Islam merupakan ajaran hak yang membawa kemaslahatan kepada manusia. Dalam mewujudkan kemaslahatan tersebut, Islam tidak bersikap netral, namun ia berpihak kepada kaum dhu’afa (lemah) dan mustadh’afin (yang dilemahkan). Tujuannya jelas, karena dalam realitas sejarah, pihak-pihak tersebut sering terpinggirkan oleh penguasa, mereka yang kuat, dan yang memegang sistem kendali masyarakat. Dan kehadiran Islam adalah untuk memberikan keadilan kepada tatanan masyarakat dengan cara membela para dhu’afa dan mustadh’afin tersebut. Pembelaan Islam kepada mereka sangat kentara sekali dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang menyebut mereka secara literal maupun dalam spiritnya yang tersirat. Tulisan di bawah ini akan mengulas pembelaan Al-Quran terhadap mereka, dengan penjelasan tafsir maupun anasir ayat-ayat yang bersifat gamblang.
Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah
Perintah Al-Quran untuk Membela Dhu’afa dan Mustadh’afin
Dhu’afa dan mustadh’afin sebenarnya memiliki akar kata yang sama yaitu berasal dari kata dha’if yang berarti lemah. Dhu’afa sendiri berkedudukan sebagai isim jamak dari dha’if, sedangkan mustadh’afin menempati posisi sebagai maf’ul dari kata dasar istadh’afa. Sehingga secara etimologi, makna dhu’afa adalah orang-orang yang lemah, sedangkan mustadh’afin adalah orang-orang yang dilemahkan.
Ar-Raghib Al-Isfahani dalam Al-Mufrodat Alfaadh Al-Qur’an mengklasifikan dha’if di dalam Al-Quran menjadi tiga kelompok. Pertama, dha’if fi jism yaitu mereka yang lemah secara fisik. Kedua, dha’if fil aqli, yaitu mereka yang lemah secara intelektual. Kemudian yang terakhir dha’if fil hali yakni mereka yang lemah dalam keadaan sosial dan ekonomi.
Ayat-ayat yang mencatut pembelaan terhadap dhu’afa dan mustadh’afin di dalam Al-Quran cukup banyak, terdapat dalam 13 ayat dalam 5 surat. Ayat-ayat tersebut, ditekankan secara gamblang karena menyebut langsung dengan lafadz mustadh’afin, salah satunya dalam surah An-Nisa’ ayat 75:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِي سَبيْلِ اللهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْرِّجَالِ وَالْنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مٍنْ هَذِه الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لّدُنْكَ نَصِيْراً
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”.
Menurut penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah ayat di atas menyiratkan semangat kaum muslim untuk tampil berjuang membela kebenaran yaitu membela mereka yang lemah. Penggunaan gaya pertanyaan yang mengandung kecaman sekaligus penafian menyiratkan arti penegasan terhadap kalimat tersebut.
Ayat tersebut menurut Quraish Shihab menggaris bawahi kewajiban berjuang membela mereka yang lemah dan tertindas. Ayat ini juga mengisarkan makna pembelaan dhu’afa dan mustadh’afin terhadap saudara yang pernah berlokasi sama atau dalam konteks sekarang saudara setanah air.
Baca juga: Konsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55
Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan turut memberikan komentar terhadap ayat ini bahwasannya dalam diri manusia memang terdapat dorongan untuk membela apa yang diagungkan dan dihormati, seperti sanak family, kehormatan, tempat tinggal dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan fitrah manusia, hanya saja pembelaan tersebut menjadi terpuji apabila tidak bertentangan dengan kebenaran.
Islam datang memelihara fitrah itu dengan terlebih dahulu menyebutkan rinciannya, kemudian membimbing seluruhnya ke arah Allah SWT dan mengalihkan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Sehingga pada akhirnya semua dimasukkan ke dalam satu wadah yaitu tauhid. Berangkat dari titik tolak ini Allah menganjurkan manusia untuk membela kelompok, keluarga, dan keturunannya, serta semua hak yang dimilikinya dengan mengembalikan semua itu ke sisi Allah.
Anasir Ayat-Ayat Dhu’afa dan Mustadh’afin dalam Al-Quran
Penafsiran secara konteks baku perihal yang dimaksud mustadh’afin adalah orang-orang yang dibuang oleh orang kafir Mekah yang sangat kuat sebagaimana yang dipaparkan oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghayb. Namun, jika definisi dhu’afa dan mustadh’afin diperluas, maka pada era hari ini yang termasuk dalam istilah kata tersebut adalah mereka yang lemah, teraniaya, tertindas, dan yang dilemahkan oleh sistem.
Dalam Al-Quran, pihak lemah dan yang dilemahkan ini juga tidak hanya terbatas pada satu konteks, namun banyak. Adakalanya berasal dari konteks ekonomi, sosial, kemerdekaan, fisik, dan lain-lain. Jika dirinci secara global, dhu’afa dan mustadh’afin ini dalam Al-Quran disebutkan secara eksplisit pada sepuluh kelompok.
Pertama, mereka adalah anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil (musafir), orang yang meminta-minta, serta hamba sahaya sebagaimana tersebut dalam surah Al-Ma’un ayat 2-4. Kedua, tuna netra, cacat fisik, dan orang sakit sebagaimana disebut dalam surah An-Nur ayat 61. Ketiga, manusia lanjut usia sebagaimana tersebut dalam surah Al-Isra ayat 23. Keempat, janda miskin sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 240. Kelima, para tahanan atau tawanan yang tertera pada surah Al-Insan ayat 8.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Kehalalan Bangkai Ikan
Keenam, mereka yang baru memeluk Islam atu muallaf, orang-orang yang memiliki hutang (gharim), serta orang yang berjuang di jalan Allah (fi Sabilillah) sebagaimana yang dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 60. Ketujuh, mereka para karyawan, buruh, atau pekerja kasar yang disebut oleh surah At-Thalaq ayat 6.
Kedelapan, disebut dalam surah Al-Kahfi ayat 79 yaitu para nelayan. Kesembilan, para rakyat kecil yang tertindasa dan teraniaya sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa’ ayat 75. Kesepuluh, para bayi dan anak-anak kecil sebagaimana yang disebutkan dalam smurah Al-An’am ayat 140.
Selain kesepuluh kelompok yang telah dijelaskan di atas, Al-Quran sebenarnya juga cukup banyak memberikan isyarat pembelaan terhadap mustadh’afin meskipun tidak menyebutkan kata dasarnya langsung. Namun, spirit Al-Quran mengenai hal tersebut begitu jelas, karena memang Al-Quran memang menginginkan keadilan bagi setiap lapisan masyarakat, sebagaimana ajaran Islam yang memiliki prinsip rahmatan lil’alamin. Wallahu a’lam.