Salah seorang cendekiawan Muslim yang sangat produktif menorehkan penanya dalam melahirkan berbagai karya cemerlang adalah Buya Syafii, panggilan akrab Ahmad Syafii Ma’arif. Secara personal, saya agak terlambat membaca karya-karya pemikiran Buya Syafii. Jika karya-karya cendekiawan muslim lainya, seperti Cak Nur (Nurcholish madjid), Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Harun Nasution, Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat), Kuntowijoyo, bahkan Komaruddin Hidayat (untuk menyebut beberapa contoh) sudah mulai saya baca sejak sekitar tahun 1998, saya baru berkenalan dengan karya Buya Syafii pada tahun 2005. Karya beliau yang pertama kali bersentuhan dengan saya adalah Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman.
Setelah menyimak wacana-wacana bernas dalam Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman, saya mulai terpesona dengan Buya Syafii. Kemudian saya mendapatkan juga karya beliau yang sudah menjadi klasik: Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Dengan menikmati dua karya cemerlang tersebut, saya menemukan penguasaan Buya Syafii yang komprehensif terhadap khazanah tradisi keilmuan klasik sekaligus kekayaan intelektual era modern-kontemporer. Dalam kedua karya tersebut, baik khazanah tradisi keilmuan Islam klasik maupun kekayaan keilmuan era kontemporer disoroti oleh Buya Syafii secara apresiatif-objektif, sekaligus kritis-konstruktif.
Kemudian saya mulai memburu karya-karya beliau yang lain, seperti Membumikan Islam, Masa Depan Bangsa dalam Taruhan, Islam dan Politik Upaya Membingkai Peradaban, Menerobos Kemelut, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Alquran dan Realitas Umat, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan Kemanusiaan, Gilad Atzmon serta autobiografi intelektualnya: Titik-Titik Kisar di Perjalananku, untuk menyebut beberapa karya populer beliau.
Berikut ini, izinkan saya menayangkan sekilas beberapa gagasan cemerlang Buya Syafii secara fragmentaris, hanya serpihan-serpihan wacana secara acak.
Pertama, ide kemajuan umat Islam melalui harmonisasi antara iman dan ilmu, antara zikir dan fikir. Sebuah ayat yang sangat populer dalam Surat Al-Mujadalah ayat ke-11 dijadikan pijakan argumentasi oleh Buya Syafii:
… يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ …
“… Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu beberapa derajat …”
Menurut Buya Syafii, dalam ayat di atas hubungan antara iman dan ilmu demikian eratnya, ibarat saudara kembar, yang satu menopang dan merindukan yang lain. Umat Islam selama enam abad pertama (abad ke-7 sampai abad ke-12) sampai batas-batas yang jauh telah menerjemahkan spirit ayat itu disamping banyak ayat lain dengan substansi yang tidak berbeda ke dalam kekuatan-kekuatan sejarah.
Baca Juga: Mengenal Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Karya Syekh Abdul Fattah Al-Khalidi
Sehingga terciptalah sebuah tatanan kehidupan umat yang paling beradab, kreatif, dan maju di muka bumi. Iman merupakan fondasi ruhani sedangkan ilmulah yang membawa iman itu bergumul dengan realitas kongkret; bergumul dengan darah dan daging sejarah.
Iman tanpa ilmu dan aplikasinya berupa teknologi tidak akan mengubah wajah kenyataan. Sebaliknya ilmu tanpa iman dapat membawa peradaban menjadi kebiadaban, karena kerapuhan fondasi spiritual yang menopangnya, seperti yang diderita peradaban modern sekarang ini. Maka untuk menjaga sebuah ekuilibrium peradaban, ilmu jangan dipisahkan dengan iman dan iman jangan diceraikan dengan ilmu.
Untuk menciptakan pilar-pilar peradaban yang telah stabil, Alquran menawarkan kekuatan fikr dan zikr diintegrasikan secara mantap. Dalam perjalanan sejarah, dominasi zikr (kesadaran yang mendalam tentang kehadiran Tuhan) semata dengan mengeyampingkan fikr (penalaran) tidak banyak membawa kemajuan dalam peradaban manusia. Sebaliknya, pendewaan terhadap penalaran telah membawa sejarah manusia kepada satu situasi yang serba membosankan, ganas, dan kehilangan visi terhadap yang ultimate. Konsep Alquran tentang ummatan wasathan (umat penengah) adalah wujud konkret dari masyarakat yang diidamkan.
Tetapi untuk bergerak secara strategis menuju tujuan di atas, penyakit kurang atau tidak percaya diri yang menghinggapi umat Islam selama kurun yang panjang perlu secepatnya diatasi dengan merealisasikan diktum Alquran tentang perlunya pemantapan iman yang diiringi oleh pembentukan umat yang berilmu secara maksimal. Ilmu sudah pasti akan membuahkan teknologi sebagai kebutuhan yang tak terelakkan bagi kelangsungan hidup manusia. Namun sayangnya, sampai sebegitu jauh, kesadaran yang mendalam tentang masalah ini belum lagi merata di kalangan umat Islam. Oleh sebab itu, wawasan ilmu dan kemanusiaan yang serba terbatas perlu secepatnya diganti dengan wawasan mondial yang kreatif.
“Seorang muslim,” tulis Buya Syafii, “disamping menjadi warga negara secara sadar, ia pada waktu yang sama harus tampil sebagai warga dunia secara sadar pula. Bukankah umat Islam mengklaim, bahwa risalah Muhammad itu adalah sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta). Maka adalah sebuah kebodohan sejarah yang tidak dapat dimaafkan bila umat ini masih melanggengkan wawasan picik dan sempit sebagai manifestasi dari ketidaktahuannya tentang makna Alquran bagi peradaban manusia yang bermoral”.
Bagi Buya Syafii, Islam punya peluang sejarah yang sangat besar untuk menggerakkan kekuatan-kekuatan sejarah sambil mengarahkannya kepada tujuan yang jauh yang tidak terikat oleh kebisingan ruang dan waktu. Dengan syarat bila umatnya mampu membuka mata dan hatinya secara tajam dan menukik dalam mengamati dan membaca peta Tuhan dan peta manusia di awal millenium ketiga ini.
Kedua, umat Islam harus menciptakan fundamen ekonomi yang kuat dan established. Segala usaha kita dalam berbagai bidang kehidupan akan macet bila dasar ekonomi umat Islam lemah. Dalam hal ini, ada analisis menarik dari beliau. Menurut Buya Syafii, stressing point dalam Alquran tidak ada satu perintah pun agar umat Islam menerima zakat. Tetapi banyak sekali perintah agar umat Islam memberikan atau mengeluarkan zakat. Apa arti perintah semacam ini? Artinya adalah agar umat Islam menjadi umat yang suka dan mampu memberi, bukan umat yang suka menerima. Kalaupun terpaksa menerima, hal itu haruslah bersifat sementara.
“Islam memang agama yang pro-orang miskin,” tulis Buya Syafii, “tapi sebenarnya benci kepada kemiskinan. Kemiskinan adalah di antara penyakit sosial yang perlu dibasmi”.
Jadi, Alquran bila berada di tangan umat yang cerdas akan memberikan konsep-konsep kunci yang sangat mendasar untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan sepanjang zaman. Sebaliknya bila Alquran dipegang di tangan umat yang bodoh dan buta huruf, ia dapat menjadi beban bila bukan malapetaka sejarah. Alquran hanya mau berunding dengan manusia yang cerdas, jujur, dan berwawasan luas.
Lalu bagaimana jika Alquran tidak lagi dapat menyelesaikan pelbagai masalah umat Islam dan manusia pada umumnya? Dalam tilikan Buya Syafii, setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:
(1) Kita tidak jujur terhadap Kitab Suci ini, akibatnya solusi fundamental tentang masalah-masalah umat dan kemanusiaan sulit sekali ditemukan. Latar belakang sosio-politik dan kultural sering menjadi kendala untuk membiarkan Alquran berbicara tentang dirinya. Dengan kata lain, egoisme kultural dan subjektivisme sejarah sering ditempatkan lebih tinggi dari Alquran, disadari atau tidak disadari. Ini merupakan salah satu pangkal benang kusut itu.
(2) Pendekatan yang serba parsial dan ad hoc terhadap Kitab Suci ini telah melahirkan pandangan dunia yang sempit, jauh dari filosofi rahmatan lil ‘alamin. Padahal problem-problem umat Islam dan kemanusiaan dewasa ini tidak bisa lagi diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan quranik-parsialistik, melainkan harus melalui pendekatan quranik-holistik. Problem-problem aktual yang sedang muncul kepermukaan, jangan hanya disoroti dengan satu dua ayat secara parsial, tapi harus diteropong melalui keseluruhan spirit nilai-nilai universal Alquran di bawa misi besarnya sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Berhubungan dengan konsep kemajuan umat Islam ini, Buya Syafii juga mengingatkan kita semua agar dapat melakukan introspeksi diri secara internal atas segala kelemahan kita, jangan selalu disibukkan dengan menyalahkan pihak lain, siapa pun mereka. Siapapun di antara kita yang selalu sibuk menyalahkan pihak lain manakala kalah dalam perlombaan secara global, maka mereka itulah orang-orang yang tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh untuk menang.
“Sudah berulang kali kusampaikan agar umat Islam tidak hanya pandai mengarahkan telunjuknya kepada pihak lain, tetapi harus lebih sering telunjuk itu di hadapkan kepada diri sendiri. Tengok diri secara berani pada kaca kehidupan dan kemudian simpulkan apa yang salah pada diri kita: kalah berkepanjangan selama berabad-abad!. Tanpa perubahan sikap yang mendasar dalam masalah ini, masih akan panjang waktu yang diperlukan sampai umat Islam mau berkaca diri secara jujur, sungguh-sungguh, dan cerdas”, demikian peringatan Buya Syafii kepada kita semua.
Pada titik ini, saya merasakan sekali bagaimana pembacaan Buya Syafii terhadap Alquran bersifat substantif-idealistik, bukan lagi bersifat normatif-formalistik. Sebagai sebuah contoh lagi misalnya, ketika berbicara tentang Alquran yang selalu dipelihara oleh Allah (QS. Al-Hijr: 9), Buya Syafii mengakui bahwa pemeliharaan itu salah satunya telah dilakukan dengan tradisi hafalan Kitab Suci Alquran oleh para penghafalnya (huffazh). Sehingga selama lebih dari 14 abad berlalu, teks Alquran masih tetap terjaga seperti sedia kala.
Baca Juga: Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang
Tetapi pemaknaan kita tidak boleh hanya berhenti di situ. Pemaknaan kita harus melangkah lebih jauh. Ungkapan memelihara Alquran tidak boleh hanya berhenti sebatas pada kemurnian teks, tetapi juga pada kemampuan kita umat Islam untuk membawa pesan-pesannya turun ke bumi secara konkret.
Apalah artinya kita mampu menghafal ayat-ayat Alquran, tetapi tidak memahami dan menghayati pesan-pesan luhurnya? Apalah artinya kita menghafal Kitab Suci yang agung ini, tapi kita tidak mampu mengamalkannya demi kemajuan dan kejayaan umat Islam? Demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat Islam? Sebab kalau umat Islam hanya berhenti pada level hafalan, maka kita hanya memelihara Alquran secara normatif-tekstual, tanpa memberikan kontribusi secara objektif-faktual bagi umat Islam secara internal maupun umat manusia secara eksternal. Kalau inilah realitas umat Islam, sejatinya kita belum berperan secara maksimal dalam rangka turut berpartisipasi memelihara kitab suci Alquran.
Selamat jalan Buya, hari kepulangan-mu hari yang paling indah yang didambakan seluruh umat Islam. Semoga husnul khotimah. Semoga kami bisa meneladani secercah kearifan hidupmu.