Mengikuti pandangan umum, asas utama ajaran Islam ada pada rukun iman, rukun islam dan rukun ihsan. Akan tetapi rukun yang terakhir ini agaknya sering terlupakan. Padahal ketiganya berkelindan erat untuk menentukan kualitas beragama seseorang. Jika rukun iman merefleksikan aqidah dan rukun islam mewakili aspek syariat-ubudiah, maka rukun ihsan menjadi pijakan kualitas kedua rukun tersebut.
Secara bahasa, menurut Ibn Mandhur dalam Lisan al-‘Arab, ihsan bermakna ikhlas. Spesifiknya ikhlas yang menjadi syarat keabsahan kualitas iman dan islam. Karena itu, terdapat ungkapan bahwa apabila seseorang yang beramal tanpa dasar ikhlas, maka dia tidak termasuk orang muhsin.
Makna lain ihsan adalah mampu berbuat baik kepada diri sendiri dan pihak lain. Ibn Mandhur mencatat bahwa seorang yang ihsan adalah tanda bahwa dia dekat dengan Allah dengan kualitas ketaatan paripurna, sebab orang yang dekat dengan Allah pasti beramal dengan ihsan.
Baca Juga: Tafsir Ayat-ayat Tumbuhan Kemenag RI: dari Ragam Tanaman hingga Etika Lingkungan
Keterangan Ibn Mandhur tersebut secara ekplisit memiliki korelasi dengan makna ihsan sebagaimana dijelaskan Nabi: “Beribadahlah seolah-olah kamu melihat Allah, atau jika tidak mampu, seolah-olah dilihat Allah.” Hadis ini diriwayatkan Imam Muslim dalam hadis nomor 1, dan Imam Bukhari nomor 4777. Dari hadis ini dapat dilihat, mampu “melihat” Allah atau sebaliknya merupakan kedekatan seorang hamba dengan Tuhan.
Menjelaskan hadis di atas, Ibn Arabi dalam Al-Futuhat al-Makiyyah pada bab Asrar al-Taharah menerangkan bahwa pada kata “seolah melihat Allah”, artinya Allah tidak berada dalam cakupan indrawi. Nabi bersabda “seolah” supaya hamba memasukkan dalam penglihatannya hingga hamba tersebut bisa meresapi sesuatu yang “seolah” ke dalam imajinasi melalui pancaindra sedemikian rupa. Sehingga perumpamaan ini mirip dengan mereka yang memahat Tuhan, bukan dalam arti negatif, tetapi dalam arti bahwa Tuhan benar-benar mampu mereka hadirkan.
Terlepas dari apakah manusia mampu melihat Allah atau tidak, substansi dari rukun ihsan adalah bagaimana seorang hamba menghubungkan seluruh ibadah dalam spektrum penglihatan Allah Swt. Kesadaran atas pengawasan tersebut memacu seorang hamba untuk beribadah semaksimal mungkin. Ketika rukun ihsan ini terkait dengan rukun Islam, salat misalnya, maka seorang hamba terdorong untuk memenuhi dua kriteria ihsan: salat sebaik mungkin—sebagaimana arti ihsan, dan salat seolah melihat atau dilihat Allah Swt.
Demikian pula ketika ihsan melekat dengan rukun iman, keduanya berkelindan erat. Jika orang menambahkan aspek ihsan pada keimanan hari akhir, maka ia akan mengimani dengan sebaik yang ia bisa, diiringi keyakinan keimanan tersebut terhubung dengan melihat atau dilihat Allah. Dari contoh-contoh hubungan ini, ihsan berfungsi untuk menjaga kualitas rukun iman dan rukun islam.
Karena itu, Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan, Islam Manusia, menjelaskan bahwa rukun ihsan memuat aspek utama ajaran spiritualitas dan moralitas agama. Ihsan sebagai spiritual mapun moral, dan keterhubungannya dengan rukun-rukun lain dapat diterjemahkan lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari. Setiap aspek kehidupan seorang hamba dapat memiliki nilai ihsan. Poin ini dapat diambil dari tafsir surah Albaqarah ayat 195:
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ١٩٥
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menafsirkan ayat di atas pada konteks yang cukup umum, sebab beberapa mufasir—seperti Ibn Kathir dan Wahbah Zuhaili—membatasi ayat tersebut pada konteks jihad. Menurut Quraish Shihab, ihsan bermakna memperlakukan orang lain lebih baik dari perlakuannya terhadap kita, bukan sekedar memperlakukan orang lain sebagaimana ia memperlakukan kita. Dengan demikian ihsan memiliki tingkatan yang lebih tinggi dan lebih dalam dari adil
Jika adil adalah mengambil hak kita atau memberi hak orang lain dengan kadar setara, maka ihsan memberi lebih banyak dari yang harus kita beri, atau mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya. Masih menurut Shihab, ihsan diperintahkan karena Allah berbuat ihsan terhadap hamba-hambanya. Itulah mengapa Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan, karena ada upaya untuk menginternalisasi ahklak Allah dalam dirinya.
Karena ayat di atas berada dalam konteks perang, maka Shihab juga memberi catatan menarik terkait hadis nabi yang ia kutip, bahwa Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Jika seseorang harus membunuh musuh dalam peperangan, maka harus membunuh dengan ihsan; jika seseorang harus menyembelih binatang, harus menyembelih dengan ihsan. Dua poin tersebut dapat diartikan seseorang tidak patut menyiksa musuh atau hewan sembelihan.
Baca Juga: Api Di Dasar Laut Dalam Al-Quran: Tafsir Surah At-Tur Ayat 6
Implikasi positif dari konsep ihsan di atas adalah bahwa seseorang harus mampu menerjemahkan berbagai tindakan dalam kerangka kebaikan. Jika membunuh musuh harus dilakukan secara ihsan, maka demikian pula menyangkut perbuatan yang memiliki nilai kebaikan umum. Artinya, jika rukun ihsan dapat menjadi nilai yang dipahami oleh umat Islam, maka Islam dapat tampil sebagaimana visinya: menyempurnakan akhlak manusia.
Sebaliknya, jika umat Islam melupakan rukun ihsan tersebut, tidak menutup kemungkinan Islam akan memiliki orientasi yang tidak ramah terhadap kehidupan sosial. Dapat disimpulkan, melalui seluruh poin di atas, ketika rukun ihsan berhubungan dengan dua rukun lain, ia membentuk kualitas keagamaan seseorang, pada level internal-eksternal. Ketika rukun ihsan menjadi pijakan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan menjadi jangkar untuk harmoni sosial. Sudah sepatutnya iman-islam-ihsan dipahami sebagai satu kesatuan ajaran utama Islam. Wallahu A’lam.