BerandaTafsir TematikPembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an – bagi umat Islam – adalah kitab suci yang mengatur berbagai seluk beluk kehidupan manusia, mulai dari ketentuan yang bersifat personal hingga yang bersifat komunal. Salah satu permasalahan yang diatur Al-Qur’an ialah tata cara pembagian waris. Kita akan menemukan ada banyak ayat yang berbicara mengenai hal tersebut. Ayat-ayat inilah yang kemudian menjadi objek pembahasan dalam diskursus fikih mengenai pembagian warisan atau sering disebut ilmu faraid.

Ilmu faraid adalah ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak mendapat waris, siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris. Pokok bahasan ilmu faraid ialah pembagian warisan yang ditinggalkan seseorang (wafat) kepada mereka yang berhak mendapatkannya serta memproses perhitungan jumlahnya agar diketahui berapa bagian masing-masing berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan hadis (Fath al-Mu’in).

Dengan demikian, ilmu faraid mengatur bagaimana distribusi harta orang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris yang berkah. Dalam hal ini, syariat Islam – melalui Al-Qur’an – telah menetapkan ketentuan pembagian warisan secara rincis, sistematis, teratur dan penuh dengan nilai-nilai keadilan. Di dalamnya terdapat hak-hak kepemilikan bagi setiap pihak yang terkait, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam Al-Qur’an, ada tiga ungkapan kata yang merujuk kepada makna warisan, yakni al-irs, al-faraid,  dan tirkah. Masing-masing kata ini diugunakan untuk menjelaskan pengertian yang berbeda. Pertama, al-irs merupakan bentu masdar dari kata warisa-yarisu-irsan yang memiliki makna dasar perpindahan kepemilikan harta atau perpindahan pusaka. Kata ini jua semakna dengan miras, turas, dan tirkah yang berarti warisan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat

Kedua, faraid adalah bentuk jamak dari kata al-faridah yang bermakna al-mafrudah, yakni sesuatu yang diwajibkan (Fath al-Qarib). Kata faridah sendiri berasal dari farada yang berarti ketetapan atau ketentuan (takdir) Allah swt. Kata ini dan derivasinya disebutkan sebanyak 18 kali dalam Al-Qur’an; 8 kali dalam bentuk fi’il madhi, 1 kali dalam bentuk fi’il mudhari’, dan 9 kali dalam bentuk masdar (Ensiklopedi Hukum Islam).

Ketiga, tirkah berasal dari bahasa Arab taraka yang berarti meninggalkan atau ditinggalkan. Kata ini disebutkan Al-Qur’an dalam surah an-Nisa’ [4] ayat 7, 11, 12, 33 dan 176. Kata taraka pada ayat-ayat tersebut merujuk pada harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang bagi ahli warisnya. Biasanya, harta warisan berupa benda atau sesuatu yang memiliki nilai kebendaan seperti emas, tanah, rumah, dan uang (Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata).

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa konsep warisan terdiri dari tiga macam, yakni al-irs, al-faraid,  dan tirkah. Istilah pertama merujuk sebab terjadinya warisan dengan unsur utamanya adalah perkawinan, hubungan nasab hubungan wala’. Istilah kedua merujuk pada format saham yang akan diterima ahli waris. Dan istilah ketiga merujuk pada kewajiban yang harus ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris (Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Tafsir Tematik).

Surah an-Nisa [4] Ayat 11: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai pembagian warisan bagi anak dan orang tua adalah surah an-Nisa [4] ayat 11 yang berbunyi:

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ١١

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. an-Nisa [4] ayat 11).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan rincian ketetapan Allah swt terkait pembagian warisan bagi anak, baik perempuan maupun laki-laki, dewasa maupun belia. Diterangkan bahwa bagian seorang anak laki-laki, kalau bersamanya ada anak perempuan, dan tidak ada sesuatu yang membuatnya terhalang dari pewarisan seperti beda agama, maka ia berhak mendapatkan harta warisan sebanyak sama dengan bagian dua orang anak perempuan.

Apabila anak laki-laki hanya berdua dengan saudara perempuannya, maka dia mendapatkan dua pertiga dan saudara perempuannya mendapatkan sepertiga. Jika anak yang ditinggalkan semuanya perempuan lebih dari dua dan tidak ada anak lak-laki, maka bagi mereka dua pertiga dari harta warisan yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang diri, tidak ada ahli waris lain bersamanya, maka ia memperoleh setengah dari harta warisan itu (Tafsir al-Misbah [2]: 361).

Pandangan serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, surah an-Nisa [4] ayat 11 merupakan wasiat Allah swt kepada kedua orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya tentang ketakwaan dan bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian harta warisan sebanyak dua bagian anak perempuan jika tidak ada pewaris lain selain dirinya.

Menurut sebagian ulama, perbedaan porsi dalam pembagian harta warisan ini antara laki-laki dan perempuan memiliki alasan tertentu, yakni karena secara umum tanggung jawab anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, seperti menafkahi dirinya, anak-anaknya, istrinya, dan kerabat yang berada di bawah tanggungannya. Sedangkan anak perempuan dalam konteks jazirah Arab tidak memiliki tanggung jawab atau kewajiban sedemikian rupa.

Lantas apakah pembagian harta warisan tidak adil bagi perempuan dan Al-Qur’an bias gender? Jawabannya tidak. Pada faktanya Islam – melalui Al-Qur’an –menegaskan posisi tinggi perempuan. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam  Tafsir al-Washit menerangkan bahwa sesungguhnya agama Islam telah memuliakan hak perempuan, yaitu dengan memberinya bagian dalam kewarisan. Padahal, pada masa Jahiliyah, perempuan sama sekali tidak mendapatkan hak waris.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya

Kemudian, surah an-Nisa [4] ayat 11 menjelaskan pembagian warisan bagi orang tua atau ibu bapak anak yang meninggal, yakni sebanyak seperenam dari harta yang ditinggalkan jika ia mempunyai anak. Jika orang terebut tidak memiliki anak dan hanya diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya mendapatkan sepertiga dan selebihnya untuk si ayah. Namun, jika ia memiliki saudara, seibu-sebapak atau hanya salah satunya, dan tidak memiliki anak, maka si ibu mendapatkan seperenam dan si ayah mendapatkan sisanya.

Pembagian-pembagian ini dilaksanakan sesudah wasiat yang ditinggalkan almarhum atau almarhumah terpenuhi dan segala hutang-piutangnya telah dilunasi. Pada bagian akhir surah an-Nisa [4] ayat 11 ditegaskan bahwa ini semua merupakan ketetapan dari Allah swt. ini memiliki makna implisit keharusan melaksanakan pembagian berdasarkan ketentuan terebut, karena Allah swt Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana terhadap kehidupan hamba-Nya. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...