BerandaTafsir TematikPedoman dan Prinsip Utama dalam Al-Quran Bagi Seorang Hakim

Pedoman dan Prinsip Utama dalam Al-Quran Bagi Seorang Hakim

Hukum tidak pernah bisa dilepaskan dari sebuah tatanan pemerintahan, karena ia merupakan tonggak bagi keadilan dan ketertiban masyarakat. Sedang, demi tegaknya sebuah hukum diperlukan peran dari seorang hakim.

Seorang hakim yang adil tidak akan tebang pilih dalam menjalankan hukum, dan juga tidak akan membuat hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas dalam. Konsep hakim yang adil ini ternyata telah dijelaskan secara gamblang oleh Al-Quran, dengan memberikan rambu-rambu bagi para hakim dalam menjalankan hukum. Tulisan ini akan mengulas konsep tersebut dengan setidaknya menjabarkan tiga prinsip utama di dalamnya.

Berlaku Adil dan Tidak Mengikuti Hawa Nafsu

Prinsip pertama yang harus dilakukan oleh seorang hakim adalah berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsunya belaka. Prinsip ini disebutkan Al-Quran dalam surah Shad ayat 26:

إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَىٰ دَاوُۥدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ خَصْمَانِ بَغَىٰ بَعْضُنَا عَلَىٰ بَعْضٍ فَٱحْكُم بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَٱهْدِنَآ إِلَىٰ سَوَآءِ ٱلصِّرَٰطِ

“Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”

Baca Juga: Hukum Memperdengarkan Al-Quran Kepada Non Muslim: Tafsir Surat At-Taubah Ayat 6

Dalam Al-Wajiz karangan Wahbah Zuhayli dijelaskan bahwa ayat ini sebenarnya ditujukan kepada Nabi Daud yang kala itu bukan hanya sebagai raja, namun dipercaya rakyatnya untuk memutus perkara atau sebagai hakim. Turunnya ayat ini memberikan pengingat kepada Nabi Daud yang ternyata secara tidak sadar pernah berbuat tidak adil kepada salah seorang rakyatnya, lalu kemudian ia bertaubat dan kembali berlaku bijaksana. Zuhayli juga menafsirkan bahwa yang dimaksud lafadz “tunjukilah kami” dalam ayat ini bermakna agar tidak berlaku berat sebelah, dan  lafadz “jalan yang lurus” adalah adalah memberikan keputusan dengan jalan pertengahan.

Masih dalam konteks yang sama, yaitu dengan khitab Nabi Daud, Al-Quran juga menunjukkan pedoman bagi hakim agar tidak menuruti hawa nafsunya. Rambu-rambu tersebut bisa kita temukan dalam surah Shad ayat 26:

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلْنَٰكَ خَلِيفَةً فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Meskipun khitab pertama ayat ini adalah kepada Nabi Daud, namun hal ini juga menjadi pedoman bagi seorang hakim di masa sekarang. As-Syawi dalam tafsirnya, An-Nafahat Al-Makiyyah mengungkapkan bahwa ayat dalam mengatur siyasah atau pemerintahan tidak akan terlaksana kecuali dengan dengan mengetahui syariat dan mewujudkan yang hak. Seorang hakim tidak boleh mengikuti hawa nafsunya seperti memihak karena hubungan kerabat, teman, atau mengutamakan rasa suka dan benci kepada yang lain. Ayat ini juga mengancam dengan azab-Nya yang pedih bagi mereka yang yang memberikan putusan dengan hawa nafsunya semata.

Menjauhi Suap-Menyuap

Hal kedua yang benar-benar harus digarisbawahi untuk dihindari bagi seorang hakim adalah suap-menyuap sebagaimana dalam surah Al-Baqarah 188:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam ayat ini ditegaskan larangan memakan harta yang diperoleh dengan bathil, apalagi harta tersebut dibawa kepada hakim, atau yang biasa disebut perilaku suap-menyuap. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Adhim menjelaskan bahwa keputusan hakim tidak dapat merubah sedikitpun hukum sesuatu, dan juga tidak membuat sesuatu yang sebenarnya haram menjadi halal atau yang halal menjadi haram. Artinya meskipun sang hakim melakukan tindakan tersebut dan membelot dari hukum yang sebenarnya, tetap saja hukum Allah di akhirat tetap berlaku sesuai hukum yang aslinya benar.

Tidak Bertentangan dengan Hukum Agama

Prinsip ketiga yang diberikan Al-Quran untuk sang hakim, adalah mengambil keputusan apapun dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum agama. Prinsip ini bisa kita lihat dalam rangkaian surah Al-Maidah ayat 49-50:

وَأَنِ ٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَنۢ بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ . أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menceritakan asbabun nuzul ayat ini yang berkaitan dengan tindakan suap orang Yahudi Madinah kepada Nabi Muhammad. Kaum Yahudi tersebut mensyaratkan diri memeluk Islam jika mereka Rasulullah mau mengikuti hukum mereka yang keliru, yaitu memenangkan perkara mereka dengan cara yang salah. Namun, Rasulullah dengan sikap tegasnya menolak negosiasi mereka, karena buat apa memeluk Islam namun dengan cara yang salah. Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi mengungkapkan hikmah diturunkan ayat ini adalah bahwa Allah mengakui kebenaran sikap Rasulullah tersebut, tetap teguh pada rambu-rambu hukum agama.

Tindakan Rasulullah yang kemudian diperkuat Al-Quran, merupakan satu teladan dan uswah yang baik untuk para hakim di masa sekarang. Teguh pada hukum agama bukan berarti harus selalu dimaknai leksikal hukum Islam, karena hukum agama pada prinsipnya adalah jalbul mashalih wa dar’ul mafasid, yang seringkali dimaknai pakar fiqih kontemporer sebagai maqasidus syari’ah.  Oleh sebab itu, mau apapun sistem pemerintahannya, prinsip untuk tidak bertentangan dengan hukum agama harus selalu teguh dipegang oleh hakim yang adil. Wallahu a’lam.

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Peminat Literatur Islam Klasik dan Kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...