Pengaruh budaya Barat semakin meluas di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dalam menghadapi arus budaya tersebut, pelestarian budaya lokal menjadi sebuah tantangan yang krusial. Salah satu upaya pelestarian tersebut dapat dilakukan melalui penafsiran Alquran yang mengakar dalam budaya lokal.
Peran Penafsiran Alquran dalam Pelestarian Budaya Lokal di Indonesia
Penafsiran Alquran adalah bagian integral dari budaya Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Penafsiran Alquran ini tidak hanya menjadi sarana untuk memahami ajaran agama, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai lokal yang terkandung dalam budaya tersebut. Dalam konteks pelestarian budaya lokal, penafsiran Alquran dapat menjadi sebuah wadah yang sangat penting.
Tafsir Alquran berbahasa Jawa misalnya, sejak abad 19 hingga awal abad 21 para ulama memainkan peran penting dalam keberlangsungan penulisan tafsir berbahasa Jawa tersebut. (Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa Peneguhan Identitas, Ideologi, dan Politik, hlm. 143) Tradisi penulisan tafsir dengan Bahasa Jawa ini terdiri dari beberapa variasi aksara yang digunakan, seperti aksara pegon, latin, dan Jawa.
Baca juga: Islah Gusmian dan Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Jawa
Pada awal abad 19, muncul suatu tafsir yang menggunakan aksara pegon yaitu tafsir yang ditulis oleh Kiai Saleh Darat, Faid Ar-Rahman fi Turjumani Tafsir al-Kalam al-Malik Ad-Dayyan. Kemudian pada akhir abad 20, muncul tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil yang ditulis oleh K.H. Misbah Zainul Mustafa Bangilan dan tafsir al-Ibriz li Ma’rifati Tafsir al-Qur’an al-Aziz yang ditulis oleh K.H. Bisri Mustafa Rembang.
Selain tafsir dengan aksara pegon, tafsir dengan aksara latin dapat dijumpai dalam Tafsir Al-Qur’an Basa Jawi karya K.H. Muhammad Adnan, Tafsir Qur’an Hidajatur Rahman karya Moenawar Chalil, al-Huda Tafsir Qur’an Bahasa Jawi karya Bakri Syahid, dan Sekar Saei Kidung Rahayu, Sekar Sari Macapat Terjamahanipun Juz ‘Amma karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja.
Penggunaan Istilah Jawa dalam Penafsiran Alquran
Salah satu contoh nyata dari pelestarian budaya lokal melalui tradisi penafsiran Alquran adalah penggunaan bahasa dan konsep-konsep lokal dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran. Misalnya, dalam tradisi penafsiran yang berkembang di Jawa, seringkali terdapat penggunaan istilah-istilah Jawa dalam menjelaskan konsep-konsep agama.
Istilah-istilah jawa tersebut dapat berupa bentuk sapaan untuk menyebut Allah, ini menjadi simbolisasi penghormatan hubungan antara manusia dengan Allah. Istilah ini antara lain seperti Gusti, Pepundhen, Ngarsa Dalem, Pangeran, dan lainnya.
Sebagai contoh yakni penafsiran Bakri Syahid terhadap Surah Azzukhruf [43]: 88:
وَقِيْلِهٖ يٰرَبِّ اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ قَوْمٌ لَّا يُؤْمِنُوْنَۘ
“Lan Muhammad munjuk atur marang Pangerane: “Dhuh Pangeran kula! saestu kaum golongan kula punika boten sami pitados!” (Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Bahasa Jawi, hlm. 986)
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa pengaduan Nabi kepada Allah diungkapkan dalam bentuk tuturan krama. Dalam adat Jawa terdapat istilah unggah ungguh basa yang mengacu pada sopan santun atau tata krama dalam berbicara.
Istilah ini juga mencakup pemilihan kata yang sopan dan menghormati lawan bicara serta cara berkomunikasi yang lembut dan penuh hormat. Dalam konteks penafsiran di atas, Nabi Muhammad diposisikan sebagai seseorang yang berada di bawah komunikan (Allah), sehingga bahasa yang dipilih untuk menafsirkan ayat di atas adalah bahasa krama.
Pelestarian budaya lokal lainnya dalam penafsiran juga dapat dilihat dalam Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz ‘Amma karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja yang ditulis dengan model Macapat.
Macapat sendiri merupakan tembang yang biasa digunakan atau terdapat dalam kitab-kitab Jawa baru. Tembang Macapat adalah jenis puisi tradisional Jawa yang merupakan warisan budaya Indonesia. Selain populer di Jawa, tembang macapat juga ditemukan di daerah lain di Indonesia seperti Bali dan Sunda. (Haidar Zahra, Macapat: Tembang Jawa Indah Dan Kaya Makna, hlm. 3)
Salah satu contoh tembang macapat yang digunakan sebagai pembuka suatu surah dalam penafsiran dapat dilihat dalam Sekar Sari Kidung Rahayu. Bait pembuka ini ditulis secara beragam antara surah satu dengan yang lain. Biasanya, bait ini menjelaskan terkait surah yang hendak dibahas. Misalnya tembang terjemahan surah Annas. (Achmad Djuwahir Anomwidjadja, Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz ‘Amma, hlm. 3)
Baca juga: Menembangkan Al Quran: Manuskrip Macapat Tafsir Surah Al Fatihah dalam Aksara Jawa
Kanthi Manah ingkang tulus
Kawula sumedya ngaji
Nyinau isining Qur’an
Piwulang ingkang sejati
Gegebenganing manungsa
Mrih rahayu lahir-batin
Ayo Kanca padha melu
Wacanen Qur’an den titi
Pamacane ywa sembrana
Aja among angger muni
Mahraj tajwid den pratela
Supaya tumusing ati
Samengko wus wancinipun
Nyinau kanthi nastiti
Kejaba apal ing lisan
Maknane kudu mangeri
Dem pikir rinasa-rasa
Rumasuk sajroning ati
Surah An Naas yektosipun
Tumurun ing Makkah nagri
Ana enem ayatira
Tegese An Naas puniki
Basa Jawane manungsa
Ayo kanca den wiwiti
Bait satu hingga empat dari tembang tersebut menggambarkan tentang keikhlasan dalam mempelajari isi Alquran, kehati-hatian dalam membacanya, usaha untuk memahami maknanya, dan juga memberikan penjelasan singkat tentang surah Annas. Penjelasan tersebut meliputi asal turunnya surah, jumlah ayat di dalamnya, dan makna dari nama surah tersebut.
Menjaga Keberlanjutan Budaya Lokal melalui Penafsiran Alquran
Seluruh uraian di atas menggambarkan bahwa penafsiran Alquran tidak hanya memperkaya pemahaman terhadap Alquran, melainkan juga menjaga keberlanjutan budaya lokal. Sebagaimana contoh penafsiran di atas, bahwa Sekar Sari Kidung Rahayu merupakan sebuah karya ulama yang dapat membangun identitas budaya di Jawa, karena terdapat dua tradisi berbeda yang disatukan yakni tembang macapat sebagai seni budaya Jawa dan tafsir Alquran sebagai khazanah keilmuan Islam.
Selain itu, tafsir Alquran juga dapat menjadi sarana untuk menggali dan memahami nilai-nilai budaya lokal yang mungkin telah terlupakan atau terpinggirkan akibat pengaruh budaya Barat. Dengan cara ini, penafsiran Alquran dapat menjadi sebuah jembatan antara budaya lokal dan nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam.
Pelestarian budaya lokal melalui tradisi penafsiran Alquran bukanlah sebuah upaya untuk menutup diri dari pengaruh budaya lain, melainkan lebih sebagai sebuah langkah untuk menjaga keberagaman budaya dan memperkaya pemahaman terhadap Alquran itu sendiri. Dengan memahami dan menghargai nilai-nilai budaya lokal, kita juga turut menjaga keberagaman budaya di dunia ini.
Sebagai bangsa yang kaya akan budaya, Rakyat Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberagaman budaya ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melestarikan budaya lokal melalui penafsiran Alquran. Dengan demikian, kita dapat menjaga keberlanjutan budaya lokal tanpa harus mengorbankan nilai-nilai universal yang terkandung dalam agama Islam. Wallahu a’lam.