Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Al-Quran

Konsep Sinonimitas (Taraduf)
Konsep Sinonimitas (Taraduf)

Konsep taraduf atau sinonimitas dalam Al-Qur’an merupakan bagian diskursus ulumul qur’an yang menarik untuk dikaji. Karena ini berkaitan dengan pemaknaan secara mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, terutama kata yang memiliki makna semantik serupa. Bisa dikatakan bahwa ilmu taraduf adalah salah satu kunci penting dalam memahami makna Al-Qur’an.

Kendati demikian, sebenarnya para ulama tidak memiliki definisi paten-yang disepakati mengenai konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an. Imam Sibawaih (w. 180 H), tokoh yang dianggap sebagai peletak konsep taraduf dalam ilmu bahasa, membagi konteks hubungan antara lafaz dan makna menjadi tiga macam, yakni: lafaz beragam yang memiliki beragam makna pula, satu lafaz yang memiliki beragam makna, dan beragam lafaz yang memiliki satu makna.

Menurut Muhammad Nuruddin dalam bukunya al-Taraduf fi al-Qur’an al-Karim, pembagian Imam Sibawaih tersebut kemudian berkembang menjadi konsep musytaraq lafzi dan mutaradif atau konsep sinonimitas.  Pada periode selanjutnya, konsep ini semakin berkembang dan mulai digunakan dalam studi Al-Qur’an. Misalnya, Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) mendefinisikan taraduf dengan beberapa kata yang memiliki makna serupa.

Baca Juga: Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi

Imam al-Suyuthi (w. 911 H) berpendapat bahwa mutaradif  ialah beberapa kata dengan satu arti, namun ia membatasi pada kelompok kata yang mempunyai batasan tertentu, seperti kata al-insan dengan al-basyar. Kedua kata ini mempunyai batasan dari segi zat dan sifatnya. Sedangkan bagi al-Jurjani (w. 392 H), mutaradif ialah setiap kata yang memiliki satu makna dan memiliki beberapa nama. Artinya, mutaradif merupakan antonim dari musytarak (Kitab al-Ta’rifat).

Dua Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Al-Qur’an

Kehadiran konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an menuai berbagai respons dari kalangan ulama, baik era klasik, pertengahan maupun kontemporer. Jika kita telusuri secara mendalam, maka setidaknya ada dua pandangan umum para ulama tentang konsep ini, yaitu: pandangan yang menetapkan adanya konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an dan pandangan yang menolak adanya konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an.

Secara teologis, kedua kelompok di atas memiliki argumentasi masing-masing. Bagi kalangan yang mendukung konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an, penggunaan banyak simbol untuk satu makna merupakan bagian dari kemukjizatan dan keindahan sastra Al-Qur’an. Sedangkan bagi kelompok lainnya, penggunaan banyak simbol untuk satu makna bertentangan dengan kemukjizatan Al-Qur’an. Karena tidak mungkin Allah menciptakan banyak simbol hanya untuk satu makna.

 Diantara tokoh yang mendukung adanya konsep sinonimitas dalam bahasa Arab adalah Ibnu Jinny (w. 392 H) dan gurunya Abu ‘Ali al-Farisy (w. 377 H). Menurut keduanya, dalam penggunaan sehari-hari jika setiap kata memiliki makna berbeda dengan lafaz lain, maka tidak mungkin mengungkapkan suatu hal dengan ungkapan selain lafaz yang seharusnya. Namun pada kenyataannya, suatu hal sering diungkapkan dengan banyak ungkapan sehingga mudah dipahami.

Untuk mendukung konsep sinonimitas, Ibnu Malik at-Tha’i al-Jayani (w. 672 H) pernah menghimpun kata-kata yang memiliki makna yang sama. Diantara contohnya adalah kata-kata yang merujuk pada makna qalīlun (sedikit), yaitu nazrun, ḥaqīrun, khasīsun, qalīlun, watḥun, tāfihun, yasīrun, syaqnun, naqidun, bakhsun, zamirun, jaḥidun, dan ṡamadun. Semua kata ini memiliki makna yang sama, yakni sedikit (Kitab al-Alfadz al-Mukhtalifah fi al-Ma’ani al-Mu’talifah).

Sedangkan tokoh yang menentang adanya konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an diantaranya adalah Ibnu al-A’raby (w. 231 H). Ia menyatakan bahwa setiap dua huruf diletakkan oleh orang Arab pada maknanya sendiri-sendiri, masing-masing dari kedunya mempunyai makna yang tidak ada pada yang lainnya, terkadang makna itu kita ketahui dan terkadang makna itu samar bagi kita. Namun tidak lazim bagi orang Arab tidak mengetahuinya.

Selanjutnya, Tsa’labi (w. 291 H) menyatakan – sebagaimana dikutip oleh al-Munajjad – bahwa semua yang disangka orang sinonim sesungguhnya itu berbeda yang dibedakan oleh sifat-sifatnya, seperti dalam kata al-insan dan kata al-basyar. Yang pertama adalah nama yang digambarkan pada sifat lupa atau sifat jinak dan senang, sedang yang kedua digambarkan bahwa ia memiliki kulit yang tampak jelas.

Pandangan inilah yang kemudian mempengaruhi mufasir-mufasir modern seperti Bint al-Syati’. Menurutnya – dalam al-I’jaz al-Bayan fi al-Qur’an jika ada dua lafaz yang digunakan untuk satu makna atau benda, niscaya masing-masing lafaz memiliki kekhususan dibandingkan yang lainnya. Sebab jika tidak demikian, maka lafaz yang lain itu sia-sia (kehadirannya tidak bermakna).

Baca Juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

Singkatnya, meskipun dua lafaz digunakan untuk menyebutkan suatu hal yang sama, namun sebenarnya keduanya memiliki karakteristik tersendiri. Pada aspek tertentu mungkin kedua lafaz tersebut memiliki beberapa aspek kesamaan, namun pada aspek yang lain keduanya tetap berbeda. Bisa dikatakan bahwa keduanya memiliki tingkat kesamaan tertentu dan memiliki tingkat perbedaan tertentu pula.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat antara ulama mengenai konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an bermuara pada cara memaknai sinonimitas itu sendiri. Jika sinonimitas diartikan sebagai kesamaan mutlak, maka yang benar adalah tidak ada sinonimitas. Namun jika yang dimaksud dari sinonim adalah kesamaan pada kadar tertentu (tidak sama seutuhnya), maka bisa dikatakan bahwa sinonimitas itu memang ada. Wallahu a’lam.