BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranMemahami Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Memahami Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Dalam kajian dasar rasm Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan Al-Zarqany dalam Manahil al-‘Irfan dan Al-Farmawy dalam Rasm al-Mushaf wa Naqthuhu, sedikitnya ada dua topik yang terjadi selisih pendapat tentang rasm yang dilematik. Pertama berkaitan dengan aspek tauqify, dimana sebagian ulama menganggap rasm ‘usmany sebagai sesuatu yang tauqify, taken for granted, dan yang lain menganggapnya sebagai kajian kebahasaan umum.

Kedua, topik yang berkaitan dengan hukum penerapan rasm. Yakni mereka yang sebelumnya sepakat menganggap rasm adalah tauqify, tidak kemudian sepakat pada keharusan penerapan rasm dalam penulisan Al-Qur’an. Hingga muncullah empat pendapat berbeda: wajib, jawaz, tafsil dan haram.

Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf

Selisih pendapat semacam ini sangat penting terkait dengan praktik yang tersaji di lapangan. Penulisan Al-Qur’an, baik secara tradisional maupun modern, dalam mushaf atau pun turats lainnya, nyatanya banyak yang tidak menerapkan aturan dasar yang ada, namun justru sebaliknya, menganut sistem penulisan Arab konvensional (baca: rasm imla’i).

Indonesia mungkin cukup diuntungkan dengan selisih pendapat ini. Bagaimana tidak? Kesadaran ber-rasm baru muncul setelah tahun 1983, pasca disusunnya Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (MASI). Buktinya, diskusi mengenai rasm terus meningkat seiring bertambahnya waktu. Sebelumnya, ia hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu saja.

Tak heran jika selisih pendapat ini menjadi payung hukum legal atas pemilihan model rasm. Sebuah maqalah menyebutkan, ikhtilaf al-a’immah rahmah (selisih pendapat para imam adalah rahmat). Sehingga, tidak jadi masalah mengikuti salah satu dari dua pendapat yang ada. Lagi pula, keduanya mu‘tabar karena ulama pengusungnya kredibel dan argumentatif sekelas Ibn Khaldun dan Abu Bakr al-Baqilany.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Namun demikian, sangat disayangkan apabila selamanya berpijak pada pendapat imla’iy dan tidak sedikit pun berusaha ‘naik kelas’, menuju ‘usmany. Mengapa demikian? Ada sekian banyak tulisan ulama yang menyebutkan keistimewaan yang dimiliki rasm ‘usmany. Namun, karena terbatasnya ruang, berikut penulis nukilkan beberapa diantaranya.

Rasm ‘usmany memiliki sejarah panjang yang terkait langsung dengan proses kodifikasi Al-Qur’an di setiap fasenya: Rasulullah Saw., Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Mengaplikasikannya dalam penulisan akan menumbuhkan ghirah (sentimen) yang lebih dalam beragama hingga terbentuk lah kedekatan emosional terhadap Al-Qur’an sebagai produk rasm ‘usmany.

Historisitas ini juga menjelaskan pentingnya ketersambungan sanad Al-Qur’an yang dimiliki setiap muslim. Rasm ‘usmany memiliki karakteristik yang berbeda dari imla’i. Banyak diantaranya yang justru berseberangan dengan penulisan semestinya. Oleh karenanya, tidak tepat jika mendasarkan Al-Qur’an pada tulisan, akan tetapi pada talaqqy (bertemu langsung kepada guru) dan musyafahah (dari mulut ke mulut).

Dua hal ini yang kini menjadi problem dalam proses pembelajaran Al-Qur’an. Banyak umat muslim yang mencukupkan pada tulisan Arab atau bahkan transliterasi latin. Alhasil, makhraj, sifat dan karakter hurufnya menjadi amburadul. Padahal sebuah hadis menyebutkan,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atas diriku, hendaklah ia mempersiapkan tempatnya di neraka!”  (HR. Bukhari)

Dan membaca Al-Qur’an tidak seperti yang diajarkan Rasulullah Saw., adalah dusta atas diri beliau.

Keistimewaan lain yang dimiliki rasm ‘usmany adalah relevansinya dengan masalah qira’ah. Qira’ah di sini bukan sekedar bacaan, melainkan sebuah cara yang dipilih oleh seorang imam dalam membaca Al-Qur’an, yang membedakannya dengan imam lain. Dalam Al-Qur’an dikenal setidaknya tujuh cara pembacaan, yang kesemuanya sedapat mungkin terakumulasi dalam satu narasi penulisan rasm ‘usmany.

Baca juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

Keistimewaan lain yang siginifikan dalam membedakannya dengan rasm imla’iy adalah rahasia di balik setiap huruf yang dituliskan. Ulama percaya bahwa inkonsistensi penulisan dalam rasm ‘usmany bukan sekedar variasi semata. Ia dimaksudkan karena suatu alasan yang tak seorang pun mampu menjangkaunya dengan nalar.

Inkonsistensi ini sebagaimana dapat dijumpai pada penulisan kata رَحْمَت, yang dituliskan dengan ta’ majrurah dalam tujuh tempat: QS. Al-Baqarah: 218, QS. Al-A‘raf: 56, QS. Hud: 73, QS. Maryam: 2, QS. Ar-Rum: 50, dan dua tempat di QS. Az-Zukhruf: 32.

Tapi apalah arti keistimewaan jika, sekali lagi, terjadi selisih pendapat di dalamnya. Mereka yang memilih imla’iy sudah barang tentu memiliki argumentasi dalam mendukung pilihannya, sekaligus counter terhadap argumentasi lawannya, ‘usmany, sebagaimana mereka yang memilih ‘usmany juga melakukan hal yang sama. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...