Artikel ini berusaha melakukan pembacaan ulang terhadap hadis larangan seorang istri puasa tanpa izin suami dengan perspektif tafsir mubadalah. Pembacaan ulang penting dilakukan, sebab selama ini banyak terjadi kesalahpahaman terkait hadis tersebut, mulai dari tema hingga maknanya. Selain itu, terdapat beberapa aspek subtansial yang kurang diperhatikan oleh pembaca hadis.
Secara sederhana, tafsir mubadalah adalah metode membaca teks untuk menggali makna yang menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subyek yang setara. Makna kebaikan atau keburukan darinya diusahakan dan dirasakan bersama oleh perempuan dan laki-laki. Untuk mendapatkan gambaran lebih kompleks, silakan baca tulisan Ayu Alfiah berikut ini (klik).
Hadis larangan seorang istri puasa tanpa izin suami
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis yang diambil dari Abu Hurairah dalam kitab Sahih mereka. Hadis tersebut berbunyi:
لاَ تَصُومُ المَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita (istri) berpuasa padahal suaminya sedang ada (di rumah), kecuali dengan seizinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Jika dibaca sekilas – terutama tanpa pengetahuan konteks hadis – maka hadis di atas dipahami bahwa perempuan wajib izin terlebih dulu kepada suaminya jika ingin berpuasa, baik puasa wajib maupun sunah. Tetapi, salah satu cendekiawan muslim, yakni Zakaria Ouzon, menolak hadis tersebut dengan alasan tidak mungkin nabi Muhammad memperlakukan perempuan sedemikian rupa.
Pemahaman Zakaria Ouzon tersebut dikritik oleh Taufik Kurahman dalam tulisannya, “Membincang Hadis Larangan Seorang Istri Berpuasa Tanpa Izin Suaminya.” Menurutnya Ouzun seharusnya melihat secara saksama bahwa Imam Bukhari memasukkan hadis tersebut ke dalam bab shaum al-mar’ah bi idzni zaujihā tathawwu`an (bab puasa sunah seorang istri dengan izin suaminya).
Artinya, puasa yang mengharuskan seorang istri meminta izin kepada suami adalah puasa sunah, bukan puasa wajib seperti Puasa Ramadan. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa hadis ini menundukkan perempuan di bawah kaki laki-laki. Sebab, pada hakikatnya suami istri terjalin dalam satu ikatan rumah tangga di mana keduanya memiliki hak dan tanggung jawab.
Baca juga: Respon Al-Qur’an Terhadap Toxic Masculinity dalam Berumah Tangga
Hal ini didasari oleh Imam Nawawi dan dijelaskan dalam kitabnya al-Minhāj: Syarh Shahīh Muslim. Di sana ia memaparkan bahwa seorang istri dilarang berpuasa sunah tanpa izin suaminya karena seorang suami punya hak untuk bersenang-senang dengan istrinya dan hak ini bersifat wajib. Jika sang istri puasa sunah tanpa seizin suami, otomatis kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi.
Berdasarkan hadis di atas, mayoritas ulama fikih berpendapat – termasuk Imam Syafi’i – bahwa seorang istri harus meminta izin kepada suaminya ketika ingin puasa sunah. Adapun puasa seperti puasa Ramadhan bisa dilaksanakan meskipun tanpa meminta izin, karena hak Allah di atas hak suami (al-Minhāj: Syarh Shahīh Muslim [7], 115).
Berkenaan dengan puasa yang mengharus seorang istri izin kepada suami, Imam Ibnu Hajar mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di Bulan Ramadan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami.” (Fath al-Bari [9], 295).
Meskipun Imam Bukhari memasukkan hadis tersebut ke sub bab puasa sunah, namun mayoritas ulama fikih tetap memberlakukannya dalam puasa wajib yang masih bisa ditunda sebagaimana disampaikan Ibnu Hajar dan Imam Nawawi. Keduanya berpandangan bahwa selama puasa wajib masih memiliki kelonggaran waktu, maka istri tetap harus meminta izin kepada suami.
Baca juga: Para Suami Wajib Memperlakukan Istri Dengan Baik
Bagaimana jika seorang istri berpuasa (selain Puasa Ramadan) tanpa izin suami? Jawabannya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman atau makruh tahrim menurut ulama Hanafiah. Namun ada catatan menarik dari ulama Syafi’iyah, yakni perempuan boleh puasa tanpa izin jika puasa tersebut memiliki hari tertentu seperti puasa Arafah selama suaminya tidak melarang (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah).
Salah seorang cendekiawan muslim kontemporer bernama Marwan al-Kurdi sedikit longgar dalam menganggapi hadis di atas. Baginya, ada dua syarat yang mengharuskan seorang istri mendapatkan izin dari suaminya untuk berpuasa, yaitu 1) puasanya sunah (tidak wajib) dan 2) suami berada di rumah namun dia tidak sedang memiliki hajat terhadap sang istri.
Marwan al-Kurdi berpandangan lebih longgar karena – menurutnya – asbab al-wurud hadis tersebut mengindikasikan pada masa Nabi Muhammad saw. banyak perempuan yang berlebihan dalam beribadah, sehingga cenderung mengabaikan suaminya. Karena alasan itulah, Rasulullah memperingatkan agar suami-istri harus dapat menjaga hubungan rumah tangga mereka agar tetap harmonis.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan dua macam puasa yang mengharuskan seorang istri izin kepada suami, yakni: Pertama, puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis); Kedua, puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contohnya adalah qada puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadan berikutnya.
Apakah hanya istri yang harus izin kepada suami saat berpuasa?
Sebagaimana yang tertuang pada penjelasan sebelumnya, mayoritas ulama fikih fokus kepada subyek perempuan. Ini mungkin disebabkan karena hadis larangan seorang istri puasa tanpa izin suami secara tekstual berbicara tentang larangan bagi istri, bukan bagi suami. Pertanyaannya, apakah suami boleh puasa, baik puasa sunah maupun wajib, tanpa seizin istrinya? Mari kita resapi secara saksama deskripsi berikut ini.
Kalau merujuk kepada Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, salah satu hikmah larangan seorang perempuan puasa tanpa izin suami adalah pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunah, karena itu adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunah. (Fath al-Bari, 9/296).
Imam al-Nawawi menyampaikan pandangan serupa, “sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (seperti dengan bersetubuh) bersama pasangannya setiap hari. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab dia melakukan puasa sunah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (al-Minhāj: Syarh Shahīh Muslim 7/115).
Baca juga: Qiraah Mubadalah: Pembacaan Nash Berbasis Keadilan Gender
Dua pandangan di atas memberikan pemahaman bahwa larangan istri berpuasa tanpa izin suami disebabkan karena kemungkinan adanya ketidakmampuan penuaian hak. Dalam konteks ini adalah hak suami bersenang-senang dengan istrinya Pertanyaan selanjutnya, apakah suami juga memiliki kewajiban untuk melayani istrinya, khususnya dalam kebutuhan seksual?
Berkenaan ini, ulama fikih sepakat bahwa suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, meskipun mereka berbeda pendapat terkait ukurannya (lihat Fiqh al-Sunnah). Di antara nafkah lahir yang wajib suami penuhi kepada istri adalah kebutuhan biologis (jima’). Artinya, suami ataupun istri sama-sama memiliki kewajiban terkait hubungan seksual.
Dengan demikian, melayani istri juga sebuah kewajiban. Merujuk pada Imam Nawawi dan Ibnu Hajar, bukankah kewajiban sebaiknya diutamakan di atas ibadah yang bersifat sunah seperti puasa sunah? Jadi, pertanyaannya apakah suami boleh berpuasa tanpa izin istri sebagai pasangan yang memiliki hak dan kewajiban terhadapnya? Silakan pembaca simpulkan sendiri. Wallahu a’lam.