Paham Antroposentrisme Agama (Sakhr) dan Upaya Merekonstruksinya

Antroposentrisme Agama
Antroposentrisme Agama foto: pioneeredge.in

Pada tulisan sebelumnya, telah diterangkan soal pentingnya Tafsir Ekologi. Pada artikel kali ini, penulis akan mencoba merekonstruksi antroposentrisme agama yang memandang lingkungan sebagai sesuatu yang sah untuk dieksploitasi.

Beberapa ajaran agama yang mengungkap tentang kedudukan antara manusia dan alam memiliki tendensi untuk melahirkan pemahaman yang antroposentris. Paham antroposentrisme agama (sakhr) dari agama-agama Abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi), sangat potensial melahirkan pandangan yang merusak alam dan lingkungan sebab di masa lampau tidak mendapati permasalahan ekologis seperti saat ini.

Dalam Islam, paham antroposentrisme agama (sakhr) berasal dari ayat-ayat Al-Quran yang menjabarkan tentang penundukan alam semesta kepada manusia selaku wakil Tuhan di Bumi (khalifah). Salah satu ciri khas ayat antroposentris adalah memiliki frasa (سَخَّرَ لَكُمْ), sebagaimana beberapa contoh ayat-ayat sakhr yaitu Q.S. al-Hajj [22]: 65; Q.S. Luqman [31]: 20; Q.S. al-Jatsiyah [45]: 13.

Ketiga ayat tersebut merupakan representasi dari paham antroposentrisme (sakhr) dalam Islam yang memungkinkan untuk dipahami bahwa alam semesta beserta isinya berada di bawah manusia. Pandangan ini juga ditemukan oleh Lynn White dalam Bible sehingga melahirkan tulisannya yang mengkritik paradigma antroposentris Judeo-Kristen.

Kemudian disusul oleh gugatan Arnold Toynbee atas agama-agama monoteisme yang menurutnya gagal dalam menghadirkan paradigma agama yang peduli lingkungan sehingga menyarankan agar pandangan monoteisme mengkonversi diri menjadi panteisme.

Atas gugatan yang banyak ditujukan, para cendekiawan Islam berupaya merekonstruksi pandangan Islam terkait dengan konsep kedudukan manusia dan alam. Baik dengan mewujudkan paradigma agama yang berorientasi ekologis dan tidak antroposentris. Serta memunculkan pemaknaan baru terhadap konsep-konsep universal Islam dalam bingkai ekologis maupun menjadikan kajian ekologis sebagai salah satu bagian dari maqashid al-syari’ah.


Baca Juga: Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat


Landasan argumentasinya adalah bahwa ayat-ayat antroposentrime agama (sakhr) tidaklah merepresentasikan pandangan Islam yang utuh mengenai konsep kedudukan manusia dan alam. Maka ada beberapa tawaran yang diajukan oleh ahli untuk menutupi gap tersebut.

Pertama, merekonstruksi konsep kedudukan manusia dan alam. Dalam upaya melakukan rekonstruksi tentang konsep manusia dan alam, ada beberapa poin pembahasan yang ditekankan yakni menjelaskan hakikat dan tujuan penciptaan manusia dan alam, hal ini bertujuan untuk menjelaskan bahwasanya manusia beserta alam berada pada posisi setara dalam kedudukannya sebagai makhluk.

Sebab baik manusia maupun alam sama-sama bertasbih kepada Tuhan dan manusia secara ontologis merupakan bagian dari alam. Implikasinya, manusia harus menghormati alam karena alam merupakan manifestasi kehadiran Tuhan (aya>t) dan rekan manusia—sebagai makhluk—dalam bertasbih kepada Tuhan.

Kemudian mengaitkan konsep manusia sebagai khalifah dengan konsep eskatologis Islam. Pandangan ini menekankan bahwa alam yang diciptakan Tuhan lalu kemudian diamanahkan kepada manusia, menuntut manusia untuk memperlakukannya dengan baik sebab itu merupakan salah satu ujian bagi manusia yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Bagaimanapun alam semesta berada dalam kedaulatan Tuhan sedangkan manusia hanya diamanahkan dengan segenap aturan yang harus ditaati. Pandangan ini juga sekaligus menghilangkan pandangan yang cenderung mementingkan dimensi eskatologis semata, sehingga tidak peduli akan permasalahan dunia dan hanya fokus untuk mengejar akhirat.

Kedua, memaknai konsep universal Islam dalam orientasi ekologis: mizan, ‘adl dan ihsan. Dalam Islam ada konsep-konsep universal yang berusaha dimaknai dalam orientasi ekologis diantaranya mizan, ‘adl dan ihsan. Sebenarnya hal ini merupakan langkah lanjutan yang digunakan untuk mengeksplorasi nilai-nilai etis dalam Alquran yang berfungsi sebagai panduan bagi manusia dalam mengemban amanah sebagai khalifah.

Secara spesifik perbedaan antara mizan dan ‘adl ditekankan pada terminologinya, dimana mizan ditarik dalam pemaknaan akan takaran alam semesta yang diciptakan dengan penuh perhitungan sehingga membentuk aturan hukum alam. Sedangkan ‘adl dan ihsan lebih menekankan pada aspek pemanfaatan yang harus mempertimbangkan pada aspek kebutuhan dan tidak berlebihan (‘adl) serta memperhatikan hak-hak yang harus ditunaikan kepada alam sebagai bentuk hubungan timbal-balik antara manusia dan alam (ihsan).

Maka manusia sebagai khalifah haruslah mengedepankan ‘adl dah ihsan dalam rangka menjaga mizan lingkungan dan alam. Sebab jika kedua hal tersebut tidak dijalankan, maka keseimbangan alam akan goyah dan salah satu dampaknya adalah bencana alam yang mengancam keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.


Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Bisakah Manusia Berdialog dengan Hewan dan Tanah?


Ketiga, pendekatan maqasidi hifz al-bi’ah. Pendekatan maqasid yang menekankan pada maslahah primer (al-daruriyah) manusia yang kemudian terumuskan dalam istilah al-daruriyah al-khamsah menjadi salah satu perspektif yang digunakan untuk membahas krisis lingkungan. Zainal Abidin Bagir mengutip hasil survei yang dilakukan oleh Schwencke mengungkapkan bahwa environmental fiqh menjadi inovasi kajian Islam sebagai salah satu upaya menghadirkan kesadaran akan pentingnya lingkungan sebagai bagian dari daruriyah yang dibutuhkan manusia.

Argumentasi dasarnya adalah bahwasanya manusia tidak akan bisa hidup tanpa alam. Maka kehadiran alam dan mempertahankan eksistensi keseimbangannya menjadi salah satu aspek pokok yang harus dilindungi. Begitulah kiranya rekonstruksi paham antroposentrisme agama menurut pandangan Islam. Wallahu a’lam.