BerandaUlumul QuranTafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah

Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah

Melanjutkan tema kajian pada tulisan sebelumnya, kali ini “Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah” akan coba dibedah dan dipaparkan dalam edisi kali ini. Sebelum masuk ke dalam pembahasan utama, perlu diketahui bahwa madrasah tafsir ini dipimpin oleh Sahabat utama yang oleh riwayat Masruq dikatakan sebagai salah satu dari enam sahabat yang memiliki otoritas dalam memberikan fatwa dan fakta menariknya bahwa setengah dari enam sahabat tersebut merupakan orang Kufah.

Pengaruh Ibn Mas’ud sebagai seorang Sahabat yang memiliki otoritas hukum terhadap madrasah tafsir yang dipimpinnya begitu besar. Maka madrasah tafsir Kufah begitu dikenal sebagai salah satu madrasah yang sangat menaruh perhatian pada kajian al-ahkam al-Qur’aniyah dalam penafsirannya.

Selain itu ada beberapa poin lainnya yang mewarnai kekhasan kajian Qur’an madrasah tafsir Kufah, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad ibn Abdullah ibn ‘Ali al-Khudhairi dalam karyanya Tafsir al-Tabi’in antara lain: 1) Menaruh perhatian pada penafsiran ayat-ayat ahkam; 2) Memungsikan Qira’at sebagai alat bantu penafsiran; 3) Bersikap hati-hati serta wara’ dalam aktivitas penafsiran; 4) Fanatik pada riwayat yang berasal dari Ibn Mas’ud; 5) Sedikitnya penggunaan israilliyah dalam tafsir.

Menaruh Perhatian Pada Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam

Sebagaimana telah diuraikan sedikit sebelumnya, bahwa salah satu ciri khas kajian madrasah tafsir Kufah adalah perhatiannya yang tinggi pada persoalan Fiqh. Sufyan ibn Uyainah sebagai salah satu pemuka Tabi’ al-Tabi’in di Mekkah menilai bahwa umat Islam pada saat itu sangat dianjurkan mengambil rujukan soal persoalan Fiqh pada pemikiran-pemikiran ahl al-Kufah.

Baca Juga: Ijtihad Tabiin dan Kontribusinya terhadap Tafsir bi al-Ma’tsur

Madrasah tafsir Kufah juga dikenal dengan julukan Madrasah al-Ra’y. Julukan itu disematkan sebab madrasah yang satu ini selain memiliki spesialisasi di bidang Fiqh, juga banyak mempergunakan analisa logis (logical analyze) dalam struktur metodologi yang mereka gunakan.

Namun perlu diketahui bahwa penggunaan logika dalam penyampaian hukum-hukum dalam Qur’an tidak mereka lakukan semena-mena atau seenaknya. Alasan utama para Tabi’in di Kufah banyak menggunakan analisa logis dalam menjawab persoalan maupun menganalisis hukum-hukum dalam al-Qur’an ialah sedikitnya riwayat yang mereka terima dan sahkan kevalidannya. Hal itu disebabkan adanya konflik politik yang terjadi antara Sunni dan Syi’ah sehingga terjadi banyak pemalsuan hadis.

Selain itu, secara geografis dan demografis terdapat perbedaan antara Iraq dan Hijaz, di mana Iraq merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Persia. Hal itu memberikan dampak pada banyak persoalan masyarakat yang tidak ditemui di wilayah Hijaz dan menuntut adanya argumentasi syar’i dalam menjawabnya. Maka para Salaf di Kufah dihadapkan pada kondisi genting yang mendesak mereka untuk melakukan ijtihad demi menjawab tuntutan sosial yang terjadi saat itu.

Memungsikan Qira’at Sebagai Alat Bantu Penafsiran

Qira’at mendapatkan tempat khusus dalam metodologi penafsiran para punggawa madrasah tafsir Kufah. Maka tidak mengherankan apabila Imam al-Suyuthi dalam al-Itqan menyatakan bahwa jumlah Qura’ atau ahli Qira’at di Kufah lebih banyak dari pada di daerah-daerah lainnya. Hal itu bahkan bisa dibuktikan dari tujuh Imam Qira’at yang menjadi rujukan utama bahwa tiga di antara mereka merupakan orang Kufah yaitu Imam ‘Ashim, Imam Hamzah dan Imam Kisa’i.

Bahkan riwayat Qira’at yang berasal dari guru mereka, Ibn Mas’ud banyak dijadikan rujukan dalam menentukan hukum fiqh pada ayat-ayat ahkam. Maka berdasarkan hal tersebut, mungkin saja yang dimaksud dengan penggunaan ra’yu yang dominan sebenarnya dinisbahkan pada penggunaan alat bantu selain riwayat hadis dalam penafsiran. Sebab di masa Salaf, Fiqh juga disepadankan maknanya dengan ra’yu begitu sebaliknya.

Bersikap Hati-Hati Dalam Aktivitas Penafsiran

Sebagai madrasah yang terkenal dengan perhatiannya yang besar pada penafsiran ayat-ayat ahkam, ternyata madrasah Kufah juga terkenal sebagai madrasah yang minim dalam memproduksi penafsiran. Dalam penafsiran ayat-ayat selain ayat ahkam yang memang dibutuhkan secara langsung oleh masyarakat dalam praktik kehidupan, para punggawa madrasah tafsir Kufah terlihat kurang bergairah untuk menggelutinya.

Mereka memilih untuk mengikuti pendapat yang lebih otoritatif dalam penafsiran ayat-ayat selain ayat ahkam. Belum lagi adanya problem di mana para pemuka di madrasah tersebut cenderung sangat berhati-hati dalam menerima adanya penafsiran-penafsiran baru yang dihasilkan oleh inisiasi para Tabi’in muda.

Para tetua madrasah ini berargumen bahwa penafsiran-penafsiran yang dihasilkan oleh para Tabi’in, yang merasa keilmuan ini perlu dikembangkan dan dibutuhkan oleh masyarakat, tidak pernah mereka dengar sebelumnya dan begitu asing sehingga patut ditolak (sebagai bentuk kehati-hatian). Mereka lebih memprioritaskan untuk mengambil penafsiran yang berasal dari madrasah tafsir Ibn Abbas yang terkenal sebagai madrasah yang paling menonjol dalam bidang tersebut.

Fanatik Pada Riwayat yang Berasal Dari Ibn Mas’ud

Ciri khas lainnya yang bisa ditemui dari madrasah tafsir Kufah ialah sikap fanatisme para punggawanya pada riwayat Ibn Mas’ud. Mereka seakan lebih mempercayai riwayat yang berasal dari Ibn Mas’ud dari pada yang lainnya. Dan bahkan banyak yang begitu fanatis terhadap riwayat yang berasal dari Ibn Mas’ud, sehingga jika tidak ada nama Ibn Mas’ud dalam rantai sanad dalam suatu riwayat maka bisa saja ditolak.

Sebenarnya ada alasan mendasar yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Sebagaimana telah diuraikan pada poin sebelumnya, bahwa di Kufah pemalsuan hadis begitu marak akibat adanya konflik politis antar aliran dalam Islam. Akhirnya, para Tabi’in pun lebih mempercayai jika riwayat yang disampaikan pada mereka berasal dari Ibn Mas’ud dari pada orang lain. Fenomena tersebut juga yang telah menjadikan mereka begitu selektif dalam menerima sebuah hadis, dan bahkan dianggap sebagai madrasah yang paling sering menolak riwayat hadis.

Sedikitnya Penggunaan Israilliyah Dalam Tafsir

Penggunaan riwayah israilliyah yang begitu minim menjadi kekhasan lanjutan madrasah tafsir ini. Manhaj atau metode ini memang ditanamkan oleh Ibn Mas’ud yang terkenal sebagai salah satu Sahabat yang sangat berhati-hati dan tidak menyenangi apabila merujuk riwayat ahlu kitab.

Banyak sekali riwayat yang menceritakan sikap Abdullah Ibn Mas’ud yang menentang penggunaan riwayat israilliyah dan tak jarang menyingkirkannya dari rujukan penafsiran. Namun, tidak semua Tabi’in mengikuti secara absolute apa yang telah digariskan oleh Ibn Mas’ud. Sebab salah satu Tabi’in utama madrasah tafsir Kufah, Ibrahim al-Nakha’i, menjadi salah satu dari sedikit Tabi’in madrasah ini yang menggunakan riwayah israilliyah dalam penafsiran.

Baca Juga: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin

Berdasarkan uraian atas ragam kekhasan madrasah tafsir Kufah, ada satu poin penting yang perlu direfleksikan. Bahwa madrasah tafsir ini memperlihatkan jika penafsiran khususnya yang berkaitan dengan bahasan ahkam atau Fiqh tidak bisa dilepaskan dengan kondisi geografis dan demografis suatu daerah dan masyarakatnya. Sebab penafsiran dan nantinya ijtihad serta istinbath hukum yang dilakukan merupakan produk yang ditujukan untuk kemaslahatan manusia.

Maka apabila produk-produk penafsiran maupun istinbath hukum tidak mempertimbangkan kedua aspek tersebut, justru tidak akan menjawab apapun. Bisa saja jika produk penafsiran dan ketentuan hukum yang lahir tanpa pertimbangan justru akan membawa pada jauhnya tujuan esensial syari’at (maqashid al-syari’ah) yaitu li mashlah al-ummah (memberi mashlahat pada kehidupan manusia). Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...