Muhammad Ahmad Khalafullah adalah seorang pemikir Mesir yang progresif dan inovatif. Beliau lahir pada tahun 1916 dan para ahli berbeda pendapat mengenai tahun kewafatannya, yakni 1983, 1991 atau 1997. Ahmad Khalafullah merupakan salah satu sarjana Muslim modern yang concern terhadap kajian-kajian keislaman, terutama dalam bidang Qashash al-Qur’an (kisah-kisah Al-Qur’an).
Muhammad Ahmad Khalafullah lahir di provinsi Syarkiyyah, Mesir. Ia dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang religius dan merupakan pemikir modernis kontemporer, alumni Fakultas Sastra, Universitas Mesir, pada tahun 1939. Kemudian, Khalafullah menyelesaikan program magisternya dengan judul tesis “Jadal al-Qur’an al-Karim” (Dialektika Al-Qur’an Yang Mulia).
Baca Juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir
Setelah menyelesaikan program magister, Ahmad Khalafullah menjadi staf pengajar di universitas tersebut. Pada tahun 1947, ia mengajukan disertasi doktoral tentang kisah-kisah Al-Qur’an berjudul al-Fann al-Qashash fi al-Qur’anul Karim (Seni cerita dalam Al-Qur’an) di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Namun hal ini ditanggapi dengan penuh tendensius oleh kaum tradisionalis dan revivalis. Akhirnya, pada tahun 1948 ia mengundurkan diri dari tempat mengajarnya.
Karya Ahmad Khalafullah tersebut menuai banyak polemik di Mesir. Amin al-Khulli, sang pembimbing disertasinya, bahkan mengatakan, “Saya menyaksikan sendiri karya Khalafullah ini menjadi polemik besar di Mesir, beragam hujatan, cemooh dan kritik argumentatif bertubi-tubi menimpa Khalafullah.” Kendati demikian, beliau tetap mendukung secara penuh hasil karya tersebut.
Di sisi lain, karya Ahmad Khalafullah mendapatkan apresiasi dari beberapa kalangan. Misalnya, J.M.S Baljon menyebutkan bahwa karya tersebut sangat memuaskan, mengandung pengamatan yang sangat tajam. Khalil Abdul Karim juga mengatakan buku Khalafullah itu sangat berwibawa dan dapat dianggap sebagai peretas pembaharuan pemikiran Islam dalam dunia tafsir.
Macam-Macam Kisah Al-Qur’an Menurut Muhammad Ahmad Khalafullah
Muhammad Ahmad Khalafullah memahami kisah-kisah dalam Al-Qur’an melalui pendekatan sastra serta memanfaatkan pendekatan psikologi dan sosial. Ia berpendapat bahwa kisah-kisah Al-Qur’an bukan semata-mata data historis. Kisah dalam Al-Qur’an seringkali tidak disebutkan secara spesifik latar belakang sosio-historisnnya, karena tujuan utama dari kisah tersebut adalah aspek psikologis, yaitu peringatan dan pelajaran.
Bagi Ahmad Khalafullah, kebenaran kisah Al-Qur’an tidak terletak pada apakah itu fakta sejarah atau bukan, melainkan pada aspek pengaruh kisah tersebut bagi si pendengar. Dengan kata lain, tidak semua kisah Al-Qur’an bisa dibuktikan sebagai fakta sejarah – seperti perumpamaan – namun di dalamnya tetap terkandung nilai kebenaran (haqq) seperti peringatan, kabar gembira, intimidasi dan janji (al-Fann al-Qashash fi al-Qur’anul Karim: 152).
Dalam upayanya tersebut, Khalafullah membagi kisah Al-Qur’an kepada tiga macam, yaitu: kisah bercorak sejarah (al-qishshah al-tarikhiyyah), kisah bercorak perumpamaan (al-qishshah al-matsliyyah), dan kisah bercorak legenda atau mitos (al-qishshah al-usturiyyah). Ketiga model kisah ini – meskipun secara spesifik berbeda – memiliki tujuan yang sama, yakni peringatan dan pelajaran.
Pertama, kisah bercorak sejarah adalah kisah Al-Qur’an berkenaan dengan tokoh-tokoh sejarah seperti para nabi, rasul dan kisah-kisah umat terdahulu. Dalam konteks ini, Khalafullah memposisikan kisah bercorak sejarah sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi. Kisah semacam ini bertujuan agar para pembaca mengambil pelajaran, petunjuk atau informasi mengenai sebuah realitas sejarah sebagaimana kisah tentang kaum ‘Ad dalam surah al-Qamar [54] ayat 18-21.
Kedua, kisah bercorak perumpamaan ialah kisah yang menurut orang terdahulu kejadiannya dimaksudkan untuk menjelaskan suatu hal atau nilai. Peristiwa kisah tersebut bisa saja bukan merupakan realitas sejarah dan mungkin berupa cerita fiktif (kisah yang tidak benar-benar terjadi). Kisah semacam ini berfungsi sebagai perumpamaan bagi pembaca Al-Qur’an merenungkan dan merefleksikan nilai-nilainya.
Contoh dari kisah bercorak perumpamaan ini adalah kisah pertikaian dua anak nabi Adam as – yakni Habil dan Qabil – dalam surah al-Maidah [5] ayat 27-31. Disebutkan bahwa kisah ini berawal dari ketidaksenangan Qabil karena korbannya tidak diterima, sedangkan korban Habil diterima oleh Allah swt. Kisah ini berujung kepada pembunuhan Habil oleh Habil yang dikuasai oleh amarah dan iri dengki.
Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, Muhammad Ahmad Khalafullah mengutip Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa sebenarnya esensi dari kisah Habil dan Qabil ialah penjelasan Allah swt tentang kesiapan manusia untuk menghadapi perang batin antara kesetiakawanan dan persaudaraan yang dimiliki dengan keinginan atau hasrat untuk melebihi, mengungguli, mendominasi dan mengusai saudaranya (Tafsir al-Manar).
Ketiga, kisah al-qishshah al-usturiyyah atau kisah yang didasarkan pada mitos ayau legenda. Menurut Khalafullah sebagaimana dikutip oleh Agus Imam Kharomen dalam tulisannya, “Kajian Kisah Al-Qur’an Dalam Perspektif Muhammad Ahmad Khalafullah”, kisah ini bertujuan untuk memperkuat satu pemikiran atau menafsirkan suatu problem pemikiran atau menguraikan persoalan yang sukar diterima akal.
Khalafullah menegaskan bahwa unsur mitos dalam kisah semacam ini tidak berfungsi sebagai fokus utama, tetapi sebagai instrumen tambahan kisah agar menarik pendengar atau pembaca. Kisah-kisah ini mayoritas berasal dari orang-orang yang menentang adanya hari akhir. Lalu, Al-Qur’an mengingkari keberadaan mitos tersebut dijadikan bukti atau alasan untuk mengatakan Al-Qur’an ciptaan Muhammad dan bukan dari Allah swt.
Dari pemaparan di atas, ada satu poin yang mesti diingat dengan biak, yakni pandangan universal Muhammad Ahmad Khalafullah tentang kisah Al-Qur’an. Baginya, itu adalah bentuk satra yang tidak memastikan ada tidaknya fakta sejarah yang harus diimani. Al-Qur’an telah mengenalkan model susastra yang membersihkan kisah dari kejadian, tokoh, dan berita historis sehingga pembaca bisa fokus terhadap nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, menurut Khalafullah, maksud dari kata al-haqq pada surah Ali ‘Imran [3] ayat 62 yang menyatakan kebenaran qashash al-Qur’an adalah kisah-kisah Al-Qur’an mengandung pesan-pesan agama dan menunjukkan kepada al-haqq serta membujuk pendengarnya untuk mencari kebahagiaan. Hal ini berbeda dengan pandangan kebanyakan mufasir klasik dan pertengahan yang beranggapan seluruh kisah Al-Qur’an merupakan fakta sejarah.
Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi
Sebagai contoh, Khalafullah kemudian menerangkan tentang kisah ashabul kahfi. Kisah ini – jika dilihat berdasarkan asbabun nuzul ayat-nya – turun karena adanya pertanyaan orang-orang musyrik Makkah kepada nabi Muhammad saw untuk membuktikan kebenaran risalahnya. Dalam konteks ini ukuran kebenaran bagi mereka adalah kisah ashabul kahfi. Jika nabi saw menjawab dengan kisah tersebut, maka mereka akan mengakui kenabian beliau.
Kemudian Al-Qur’an turun untuk memberikan legitimasi terhadap kebenaran kenabian Muhammad saw melalui kisah ashabul kahfi sesuai dengan pemahaman orang-orang musyrik tersebut. Hal ini dapat dilihat pada narasi Al-Qur’an yang hanya memaparkan pendapat-pendapat masyarakat yang berkembang pada masa itu dan justru Allah swt memerintahkan nabi untuk mengatakan, “Tuhanku lebih mengetahuinya.”
Kenyataan teks Al-Qur’an seperti ini kemudian membuat Khalafullah memahami bahwa al-haqq (benar dan kebenaran) dalam konteks kisah Al-Qur’an bukanlah terletak pada kebenaran kisah tersebut sebagai sebuah realitas historis. Namun terletak pada fungsi kisah tersebut secara kesusastraan, yakni mampu menjadi mediator bagi Al-Qur’an untuk menjelaskan pesan-pesan kebenaran yang dibawanya bagi seluruh manusia di dunia.
Terlepas dari perdebatan tentang konsep kisah Al-Qur’an sebagai realitas sejarah atau bukan, pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah telah memberi wawasan kepada kita bahwa ada yang lebih penting untuk diperhatikan dalam kisah Al-Qur’an, yakni peringatan dan pelajaran. Selain itu, fokus kisah Al-Qur’an bukanlah kronologis kisah itu sendiri yang acapkali kita perdebatkan berdasarkan sumber-sumber israiliyyat yang validitasnya perlu dipertanyakan. Wallahu a’lam.