BerandaTafsir TematikTafsir Surah Yasin ayat 69-70: Al-Quran Bukan Syair, Ini Penjelasannya

Tafsir Surah Yasin ayat 69-70: Al-Quran Bukan Syair, Ini Penjelasannya

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada tafsir surah yasin ayat 68 bahwa manusia tidak bisa mengelak dari kuasa Allah yang bernama “penuaan”. Kian hari umur manusia terus bertambah dan masa hidupnya pun berkurang. Tak ada tawar menawar terkait usia, semua sudah memiliki kadarnya masing-masing. Karena itu, waktu begitu berharga, menyia-nyiakan waktu, sama halnya hidup tiada berguna.

Adapun pembahasan kali ini tentang tafsir surah yasin ayat 69-70 membicarakan tentang kerasulan Muhammad bersamaan dengan al-Qur’an sebagai kitab suci yang diwahyukan kepadanya, sekaligus membantah anggapan bahwa al-Qur’an adalah syair yang dikarang oleh Muhammad Saw. Berikut firman Allah Swt. :

وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ

لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ

  1. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang jelas,
  2. agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah karangan nabi, ini tidak hanya ditujukan kepada kaum kafir ketika masa awal Islam, akan tetapi ber;aku hingga saat ini bahkan sampai hari akhir nanti.

Menurut Ibnu Asyur ada banyak penolakan kaum kafir atas al-Qur’an, diantaranya menganggap al-Qur’an adalah syair yang dibuat oleh Muhammad Saw. Anggapan ini dibantah lansung oleh Allah Swt dengan menantang mereka untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an (QS. 17: 88), atau sepuluh surah (QS. 11: 13), jikapun tidak bisa dan masih ragu bahwa al-Qur’an bukan karya nabi, Allah menantang cukup satu surah saja (QS. 2: 23, QS. 10: 37).

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Terkait ayat QS. 2: 23-24, Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya alasan mengapa Allah menantang demikian adalah, pertama tantangan tersebut bersifat continue, meski asbabun-nuzul ayat diera nabi, namun redaksinya berlaku hingga hari kiamat. Kedua, kaum kafir Quraish adalah afshoh al-umam (kaum yang paling fasih bahasa Arabnya), jika mereka tidak bisa, apalagi yang lain.

Ketiga, penegasan Allah pada ayat 24 bahwa seberapapun mereka berusaha dan saling membantu, hasilnya tetap sama “tidak bisa”. Ini bisa dilihat dari huruf lan لَنْ dalam diksi, fain lam taf’alu walan taf’alu (فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا), yang berfungsi untuk meniadakan usaha mereka secara mutlak.

Karena itu, anggapan kalau al-Qur’an adalah karya nabi hanyalah untuk menyudutkan Muhammad. Padahal beberapa ahli Syair dikalangan mereka seperti Anis (saudara Abu Dzar) dan ‘Utbah bin Rabi’ah ketika mendengar ayat al-Qur’an justru menilai kalau itu bukanlah syair. Sampai-sampai ‘Utbah selepas mendengar surah fushshilat, berkata: “Demi Allah, itu (al-Qur’an) bukanlah sya’ir, bukan pula mantra sihir, atau ucapan pendeta”.

Alasan ‘Utbah sampai berkata demikian menurut Zamakhsyari, karena sya’ir merupakan susunan kalimat yang bersifat ritmis lagi berbeda dengan al-Qur’an. Bahkan, beberapa penyair (syu’ara>’) mengatakan, sekalipun ada orang yang membuat susunan yang serupa dengan syair namun ia tidak bermaksud demikian, maka tidak bisa dinamai syair. Sebagaimana dikutip dalam tafsir al-Jami’ li ahkam al-Quran karya Qurthubi.

Umum diketahui bahwa bangsa Arab memang senang bersyair, bahkan mereka sampai hafal syair-syair yang disenandungkan dan siapa pembuatnya. Jika syair dinilai bagus, maka akan ditempel dipintu Ka’bah sebagai bentuk apresiasi.

Perlu diketahui bahwa ayat 69 dalam surah yasin ini hanya membantah tudingan kalau al-Qur’an adalah syair karya nabi, bukan untuk melarang bersyair. Kata wama ‘allamnahu (وَمَا عَلَّمْنٰهُ)  menurut mayoritas ulama tafsir menujukkan bahwa nabi tidak diajarkan untuk bersyair, juga tidak melarang untuk bersyair, sebagaimana pendapat Abu Ishaq dan Abu Nuhas yang dikutip oleh Qurthubi.

al-Khalil menyebutkan bawa Nabi sangat menyukai syair, namun tidak bisa membuatnya. Pernah suatu ketika, al-Hasan cucunya, mendengar nabi spontan menyenandungkan kalimat:

كفى با لاسلام و الشيبِ للمرءِ نَاهيا

“Cukuplah dengan Islam dan uban bagi seseorang sebagai pencegahnya (dari sesuatu yang buruk”

 Mendengar itu, Abu Bakar  tersenyum dan berkata,”Wahai Rasul, beginilah syairnya”:

هَريرَةَ وَدِّعْ اِنْ تَجَهَّزَتْ غَادِيًا

كَفَى الشَّيْبُ والْاِسلامُ نَاهِيًا

“Penyesalan akan menimpamu jika kamu tidak mempersiapkan untuk hari esok. Cukuplah uban dan Islam yang akan mencegahnya”

Syair tersebut merupakan respon nabi terhadap kebiasaan syair orang Arab yang jauh dari nilai kebaikan. Kandungan syair mereka cenderung bersifat negatif, seperti; cinta, kemolekan wanita, minum-minuman, hawa nafsur, harta, dan sebagainya.

Ini juga yang menurut Quraish menjadi alasan Allah tidak menjadikan nabi bisa bersyair. Ia menafsirkan kata yanbaghi (يَنْبَغِي), sebagai penegasan bahwa nabi tidak bisa bersyair karena bawaan dan perangai beliau berlainan dengan penyair dizamannya (sebagaimana disebutkan diatas).

Zuhaili dalam tafsir al-Munir, juga mencantumkan usaha nabi untuk membuat syair, sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah, nabi berucap:

سَتَبْديْ لَكَ الْأيَّام مَا كنْتَ جَاهِلاً

وَيَاْتيْكَ من لمْ تَزود بالأخبَار

Hari-hari (masa) akan menampakkan kepadamu banyak hal yang belum kamu ketahui. Dan seseorang akan mendatangimu untuk memberi kabar hal yang belum kamu persiapkan (untuk menyambutnya).”

Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Lagi-lagi Abu Bakar tersenyum dan berkata, “Wahai Nabi, itu bukanlah syair”. Nabi menjawab: “ Sungguh aku tidak bisa bersyair, dan Allah tidak memantaskannya untukku”.

Meski demikian, bukan berarti nabi tidak fasih, justru sebaliknya, Ibnu ‘Asyur menafsirkan kata al-mubin (pada akhir ayat) dengan fashohah wa balaghah yang berarti jelas dan tersampaikan, artinya nabi adalah manusia yang paling fasih dan juga mampu memahamkan. Baik ketika melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, ataupun ketika berinteraksi dengan manusia, beliau dapat memilih kata-kata yang tepat, indah dan mudah dipahami oleh mitra bicaranya.

Kaitan dengan ayat selanjutnya, menurut Thabari, kata liyundzira man kana hayya (لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا) menunjukkan bahwa nabi bertugas untuk memberi peringatan kepada mereka (orang kafir) yang masih mau membuka hatinya (sebagian menafsirkan fikirannya), tidak untuk mereka yang hatinya sudah mati. Sekaligus memastikan azab bagi orang-orang yang inkar.

Ini mengindikasikan bahwa tugas memberi peringatan atau menyampaikan kebenaran bukanlah perkara mudah. Ia membutuhkan sosok yang cakap dalam berdialetika, menyusun kata dan mempengaruhi lawan bicaranya. Kriteria yang demikian tentu ada dalam diri Muhammad Saw, tidak hanya sebagai utusan Tuhan, namun juga sebagai sosok pemimpin  untuk ummatnya.

Sekian kiranya tafsir surah yasin ayat 69-70. Nantikan series tafsir yasin selanjutnya. Wallahu a’lam.

Fahmi Azhar
Fahmi Azhar
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan aktif di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Jami‘ al-Baya fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad al-Ijiy

Mengenal Tafsir Jami‘ al-Bayan Karya Muhammad Al-Ijiy

0
Nama Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an dalam kajian tafsir di Indonesia memang tidak begitu atau bahkan tidak populer sama sekali. Hasil pencarian yang penulis...