (w. 1979 M), Abdurrahman Wahid (w. 2009 M), dan lainnya.

Semua teori tentang politik Islam yang ditawarkan oleh para tokoh tersebut adalah bersifat ijtihadi dengan kebenaran yang relatif, tidak ada yang qot’i al-dilalah berasal dari nas Al-Quran. Karena itu tawaran tentang gambaran seperti apa politik Islam sangat beragam dan jauh dari kata baku. Masing-masing ijtihad dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik negara pada saat mereka hidup. Sehingga bentuk sistem politik Islam pada dasarnya sangat fleksibel menyesuaikan kondisi yang maslahat di masing-masing negara, bisa saja republik, kerajaan, keamiran, maupun lainnya.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran

Tujuh prinsip politik Islam

Namun meski Islam tidak mengajarkan sebuah sistem yang utuh tentang politik, Islam menekankan sejumlah prinsip dan moralitas berpolitik dan bernegara. Paling tidak ada tujuh prinsip politik Islam yang tersirat di dalam Al-Quran. Pertama, Amanah. Dikarenakan seorang politisi adalah pemegang mandat rakyat atau konstituen di mana di dalamnya terkandung sebuah perjanjian (baiat/pemilu), maka menjalankan amanah merupakan sebuah kewajiban. Hal tersebut disampaikan oleh Allah dalam QS al-Nisa [4] ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” Di sisi lain, bagi rakyat juga ada kewajiban menaati seorang pemimpin (QS. Al-Nisa [4]: 59).

Kedua, keadilan (‘adalah), merupakan sebuah prinsip yang sangat ditekankan oleh Islam sebagai soko guru dalam bernegara. Keadilan harus dijalankan dengan kejujuran, ketulusan dan integritas. Keadilan ini berlaku untuk semua makhluk, tanpa memandang status sosial, ras, suku, agama maupun kedekatan hubungan. Allah SWT berfirman: “Berlakulah adil walaupun terhadap kerabat.” (QS. Al-An’am [6]: 152) Juga: “Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan takwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 8).

Ketiga, musyawarah (syura). Musyawarah merupakan sebuah etika politik utama, yang bersifat komunikatif-dialogis. Musyawarah merupakan sebuah media mencapai hasil mufakat atau pengambilan jalan tengah. Dengan musyawarah, totalitarianisme dan penggumpalan kekuasaan pada satu orang yang lebih berpotensi keliru dapat diminimalisir. Allah SWT berfirman: “Hendaklah urusan mereka tentang permasalahan dunia diputuskan dengan bermusyawarah di antara mereka.” (QS. Al-Syura [42]: 38). Pesan yang hampir sama juga disampaikan oleh QS. Ali Imran [3] ayat 159. Dalam prinsip ini pula nasehat dan kritik konstruktif terhadap penguasa menemukan legitimasinya.

Keempat, kebhinekaan dan kebangsaan (sya’bi). Prinsip ini sebagaimana penjelasan Allah SWT dalam firman-Nya: “Hai manusia, sesugguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya kamu saling memahami. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Berdasarkan ayat ini, kebhinekaan merupakan hal yang niscaya dan dalam konsteks bernegara semua mempunyai hak dan kewajiban yang setara, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam susunan Piagam Madinah.

Baca Juga: Kebhinnekaan dalam Al-Quran

Kelima, kebebasan (huriyah). Dalam kehidupannya, manusia dihadapkan pada konsekuensi dan tanggungjawab. Itu meniscayakan adanya sebuah kebebasan dalam memilih setiap langkah kehidupan. Sebuah konsekuensi tidak mungkin dibebankan kepada manusia yang dipaksa tanpa punya kehendak memilih. Manusia sendiri dilahirkan dalam keadaan merdeka. Karena itu kebebasan memilih merupakan hakikat kehidupan manusia di bumi ini. Kebebasan dijamin bahkan dalam sebuah hal yang sangat prinsip, yaitu memilih agama. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dalam hal ini, adanya kebebasan beragama tidak menafikan pentingnya dakwah dan dalam konteks bernegara di ruang publik, kebebasan seseorang harus dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Keenam, kemaslahatan dan kesejahteraan, merupakan salah satu tujuan utama didirikannya sebuah negara. Karena itu politik seorang negarawan harus berorientasi pada kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’ [34]: 15)

Ketujuh, perdamaian (salam). Pada dasarnya Islam merupakan agama yang mencintai perdamaian. Jalan damai merupakan jalan yang selalu dipilih oleh Nabi sebagaimana terlihat dalam Suluh Hudaybiyah, meski Nabi harus menerima konsekuensi yang pahit. Adapun perang merupakan sebuah jalan keluar yang terjadi karena situasi yang darurat, yaitu adanya serangan musuh. Dalam kondisi negara yang damai lah umat beragama bisa beribadah dengan khusyuk dan tenang. Dalam kondisi damai pula Islam bisa didialogkan kebenarannya dengan umat agama lain. Terkait ini Allah SWT berfirman: “Apabila mereka cenderung pada perdamaian, maka penuhilah perdamaian itu.” (QS. Al-Anfal [8]: 61).

Baca Juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

Simpulan dari pemaparan di atas adalah bahwa Islam tidak mengajarkan sebuah sistem politik tertentu yang baku. Tetapi Islam sebagai agama yang syumul, melalui kitab suci Al-Quran menekankan prinsip dan moralitas etika berpolitik dan bernegara, di antaranya adalah amanah, ‘adalah (keadilan), syura (musyawarah), kebhinekaan, huriyah (kebebasan), kemaslahatan, dan salam (perdamaian). Islam tidak mendoktrinkan sebuah bentuk formalitas sistem tetapi menekankan esensi dan substansi dalam sebuah sistem. Dengan kata lain, bukan sebuah negara berlabel Islam yang dicita-citakan, tetapi sebuah negara yang mengandung nilai-nilai islami. Di sinilah letak kesempurnaan Islam, sebagaimana disampaikan oleh kaedah, al-‘ibrah bi al-jawhar la bi al-mazhar.