BerandaTafsir Al QuranPembacaan Sufistik KH Misbah Mustafa pada Surah Al-Fatihah

Pembacaan Sufistik KH Misbah Mustafa pada Surah Al-Fatihah

Perkembangan penafsiran Al-Quran dari masa ke masa telah melahirkan beragam corak dan pendekatan oleh mufassir. Namun, sepanjang literatur khazanah Islam, corak penafsiran sufistik tergolong masih sangat langka. Di Indonesia, corak penafsiran sufi atau yang juga disebut dengan tafsir isyari ini masih sedikit ditemui. Meski begitu, hal ini bukan berarti tidak ada sama sekali. KH Misbah Mustafa adalah seorang mufassir nusantara yang menggunakan corak ini dalam menafsirkan Al-Quran. Surah Al-Fatihah menjadi salah satu korpus penafsiran KH Misbah Mustafa yang lekat dengan ciri khas sufistik tersebut.

Ada dua karya tafsir KH Misbah Mustafa yang kesemuanya ditulis dengan aksara pegon jawa, yaitu Al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dan Taj al-Muslimin min Kalami Rabb al-‘Alamin. Pada karya tafsirnya yang kedua yaitu Taj al-Muslimin, KH Misbah hanya menyelesaikannya hingga 4 juz, karena sebenarnya karya ini dimaksudkan melengkapi karya tafsirnya yang pertama yaitu Al-Iklil. Meski demikian, penafsirannya dalam surah Al-Fatihah pada dua karya tersebut memiliki esensi yang sama, mengandung nuansa sufistik dan filosofis.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Tafsir Semantik Surah Al-Fatihah dalam Taj al-Muslimin

Surah Al-fatihah sering ditafsirkan secara panjang lebar oleh mufassir. Selain disebut sebagai ummul kitab dan sab’ul matsani yang dbaca berulang-ulang ketika shalat, surah ini juga memiliki keistimewaan tersendiri. Hasan Bashri pernah menyampaikan sebuah kalimat tentang keistimewaan surah ini “Allah telah menaruh ilmu kitab-kitab terdahulu dalam Al-Quran, kemudian menaruh ilmu-ilmu Al-Quran di dalam surah Al-Fatihah, oleh karena itu, barang siapa yang mengetahui penafsiran surah ini, bagaikan mengetahui semua penafsiran semua kitab yang diwahyukan”.

Barangkali alasan inilah yang mendasari KH Misbah menafsirkan surah Al-fatihah dengan rinci yaitu menggunakan metode semantik-linguistik. Ia menafsirkan surah ini dengan memaknainya ayat per ayat secara berurutan, dan penjelasannya berangkat dari makna kata.

Pembacaan KH Misbah dalam Taj al-Muslimin terhadap surah ini diawali dengan menafsirkan ayat pertama yaitu kalimah بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. Mengenai persoalan basmalah ini KH Misbah mengutip ijtihad fiqih Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa seseorang tidak sah shalatnya jika tidak mengucapkan lafadz ini. Ini artinya ia sependapat bahwa basmalah memang termasuk salah satu dari elemen surah Al-Fatihah.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2: Mengulik Makna Hamdalah dan Mengamalkannya

Penafsiran selanjutnya adalah ayat kedua yaitu kalimah اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ. Pada ayat ini KH Misbah menyoroti kalimah اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ  yang berarti tidak ada yang berhak dipuji selain Allah. Secara gramatika bahasa Arab atau ilmu nahwu susunan mubtada’-khabar pada اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ  memiliki qashr, sehingga maknanya senada dengan kalimah لَا يَكُوْنُ الْحَمْدُ اِلَّا لِلّه yang berarti tidak ada yang berhak memiliki pujian kecuali Allah.

Pada ayat ketiga الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ KH Misbah menjelaskan perbedaan makna dua kata tersebut. الرَّحْمٰنِ ia maknai lebih umum yaitu makna Allah di dunia untuk seluruh makhluk, sedangkan الرَّحِيْمِۙ lebih khusus yaitu untuk umat Islam di akhirat kelak. Lalu ayat keempat مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ ia tafsirkan sebagai Raja yang memiliki kekuasaan atas hari akhirat kelak.

Kemudian, pada ayat اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ KH Misbah mengutip keterangan Abul Hasan Asy-Syadzili tentang perbedaan makna pelaksanaan ibadah. Pada afadz اِيَّاكَ نَعْبُدُ mengandung isyarat akan pelaksanaan syariat, sedang lafadz وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ memberikan isyarat pelaksanaan hakikat. Penafsiran secara semantik surah Al-Fatihah dalam Taj al-Muslimin akhirnya ditutup dengan penjelasan اِهْدِ pada ayat اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ yang dimaknai KH Misbah sebagai anugerah petunjuk dari Allah.

Nuansa Sufistik Penafsiran Surah Al-Fatihah dalam Tafsir Al-Iklil

Kedua karya tafsir KH Misbah Mustafa memang saling melengkapi. Jika pada tafsir Taj al-Muslimin KH Misbah lebih menekankan makna semantiknya, dalam tafsir Al-Iklil ia lebih menjabarkan makna sufistiknya. Dalam tafsir Al-Iklil, nuansa pembacaan sufistik sangat kentara di beberapa ayat, dan nampaknya penjelasan tersebut menjadi inti dari tafsir surah Al-Fatihah.

Pada ayat keempat surah Al-Fatihah, KH Misbah menjelaskan isyarat ibadah, selanjutnya ia menjelaskan tingkatan ibadah seorang hamba. Tingkat ibadah yang pertama adalah yang paling rendah, yaitu beribadah dengan mengharap pahala dan terhindar dari siksaan-Nya. Orang yang beribadah pada tingkat ini belum benar-benar ikhlas, karena ia beribadah dengan tujuan hanya menggugurkan kewajiban syariat.

Tingkat ibadah yang kedua adalah beribadah dengan tujuan agar ia menjadi orang yang mulia, orang yang terhormat, dan dekat dengan Allah. Pada tingkat menengah ini, orang yang beribadah memang tidak lagi bertujuan menggugurkan syariat, namun ia punya maksud tertentu, meskipun maksud tersebut tetap diperbolehkan secara syara’.

Kemudian tingkat ibadah yang tertinggi adalah ketika seseorang beribadah kepada Allah atas dasar kesadaran diri bahwa ia sebagai seorang hamba. Sebagai seorang hamba memang sudah selayaknya mengagungkan Sang Pencipta, memuji-Nya, dan mengakui kebesaran-Nya. Tingkat ini disebut tertinggi, karena seorang hamba telah ikhlas menunaikan ibadahnya, tanpa mengharap pahala ataupun maksud-maksud tertentu atas ibadah yang ia lakukan.

Baca juga: Mengenal Nama-nama Lain Surah Al-Fatihah dan Penjelasan Hadisnya

Penjelasan ayat ketiga ini juga berkaitan erat dengan ayat keenam surah Al-Fatihah. KH Misbah menuturkan bahwa dengan adanya anugerah petunjuk dari Allah, seseorang akan merasa mudah dan ringan menjalankan ibadah. Oleh karena itu, Allah mengajarkan kepada manusia untuk selalu meminta pertolongan perihal ini sebagaimana yang Ia ajarkan dalam kalam-kalam yang telah Ia diturunkan.

Dari paparan di atas jelas terlihat bahwa nuansa sufistik terasa begitu kuat dalam pembacaan KH Misbah terhadap surah Al-Fatihah. Penjelasan filosofi ibadah dalam surah Al-Fatihah erat kaitannya dalam shalat yang merupakan bentuk ritus ibadah. Surah Al-Fatihah ini wajib dibaca dalam setiap rakaat shalat. Ketika seseorang shalat benar-benar menghayati maknanya, maka bisa dipastikan bahwa ia telah menembah kepada Allah dalam tingkatan tertinggi. Penembahan tertinggi ini tentu nantinya bukan hanya berdampak baik pada hubungan vertikal dengan Allah saja melainkan hubungan horizontal dengan sesame manusia.

Wallahu a’lam.

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Peminat Literatur Islam Klasik dan Kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU