Term kafir dalam Islam seringkali disematkan kepada orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya, Muhammad. Definisi serupa juga ditemukan dalam KBBI daring. Namun, rupanya orang kafir Makkah mengetahui dan mempercayai Allah. Lantas mengapa mereka masih dicap kafir?
Sebelum Islam datang masyarakat Makkah telah mengetahui adanya Allah. Hal ini dapat kita lihat dari nama ayah Nabi Muhammad saw; Abdullah (hamba Allah). Alquran juga merekam pengetahuan kafir Makkah akan adanya Allah dalam Q.S. Azzukhruf [43]: 87. Berikut terjemahnya:
Jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, “Allah.”
Makna senada juga dapat kita temukan dalam Q.S. Luqman [31]: 25 dan Azzumar [39]: 38. Jadi nama Allah telah dikenal dalam masyarakat Arab pra-Islam.
Masyarakat Arab pra-Islam telah mengenal nama Allah, bahkan mengimaninya. Namun, mereka meletakkan nama itu di antara nama-nama tuhan yang lain; lata, uzza, manat, dsb. Maka dari itu, mereka memiliki kepercayaan politeisme.
Posisi Allah dalam konstruksi kehidupan orang Arab pra-Islam tidak begitu penting. Dia hanya ditempatkan sebagai pencipta saja, tidak dalam urusan-urusan selanjutnya. Toshiko Izutsu pada penjelasan “Nasib Manusia” dalam Relasi Tuhan dan Manusia menyebutkan:
Manusia, apabila telah diciptakan oleh Allah, boleh dikatakan telah memutuskan ikatannya dengan Penciptanya, sehingga eksistensinya di bumi semenjak saat itu dikuasai oleh yang lain.
Kafir Makkah menempatkan Allah hanya sebagai pencipta. Mereka lebih mempercayakan nasibnya kepada tuhan-tuhan yang lain dan juga para peramal. Mereka biasa melakukakn undian dengan anak panah sebelum melakukakn perjalanan. Ibarat jika yang muncul anak panah bertuliskan “iya”, maka mereka berangkat. Begitu pun sebaliknya.
Kemudian Allah Swt. memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. untuk merekonstruksi pola pikir masyarakat jahiliah. Alquran membawa pemahaman baru tentang Allah. Allah tidak lagi hanya sebatas pencipta, tetapi juga yang mengurusi segalanya (Q.S. Arra’d [13]: 16; Alkahf [18]: 14; Maryam [19]: 65; dan Alanbiya’ [21]: 56).
Orang yang beriman hendaknya tidak mengandalkan kekuatannya sendiri dalam melakukan suatu pekerjaan. Dia harus melibatkan Allah dalam segala rencananya (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 159-160 dan Almaidah [5]: 11).
Alquran juga menolak konsep banyak tuhan (politeisme). Tuhan yang benar dan yang pantas disembah hanyalah satu, yaitu Allah al-Ahad (monoteisme). Dia tempat segala urusan berlabuh, tak memiliki anak, dan tak dilahirkan. Dia satu-satunya penguasa alam raya; tak ada sekutu baginya (Q.S. Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Allah juga melarang mengkultuskan seseorang sampai tingkatan tuhan (Q.S. Ali-Imran: 64). Dengan kata lain, Alquran datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan, kecuali hanya kepada Allah Swt.
Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran
Alquran membawa konsep baru dalam kata “Allah” yang telah dikenal luas oleh masyarakat Arab. Dalam kajian semantik Alquran, Izutsu mengklasifikasikan makna sebuah kata berdasarkan periode waktu. Klasifikasi ini didasarkan pada analisis sinkronik dan diakronik.
Dalam Alquran, menurut Izutsu, kata “Allah” menjadi konsep sentral. Semua kata-kata penting dalam Alquran memiliki relasi, bahkan berpusat pada kata “Allah”. Alquran menggambarkan koherensi konseptual yang sekiranya tidak ada sesuatu yang bisa lepas dari “Allah”, baik itu konsep-konsep yang berhubungan langsung dengan keimanan maupun konsep-konsep tentang gagasan moral dan konsep keduniaan. Sederhananya, Alquran memberikan pemahaman baru terhadap kata “Allah”.
Sebagian orang kafir telah mengetahui Allah, tetapi mereka hanya mengenal sebatas nama. Mereka tidak mengenal hakikat-Nya. Mereka ingkar, bukan kepada Allah, tetapi kepada konsep-konsep baru tentang Allah. Allah yang Ahad (tunggal); yang mengurusi segala urusan; yang menjanjikan kehidupan setelah kematian.
Orang yang beriman mengetahui Allah serta menerima konsep yang disampaikan Nabi Muhammad saw. Dalam hidupnya, Allah menjadi pusat utama. Tak ada satu pekerjaan yang alpa dari kehadiran-Nya. Orang yang beriman menggunakan setiap nafas dan langkah kakinya untuk terus taqarrub (mendekatkan diri) pada-Nya.
Baca juga: Kajian Semantik Kata Wahyu dan Keragaman Maknanya dalam Al-Qur’an